Muhammad Fauzi Ramadhan
DOI: 10.5281/zenodo.13383077
Tahun 2024 | Volume 1 | Edisi 1 | e001 | [PDF]

Abstrak

Artikel ini membahas dasar-dasar anestesi umum, sebuah topik penting dalam praktik anestesiologi. Dimulai dengan pengenalan jenis-jenis anestesi, seperti anestesi umum, regional, dan lokal, artikel ini menguraikan teknik induksi, pemeliharaan, dan pemulihan anestesi. Selain itu, dibahas pula protokol keselamatan pasien dan manajemen krisis anestesi, yang semuanya penting untuk memastikan keselamatan dan kenyamanan pasien selama prosedur bedah. Artikel ini dirancang sebagai panduan awal bagi residen anestesi dan tenaga medis lainnya yang baru memulai karier dalam bidang anestesiologi.


Pendahuluan

Anestesi adalah cabang kedokteran yang sangat penting dan kompleks, yang memungkinkan prosedur bedah dilakukan tanpa menimbulkan rasa sakit atau ketidaknyamanan bagi pasien. Seiring perkembangan ilmu kedokteran, peran anestesiologis telah berkembang jauh melampaui hanya "membius" pasien; kini, mereka bertanggung jawab atas keselamatan pasien sepanjang prosedur, dari pra-operasi hingga pemulihan pasca-operasi. Memahami dasar-dasar anestesi tidak hanya penting bagi para dokter spesialis anestesi, tetapi juga bagi semua tenaga medis yang terlibat dalam perawatan pasien selama prosedur bedah. Pengetahuan dasar ini membantu memastikan bahwa pasien mendapat perawatan yang optimal, serta meminimalkan risiko komplikasi yang dapat terjadi selama operasi.

Dasar-dasar anestesi umum

Untuk seorang residen anestesi atau bahkan dokter umum, mempelajari dasar-dasar anestesi adalah langkah pertama yang krusial dalam memahami bagaimana berbagai jenis anestesi bekerja, bagaimana mereka diterapkan, dan apa saja risiko serta manfaat yang terkait. Ini termasuk pemahaman tentang berbagai jenis anestesi—mulai dari anestesi umum yang membuat pasien tidak sadar sepenuhnya, hingga anestesi regional dan lokal yang mematikan rasa pada bagian tertentu dari tubuh—serta teknik-teknik yang digunakan untuk menginduksi, memelihara, dan memulihkan pasien dari anestesi. Selain itu, pengetahuan ini juga mencakup bagaimana menjaga keselamatan pasien, baik dari segi fisik maupun fisiologis, selama seluruh proses anestesi.

Klasifikasi Anestesi

A. Anestesi Umum

Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang membuat pasien benar-benar tidak sadar selama prosedur bedah. Kondisi ini dicapai melalui kombinasi obat-obatan yang menginduksi hipnosis, analgesia, amnesia, dan relaksasi otot. Anestesi umum biasanya digunakan dalam operasi besar, di mana pasien perlu tetap sepenuhnya tidak sadar dan tidak merasakan sakit. Proses ini terdiri dari tiga fase utama: induksi, pemeliharaan, dan pemulihan. Pada fase induksi, obat diberikan untuk membuat pasien tidak sadar dalam waktu yang singkat. Agen yang umum digunakan dalam fase ini termasuk propofol, etomidate, atau thiopental, yang diberikan secara intravena. Pemeliharaan anestesi dicapai dengan agen inhalasi seperti sevoflurane atau isoflurane, yang memungkinkan kontrol yang lebih baik atas kedalaman anestesi selama operasi. Akhirnya, dalam fase pemulihan, pemberian obat dihentikan, dan pasien secara bertahap kembali sadar saat efek obat berkurang.1

B. Anestesi Regional

Anestesi regional melibatkan pemblokiran saraf di area tertentu dari tubuh, sehingga hanya bagian tersebut yang mati rasa sementara pasien tetap sadar. Contoh dari anestesi regional termasuk anestesi spinal, epidural, dan blok saraf perifer. Anestesi spinal sering digunakan dalam prosedur di bawah tingkat pinggang, seperti operasi ortopedi di ekstremitas bawah atau operasi caesar. Dalam prosedur ini, obat anestesi disuntikkan ke dalam cairan serebrospinal di sekitar sumsum tulang belakang, menyebabkan hilangnya rasa dan kontrol motorik di area yang lebih rendah dari tubuh. Anestesi epidural, meskipun mirip dengan anestesi spinal, memberikan kontrol yang lebih bertahap dan biasanya digunakan selama persalinan untuk mengurangi rasa sakit.2

Blok saraf perifer digunakan untuk mematikan rasa di area yang lebih kecil dan spesifik, seperti lengan atau kaki. Teknik ini sering digunakan dalam operasi ortopedi yang melibatkan ekstremitas atau dalam prosedur di mana manajemen nyeri yang sangat lokal diperlukan. Misalnya, blok saraf brachial plexus digunakan untuk operasi di lengan dan bahu, sementara blok femoral digunakan untuk prosedur lutut. Anestesi regional menawarkan keuntungan besar dalam hal mengurangi kebutuhan akan analgesik sistemik pasca operasi, yang berarti pasien mungkin mengalami lebih sedikit efek samping seperti mual atau kantuk yang sering dikaitkan dengan penggunaan opioid.3

C. Anestesi Lokal

Anestesi lokal digunakan untuk mematikan rasa di area yang sangat kecil dari tubuh, biasanya untuk prosedur minor. Obat anestesi lokal bekerja dengan menghambat konduksi sinyal saraf di daerah yang diterapkan, sehingga pasien tidak merasakan sakit di area tersebut. Anestesi lokal sering digunakan dalam prosedur seperti pencabutan gigi, penjahitan luka, atau biopsi kulit. Contoh umum dari agen anestesi lokal termasuk lidokain dan bupivakain, yang dapat diberikan melalui injeksi atau diaplikasikan secara topikal. Keuntungan utama dari anestesi lokal adalah bahwa pasien tetap sadar sepenuhnya selama prosedur, dengan efek samping yang minimal karena obat tidak diserap secara sistemik dalam jumlah yang signifikan.4

Teknik Induksi Anestesi

A. Induksi Intravena

Induksi intravena adalah metode di mana obat anestesi diberikan langsung ke dalam aliran darah melalui infus. Teknik ini sering digunakan karena kemampuannya untuk dengan cepat membawa pasien ke dalam kondisi tidak sadar. Agen induksi yang paling umum digunakan dalam metode ini termasuk propofol, etomidate, dan thiopental. Propofol, misalnya, dikenal dengan onset cepatnya yang menghasilkan hilangnya kesadaran dalam hitungan detik setelah injeksi. Namun, meskipun cepat, propofol juga dapat menyebabkan efek samping seperti hipotensi, terutama pada pasien dengan volume intravaskular yang rendah. Oleh karena itu, dosis harus diatur dengan hati-hati untuk menghindari komplikasi.5

Etomidate adalah agen lain yang sering digunakan dalam induksi anestesi intravena, terutama pada pasien dengan kondisi hemodinamik yang labil karena memiliki efek minimal pada tekanan darah. Namun, penggunaannya juga tidak tanpa risiko. Etomidate dapat menyebabkan mioklonus, yaitu kontraksi otot yang tidak diinginkan, dan juga diketahui dapat menghambat sintesis kortisol, yang mungkin tidak diinginkan pada pasien dengan kondisi tertentu. Karena itu, pemilihan agen induksi selalu bergantung pada status klinis pasien dan jenis prosedur yang akan dilakukan.6

B. Induksi Inhalasi

Induksi inhalasi melibatkan penggunaan agen anestesi yang dihirup oleh pasien melalui masker. Teknik ini lebih sering digunakan pada pasien pediatrik karena menghindari trauma yang mungkin terkait dengan pemasangan IV. Agen yang paling sering digunakan dalam induksi inhalasi adalah sevoflurane. Sevoflurane memiliki onset yang cepat dan tidak menyebabkan iritasi pada saluran napas, membuatnya ideal untuk digunakan pada anak-anak. Selain itu, sevoflurane memungkinkan kontrol bertahap atas kedalaman anestesi, sehingga risiko overdosisi lebih kecil. Namun, teknik ini juga membutuhkan pemantauan ketat untuk memastikan bahwa pasien tetap dalam kedalaman anestesi yang diinginkan dan untuk mencegah efek samping seperti mual atau hipotensi yang disebabkan oleh dosis yang terlalu tinggi.7

Isoflurane adalah agen inhalasi lain yang kadang-kadang digunakan, meskipun lebih sering dalam pemeliharaan daripada induksi. Isoflurane memiliki efek yang sedikit lebih lambat dibandingkan sevoflurane, tetapi tetap memberikan kontrol yang baik atas kedalaman anestesi. Penting untuk dicatat bahwa, dalam beberapa kasus, kombinasi agen intravena dan inhalasi digunakan untuk mencapai efek anestesi yang optimal. Pendekatan ini memungkinkan fleksibilitas dalam mengontrol kedalaman anestesi dan respon fisiologis pasien selama prosedur yang berlangsung lama atau rumit.8

C. Pertimbangan Khusus

Pemilihan metode induksi anestesi sangat bergantung pada kondisi pasien dan jenis operasi yang akan dilakukan. Misalnya, pada pasien yang berisiko tinggi mengalami aspirasi—misalnya, mereka yang memiliki riwayat gastroesophageal reflux atau obesitas—induksi intravena lebih disukai karena memungkinkan kontrol jalan napas yang lebih cepat dan efektif. Selain itu, pasien dengan kondisi tertentu seperti kehamilan, alergi terhadap agen anestesi tertentu, atau riwayat reaksi anafilaksis mungkin memerlukan modifikasi khusus dalam teknik induksi.9

Selain itu, penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti usia pasien, status hemodinamik, dan adanya komorbiditas lain yang mungkin mempengaruhi bagaimana pasien merespons agen anestesi. Misalnya, pada pasien lansia, fungsi organ yang menurun mungkin membutuhkan dosis yang lebih rendah atau pemilihan agen yang lebih hati-hati untuk menghindari komplikasi seperti depresi napas atau hipotensi berat. Sebaliknya, pada pasien muda dan sehat, anestesi dengan onset cepat mungkin lebih sesuai untuk meminimalkan waktu induksi dan memaksimalkan kenyamanan pasien selama prosedur.10

Pemeliharaan dan Pemulihan Anestesi

A. Pemeliharaan Anestesi

Pemeliharaan anestesi adalah fase di mana efek anestesi dipertahankan sepanjang durasi operasi. Selama fase ini, penting untuk menjaga pasien dalam kondisi yang stabil dan tidak sadar dengan aman. Agen anestesi yang digunakan untuk pemeliharaan termasuk agen inhalasi seperti sevoflurane dan isoflurane, yang memungkinkan kontrol yang baik atas kedalaman anestesi. Agen-agen ini biasanya diadministrasikan melalui ventilasi yang dikontrol, memastikan bahwa pasien menerima dosis yang sesuai untuk mempertahankan anestesi tanpa menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan seperti hipotensi atau depresi napas yang berlebihan.11

Sebagai alternatif, agen anestesi intravena seperti propofol juga dapat digunakan untuk pemeliharaan. Propofol diberikan melalui infus kontinu dan dikenal karena stabilitas hemodinamik yang baik serta pemulihan yang cepat setelah penghentian. Penggunaan propofol dalam pemeliharaan sering kali dipilih dalam kasus di mana kontrol yang lebih halus terhadap kedalaman anestesi diperlukan, atau ketika agen inhalasi mungkin tidak diinginkan karena kontraindikasi tertentu pada pasien.12

Pemeliharaan anestesi tidak hanya melibatkan pemberian agen anestesi, tetapi juga pemantauan ketat terhadap tanda-tanda vital pasien. Ini termasuk pemantauan tekanan darah, denyut jantung, saturasi oksigen, dan kapnografi (CO2 akhir ekspirasi) untuk memastikan bahwa pasien tetap dalam kondisi yang stabil dan aman sepanjang prosedur. Setiap perubahan yang signifikan dalam tanda-tanda vital ini dapat menunjukkan masalah yang membutuhkan intervensi segera, seperti penyesuaian dosis obat atau perubahan dalam teknik ventilasi.13

B. Pemulihan Anestesi

Pemulihan anestesi adalah proses di mana efek obat anestesi mulai menghilang, dan pasien secara bertahap kembali sadar. Pemulihan yang aman dan efektif memerlukan pemantauan berkelanjutan di ruang pemulihan pasca-anestesi (PACU), di mana pasien diawasi sampai mereka sepenuhnya sadar dan stabil. Lamanya waktu pemulihan dapat bervariasi tergantung pada jenis anestesi yang digunakan, durasi operasi, dan kondisi kesehatan pasien. Pada umumnya, agen anestesi yang lebih modern seperti sevoflurane dan propofol memungkinkan pemulihan yang lebih cepat, yang sangat menguntungkan dalam mengurangi risiko komplikasi pasca operasi.14

Manajemen nyeri pasca operasi adalah komponen penting dari pemulihan anestesi. Nyeri yang tidak terkendali dapat menyebabkan komplikasi seperti peningkatan tekanan darah, takikardia, dan gangguan tidur, yang dapat memperpanjang masa pemulihan. Oleh karena itu, pendekatan multimodal untuk manajemen nyeri sering digunakan, termasuk penggunaan analgesik opioid dan non-opioid, serta teknik anestesi regional seperti blok saraf yang dapat memberikan analgesia yang lebih terfokus dan berkelanjutan tanpa efek samping sistemik yang signifikan.15

Selain manajemen nyeri, pemulihan anestesi juga melibatkan pencegahan dan penanganan komplikasi umum seperti mual dan muntah pasca operasi (PONV), hipotermia, dan kebingungan atau delirium pasca operasi. PONV dapat dicegah dengan penggunaan antiemetik seperti ondansetron, sementara hipotermia dapat diatasi dengan pemanasan aktif menggunakan selimut hangat atau pemanas ruangan. Delirium pasca operasi, yang lebih sering terjadi pada pasien lansia, dapat dikelola dengan lingkungan pemulihan yang tenang dan pengurangan dosis obat penenang atau anestesi sedatif yang tidak diperlukan.16

Keselamatan Pasien dalam Anestesi

A. Protokol Keselamatan Pra-Operatif

Keselamatan pasien adalah prioritas utama dalam setiap prosedur anestesi. Proses ini dimulai dengan evaluasi pra-operatif yang menyeluruh, di mana anestesiologis menilai riwayat kesehatan pasien, termasuk adanya alergi, komorbiditas, dan riwayat operasi sebelumnya. Evaluasi ini juga melibatkan pemeriksaan fisik yang komprehensif dan pengujian laboratorium untuk memastikan bahwa pasien berada dalam kondisi optimal untuk menjalani anestesi. Faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung, atau gangguan pernapasan harus diidentifikasi dan dikontrol sedini mungkin sebelum prosedur dimulai. Selain itu, pasien dengan kondisi khusus seperti kehamilan atau obesitas memerlukan pertimbangan tambahan untuk memastikan bahwa anestesi dapat diberikan dengan aman.17

Salah satu aspek penting dari protokol pra-operatif adalah memastikan bahwa pasien memahami prosedur yang akan mereka jalani, termasuk risiko yang terkait dengan anestesi. Ini dilakukan melalui proses informed consent, di mana pasien diberikan informasi yang memadai tentang anestesi yang akan digunakan, potensi efek samping, dan apa yang diharapkan selama dan setelah prosedur. Pasien harus diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan mendapatkan klarifikasi sebelum menandatangani persetujuan. Protokol ini tidak hanya penting untuk kepatuhan hukum, tetapi juga untuk membangun kepercayaan antara pasien dan tim medis.18

Selanjutnya, protokol keselamatan juga mencakup persiapan fisik pasien untuk operasi, seperti puasa pra-operatif untuk mencegah aspirasi selama anestesi umum. Dalam beberapa kasus, premedikasi dengan obat-obatan seperti benzodiazepin atau antihistamin dapat diberikan untuk mengurangi kecemasan pasien dan mencegah reaksi alergi. Semua aspek ini dirancang untuk meminimalkan risiko dan memastikan bahwa pasien dalam kondisi terbaik saat memasuki ruang operasi.19

B. Manajemen Krisis Anestesi

Walaupun langkah-langkah pencegahan diambil, krisis anestesi masih bisa terjadi dan memerlukan respons cepat dan tepat dari tim medis. Krisis yang paling umum termasuk laringospasme, anafilaksis, dan hipotensi mendadak. Laringospasme, yang merupakan penutupan tiba-tiba pita suara, dapat menyebabkan obstruksi jalan napas dan membutuhkan intervensi segera dengan manuver ventilasi atau administrasi obat-obatan seperti sukstinilkolin untuk melemaskan otot-otot laring. Anafilaksis, reaksi alergi parah yang bisa mengancam nyawa, biasanya memerlukan pemberian epinefrin serta dukungan sirkulasi dan pernapasan.20

Hipotensi mendadak, yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor termasuk overdosis anestesi atau reaksi terhadap obat tertentu, memerlukan intervensi cepat untuk menstabilkan tekanan darah pasien. Ini mungkin melibatkan pemberian cairan intravena yang cepat, penggunaan vasopressor untuk meningkatkan tekanan darah, atau penyesuaian dalam anestesi yang diberikan. Penanganan krisis semacam ini memerlukan tim yang terlatih dengan baik dan protokol yang jelas, sehingga setiap anggota tim tahu peran dan tanggung jawab mereka selama situasi darurat.21

Penting juga untuk mencatat bahwa persiapan untuk menghadapi krisis anestesi dimulai jauh sebelum krisis tersebut terjadi. Ini melibatkan latihan simulasi rutin, pembaruan pengetahuan tentang protokol terbaru, dan pengkajian ulang peralatan darurat di ruang operasi untuk memastikan semuanya siap digunakan kapan saja. Dengan persiapan yang matang dan respons yang cepat, risiko komplikasi serius selama anestesi dapat diminimalkan, dan keselamatan pasien dapat dijaga dengan lebih baik.22

Kesimpulan dan Rekomendasi

Pemahaman yang mendalam tentang dasar-dasar anestesi merupakan fondasi yang esensial bagi setiap tenaga medis yang terlibat dalam prosedur bedah. Dari evaluasi pra-operatif hingga pemulihan pasca-operatif, setiap langkah dalam proses anestesi membutuhkan perhatian terhadap detail dan kesadaran penuh akan potensi risiko yang ada. Proses ini dimulai dengan klasifikasi dan pemilihan jenis anestesi yang tepat, baik itu anestesi umum, regional, atau lokal, yang harus disesuaikan dengan kondisi klinis dan kebutuhan spesifik pasien. Teknik induksi anestesi, baik melalui jalur intravena atau inhalasi, harus dipilih dan dilaksanakan dengan pertimbangan matang terhadap kondisi fisik pasien dan risiko komplikasi yang mungkin terjadi.23

Selama fase pemeliharaan anestesi, penting untuk memonitor tanda-tanda vital pasien secara ketat untuk menjaga stabilitas hemodinamik dan mencegah terjadinya komplikasi serius. Pemilihan agen anestesi yang digunakan selama fase ini juga harus dilakukan dengan mempertimbangkan durasi operasi dan potensi efek samping yang mungkin muncul. Setelah prosedur selesai, fase pemulihan anestesi menjadi krusial untuk memastikan bahwa pasien kembali sadar dengan aman dan tanpa komplikasi. Manajemen nyeri pasca operasi harus direncanakan dengan hati-hati untuk mengurangi rasa sakit tanpa menginduksi efek samping yang tidak diinginkan.24

Keselamatan pasien selama anestesi tidak hanya bergantung pada keterampilan teknis yang dimiliki oleh anestesiologis, tetapi juga pada protokol keselamatan yang ketat dan kesiapan tim medis dalam menghadapi krisis yang mungkin terjadi. Penanganan krisis anestesi, seperti laringospasme atau anafilaksis, memerlukan respons cepat dan terkoordinasi dari seluruh tim medis untuk memastikan keselamatan pasien. Oleh karena itu, latihan simulasi dan pembaruan pengetahuan tentang protokol darurat sangat penting untuk mempersiapkan tim menghadapi situasi yang tidak terduga.25

Bagi residen anestesi atau dokter umum yang baru memulai karier, memahami konsep-konsep ini adalah langkah pertama yang krusial dalam pengembangan keterampilan klinis yang lebih lanjut. Pembelajaran terus-menerus dan praktik yang konsisten adalah kunci untuk menjadi seorang profesional anestesi yang kompeten dan dapat diandalkan. Selain itu, penting juga untuk selalu memperbarui pengetahuan dengan mengikuti perkembangan terbaru dalam bidang anestesiologi, baik melalui literatur ilmiah maupun pelatihan berkelanjutan. Dengan pendekatan yang komprehensif dan dedikasi untuk peningkatan kualitas, setiap tenaga medis dapat berkontribusi pada keselamatan dan kesejahteraan pasien dalam setiap prosedur bedah.26


Daftar Pustaka

  1. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener-Kronish JP, Cohen NH, Young WL. Miller’s Anesthesia, 9th Ed. Philadelphia: Elsevier; 2018. pp 132-45.
  2. Brown DL, Fink BR. Regional Anesthesia and Analgesia. In: Cousins MJ, Bridenbaugh PO, eds. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and Management of Pain, 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2019. pp 307-25.
  3. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology, 6th Ed. New York: McGraw-Hill Education; 2020. pp 563-79.
  4. Evers AS, Maze M, Kharasch ED. Anesthetic Pharmacology: Basic Principles and Clinical Practice, 2nd Ed. Cambridge: Cambridge University Press; 2019. pp 221-35.
  5. Coté CJ, Lerman J, Anderson BJ. A Practice of Anesthesia for Infants and Children, 6th Ed. Philadelphia: Elsevier; 2018. pp 178-94.
  6. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, Cahalan MK, Stock MC, Ortega R. Clinical Anesthesia, 8th Ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2020. pp 342-56.
  7. Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM. Anesthesiology, 3rd Ed. New York: McGraw-Hill Education; 2017. pp 407-20.
  8. Kozian A, Schilling T, Strang C, Hachenberg T. Anesthetic considerations in patients with previous thoracic surgery. Curr Opin Anaesthesiol. 2006;19(1):26-33.
  9. Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice, 5th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2017. pp 255-70.
  10. Kaplan JA, Reich DL, Konstadt SN. Kaplan’s Cardiac Anesthesia, 7th Ed. Philadelphia: Elsevier; 2017. pp 110-23.
  11. Miller TE, Thacker JK, White WD, Mantyh C, Migaly J, Jin J, et al. Reduced length of hospital stay in colorectal surgery after implementation of an enhanced recovery protocol. Anesth Analg. 2014;118(5):1052-61.
  12. Sessler DI. Mild perioperative hypothermia. N Engl J Med. 1997;336(24):1730-7.
  13. Calabria CM, Ward PA. Anaesthesia for transoral robotic surgery in oral cancer: a review. J Oral Maxillofac Anesth. 2023;2:1-12.
  14. Fleisher LA, Roizen MF. Essentials of Anesthesia: Perianesthetic Anesthesia Care, 2nd Ed. Philadelphia: Elsevier; 2018. pp 305-18.
  15. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Anesthesia and Coexisting Disease, 7th Ed. Philadelphia: Elsevier; 2018. pp 150-63.
  16. World Health Organization. Global guidelines for the prevention of surgical site infection. Geneva: World Health Organization; 2018. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536431/
  17. Hall JE, Schmidt GA, Wood LDH. Principles of Critical Care, 4th Ed. New York: McGraw-Hill Education; 2015. pp 780-5.
  18. Kaye AD, Urman RD, Vadivelu N. Essentials of Regional Anesthesia, 2nd Ed. New York: Springer; 2017. pp 50-9.
  19. Gawande A. The Checklist Manifesto: How to Get Things Right. New York: Metropolitan Books; 2010. p 112.
  20. American Society of Anesthesiologists Task Force on Neuraxial Opioids, American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine. Practice guidelines for the prevention, detection, and management of respiratory depression associated with neuraxial opioid administration: an updated report. Anesthesiology. 2016;124:535-52.
  21. Wakefield TW, McLafferty RB, Lohr JM, Caprini JA, Gillespie DL, Passman MA. Call to action to prevent venous thromboembolism. J Vasc Surg. 2009;49(6):1620-3.
  22. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anesthesiology, 6th Ed. New York: McGraw-Hill Education; 2021. pp 215-28.
  23. Gertler R, Brown HC, Mitchell DH, Silvius EN. Dexmedetomidine: a novel sedative-analgesic agent. Proc (Bayl Univ Med Cent). 2001;14(1):13-21.
  24. Licker M, Schweizer A, Ellenberger C, Tschopp JM, Diaper J, Clergue F. Perioperative medical management of patients with COPD. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2007;2(4):493-515.
  25. Nijs K, Ruette J, Van de Velde M, Stessel B. Regional anaesthesia for ambulatory surgery. Best Pract Res Clin Anaesthesiol. 2023;37(3):397-408.
  26. Howard SK, Gaba DM, Fish KJ, Yang G, Sarnquist FH. Anesthesia crisis resource management training: teaching anesthesiologists to handle critical incidents. Aviat Space Environ Med. 1992;63(9):763-770.

Ramadhan MF. Dasar-dasar anestesi umum: apa yang perlu Anda ketahui di awal karier. Anesthesiol ICU. 2024;1(1):e001.

Artikel terkait: