Muhammad Fauzi Ramadhan
DOI: 10.5281/zenodo
Tahun 2024 | Volume 1 | Edisi 1 | e002 | [PDF]
Manajemen pre-operatif adalah langkah kritis dalam memastikan keberhasilan operasi dan pemulihan pasien yang optimal. Artikel ini membahas masalah-masalah umum yang sering dihadapi oleh dokter anestesi selama periode pre-operatif, termasuk evaluasi yang tidak memadai, manajemen risiko kardiovaskular, gangguan fungsi respirasi, gangguan koagulasi, penyakit ginjal, serta masalah nutrisi dan metabolik. Selain itu, artikel ini juga membahas tantangan yang dihadapi dalam menangani pasien pediatri dan geriatri, manajemen kecemasan pre-operatif, serta kesulitan dalam menentukan teknik anestesi yang optimal. Setiap bagian dilengkapi dengan teknik pengelolaan yang sesuai dan pertimbangan penting untuk meminimalkan risiko komplikasi dan meningkatkan hasil operasi. Pendekatan multidisiplin dan komunikasi yang efektif dengan pasien dan tim bedah ditekankan sebagai kunci keberhasilan dalam manajemen pre-operatif.
Kata Kunci
Anestesi, manajemen pre-operatif, evaluasi pre-operatif, risiko kardiovaskular, gangguan respirasi, gangguan koagulasi, penyakit ginjal, nutrisi dan metabolik, pasien pediatri, pasien geriatri, kecemasan pre-operatif, teknik anestesi.
Pendahuluan
Periode pre-operatif adalah fase yang sangat penting dalam manajemen anestesi dan bedah secara keseluruhan. Fase ini mencakup segala persiapan yang dilakukan sebelum pasien menjalani prosedur bedah, termasuk evaluasi kesehatan, penentuan teknik anestesi yang akan digunakan, serta identifikasi dan manajemen risiko yang mungkin muncul selama operasi. Tujuan utama dari periode pre-operatif adalah untuk mempersiapkan pasien secara fisik dan mental agar siap menjalani operasi dengan risiko komplikasi yang minimal.1,2

Kesuksesan anestesi dan operasi sangat bergantung pada seberapa baik persiapan pre-operatif dilakukan. Hal ini mencakup tidak hanya pemilihan obat anestesi yang tepat tetapi juga penilaian menyeluruh terhadap kondisi kesehatan pasien. Masalah-masalah yang tidak terdeteksi atau tidak dikelola dengan baik selama periode ini dapat berdampak serius, mulai dari komplikasi intra-operatif hingga hasil pasca-operatif yang buruk.3,4
Artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai masalah-masalah umum yang sering dihadapi oleh dokter anestesi selama periode pre-operatif. Selain itu, akan dibahas juga teknik-teknik pengelolaan yang dapat diterapkan serta pertimbangan penting yang harus diambil untuk meminimalkan risiko dan meningkatkan hasil operasi. Dengan memahami dan mengelola tantangan-tantangan ini, diharapkan dokter anestesi dapat memberikan perawatan yang lebih aman dan efektif bagi pasien mereka.5,6
Pembahasan akan dimulai dengan evaluasi pre-operatif yang tidak memadai, yang sering kali menjadi masalah utama dalam mempersiapkan pasien untuk operasi. Selanjutnya, artikel ini akan membahas berbagai masalah yang berkaitan dengan kondisi kardiovaskular, respirasi, koagulasi, fungsi ginjal, nutrisi dan metabolik, serta masalah khusus yang dihadapi pada pasien pediatri dan geriatri. Masalah psikologis dan kesulitan dalam penentuan teknik anestesi juga akan dibahas secara mendalam.7,8
Evaluasi Pre-operatif yang Tidak Memadai
Evaluasi pre-operatif merupakan langkah pertama yang sangat krusial dalam persiapan pasien untuk menjalani prosedur bedah. Evaluasi ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor risiko yang dapat mempengaruhi anestesi dan hasil operasi, serta untuk menentukan strategi anestesi yang paling aman dan efektif bagi pasien. Sayangnya, keterbatasan waktu, informasi medis yang tidak lengkap, serta kurangnya komunikasi antara anggota tim medis sering kali menyebabkan evaluasi pre-operatif yang tidak memadai.9-11
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh dokter anestesi adalah melakukan evaluasi pre-operatif yang komprehensif dalam waktu yang terbatas. Di banyak rumah sakit, terutama yang memiliki volume kasus bedah yang tinggi, dokter anestesi sering kali harus mengevaluasi sejumlah besar pasien dalam waktu singkat. Akibatnya, tidak semua aspek kesehatan pasien dapat dievaluasi dengan baik, dan beberapa risiko mungkin tidak terdeteksi. Selain itu, jika informasi medis yang tersedia tidak lengkap atau tidak up-to-date, misalnya riwayat medis yang tidak jelas atau hasil pemeriksaan laboratorium yang belum tersedia, dokter anestesi harus membuat keputusan berdasarkan data yang tidak sempurna, yang dapat meningkatkan risiko komplikasi.12-14
Komunikasi yang tidak optimal antara dokter anestesi dan anggota tim bedah lainnya juga dapat menjadi hambatan dalam melakukan evaluasi pre-operatif yang baik. Misalnya, perubahan rencana operasi yang tidak disampaikan dengan baik kepada dokter anestesi dapat mempengaruhi pilihan teknik anestesi yang digunakan. Selain itu, jika dokter anestesi tidak mendapatkan informasi yang memadai mengenai kondisi pasien dari dokter yang merawat, seperti kondisi kardiovaskular yang mungkin telah berubah, hal ini dapat menyebabkan komplikasi yang tidak terduga selama operasi.15,16
Untuk mengatasi masalah ini, dokter anestesi dapat menerapkan beberapa strategi. Pertama, penggunaan protokol standar untuk evaluasi pre-operatif dapat membantu memastikan bahwa semua aspek penting dari kesehatan pasien dievaluasi, bahkan dalam situasi di mana waktu sangat terbatas. Protokol ini biasanya mencakup penilaian menyeluruh terhadap sistem kardiovaskular, respirasi, fungsi ginjal, status koagulasi, serta kondisi medis lainnya yang relevan. Dalam beberapa kasus, penggunaan alat bantu seperti American Society of Anesthesiologists (ASA) Classification dapat membantu dalam mengklasifikasikan risiko pasien dan memandu keputusan anestesi.17,18
Kedua, penting untuk mengembangkan sistem komunikasi yang efektif di antara anggota tim medis. Ini dapat mencakup briefing pra-operasi yang melibatkan semua anggota tim, termasuk dokter bedah, perawat, dan dokter anestesi, untuk memastikan bahwa semua orang memiliki informasi yang sama mengenai kondisi pasien dan rencana operasi. Selain itu, memastikan bahwa catatan medis pasien selalu up-to-date dan tersedia untuk semua anggota tim dapat membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih baik.19,20
Ketiga, dalam situasi di mana informasi medis yang tersedia tidak lengkap, dokter anestesi dapat melakukan penilaian tambahan atau meminta konsultasi dari spesialis lain. Misalnya, jika ada ketidakpastian mengenai status kardiovaskular pasien, konsultasi dengan ahli jantung dapat dilakukan untuk mendapatkan evaluasi yang lebih mendalam. Selain itu, pemeriksaan tambahan seperti ekokardiogram atau tes fungsi paru dapat dilakukan jika diperlukan.21,22
Dalam melakukan evaluasi pre-operatif, dokter anestesi harus mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kondisi kesehatan umum pasien, jenis prosedur bedah yang akan dilakukan, serta preferensi dan kekhawatiran pasien. Memastikan bahwa evaluasi ini dilakukan dengan komprehensif dan tepat waktu sangat penting untuk meminimalkan risiko komplikasi anestesi dan bedah.23,24
Tabel 1. Evaluasi Pre-operatif
Komponen Evaluasi | Deskripsi |
---|---|
Anamnesis |
|
Pemeriksaan Fisik |
|
Pemeriksaan Penunjang |
|
Evaluasi Risiko |
|
Konsultasi Spesialis |
|
Dokter anestesi juga harus selalu siap untuk menghadapi situasi yang tidak terduga selama operasi. Oleh karena itu, evaluasi pre-operatif harus selalu diikuti dengan perencanaan yang matang, termasuk persiapan untuk menghadapi komplikasi yang mungkin terjadi. Fleksibilitas dalam rencana anestesi dan kemampuan untuk mengadaptasi strategi berdasarkan situasi intra-operatif sangat penting untuk keberhasilan anestesi.25-27
Pada akhirnya, keberhasilan evaluasi pre-operatif tidak hanya tergantung pada keterampilan teknis dokter anestesi, tetapi juga pada kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan pasien dan anggota tim medis lainnya, serta kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat berdasarkan informasi yang tersedia.28,29
Manajemen Risiko Kardiovaskular
Pasien dengan komorbiditas kardiovaskular, seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, atau gagal jantung, menghadapi risiko komplikasi yang lebih tinggi selama anestesi dan operasi. Komplikasi ini dapat mencakup infark miokard, aritmia, atau gagal jantung yang dapat mengancam jiwa, sehingga manajemen pre-operatif yang tepat sangat penting untuk memastikan keselamatan pasien.30,31
Salah satu tantangan terbesar dalam manajemen pre-operatif pasien dengan risiko kardiovaskular adalah memastikan bahwa kondisi kardiovaskular pasien optimal sebelum operasi. Pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol, misalnya, memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami krisis hipertensi atau komplikasi kardiovaskular lainnya selama operasi. Demikian pula, pasien dengan riwayat infark miokard atau angina tidak stabil mungkin menghadapi risiko tinggi untuk mengalami kejadian jantung serius selama periode perioperatif.32
Untuk meminimalkan risiko kardiovaskular pada pasien yang menjalani operasi, beberapa teknik pengelolaan dapat diterapkan. Pertama, optimalisasi kondisi kardiovaskular sebelum operasi sangat penting. Ini dapat mencakup penyesuaian obat-obatan yang digunakan oleh pasien, seperti antihipertensi, beta-blocker, atau antikoagulan, untuk memastikan tekanan darah dan ritme jantung berada dalam batas yang aman sebelum induksi anestesi.33
Dokter anestesi juga harus bekerja sama dengan ahli jantung untuk mengevaluasi risiko kardiovaskular pasien dan mengembangkan rencana manajemen yang sesuai. Ini mungkin melibatkan pemeriksaan tambahan, seperti elektrokardiogram (EKG), ekokardiografi, atau tes stres jantung untuk menilai fungsi jantung sebelum operasi. Jika diperlukan, tindakan intervensi seperti angioplasti atau pemasangan stent mungkin perlu dilakukan sebelum operasi untuk mengurangi risiko komplikasi.34
Pemantauan tekanan darah yang ketat selama periode pre-operatif juga sangat penting. Ini dapat dilakukan melalui pemantauan tekanan darah invasif pada pasien yang berisiko tinggi. Stabilitas hemodinamik selama induksi dan pemeliharaan anestesi harus menjadi prioritas utama, dan penggunaan anestesi dengan efek minimal pada sistem kardiovaskular, seperti anestesi regional atau anestesi dengan propofol, mungkin lebih disukai pada pasien dengan risiko tinggi.35
Tabel 2. Manajemen Risiko Kardiovaskular Pre-operatif
Aspek | Deskripsi dan Manajemen |
---|---|
Hipertensi | Pastikan tekanan darah terkontrol sebelum operasi. Penyesuaian dosis antihipertensi mungkin diperlukan, dan pemberian obat dapat dilanjutkan sampai hari operasi. |
Penyakit Jantung Koroner | Evaluasi risiko iskemia miokard. Pasien dengan angina tidak stabil mungkin memerlukan intervensi seperti angioplasti sebelum operasi. Pemantauan EKG terus-menerus disarankan. |
Gagal Jantung | Optimalkan terapi gagal jantung sebelum operasi, termasuk penggunaan diuretik, ACE inhibitor, dan beta-blocker. Hindari overloading cairan intraoperatif. |
Aritmia | Kontrol aritmia sebelum operasi dengan terapi medis yang sesuai. Hindari obat anestesi yang dapat memicu aritmia. |
Risiko Tromboemboli | Lanjutkan atau sesuaikan terapi antikoagulan berdasarkan risiko pendarahan dan tromboemboli. Pertimbangkan penggunaan heparin bridging pada pasien yang berisiko tinggi. |
Pertimbangan penting dalam manajemen risiko kardiovaskular termasuk pemilihan obat anestesi yang sesuai dengan kondisi kardiovaskular pasien. Misalnya, obat-obatan yang memiliki efek depresan pada miokardium atau yang menyebabkan vasodilatasi berlebihan mungkin harus dihindari pada pasien dengan penyakit jantung koroner atau gagal jantung. Selain itu, penting untuk mempertimbangkan risiko perdarahan pada pasien yang menggunakan antikoagulan dan untuk mengembangkan rencana manajemen yang mencakup penghentian atau penyesuaian dosis antikoagulan sebelum operasi.36
Pada akhirnya, tujuan dari manajemen risiko kardiovaskular dalam periode pre-operatif adalah untuk meminimalkan risiko komplikasi dan memastikan bahwa pasien berada dalam kondisi yang seoptimal mungkin sebelum menjalani prosedur bedah. Ini membutuhkan pendekatan yang terintegrasi dan multidisiplin, serta pemantauan yang ketat dan penyesuaian rencana perawatan berdasarkan respons pasien terhadap intervensi yang dilakukan.37
Gangguan Fungsi Respirasi
Gangguan fungsi respirasi pada pasien yang akan menjalani operasi merupakan tantangan besar bagi dokter anestesi. Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (COPD), asma, atau gangguan respirasi lainnya memiliki risiko komplikasi yang lebih tinggi selama anestesi, seperti kesulitan dalam intubasi, hipoksia, atau kegagalan ventilasi. Oleh karena itu, penting bagi dokter anestesi untuk melakukan penilaian menyeluruh dan optimalisasi fungsi respirasi sebelum operasi untuk meminimalkan risiko ini.38
Salah satu masalah utama yang dihadapi dalam manajemen pasien dengan gangguan fungsi respirasi adalah peningkatan risiko komplikasi pernapasan selama dan setelah operasi. Pasien dengan COPD, misalnya, sering mengalami penurunan cadangan respirasi, yang dapat menyebabkan kegagalan ventilasi atau hipoksia jika tidak dikelola dengan baik. Pasien dengan asma juga berisiko mengalami bronkospasme selama induksi atau pemeliharaan anestesi, yang dapat menghambat ventilasi dan oksigenasi yang adekuat.39
Untuk mengelola risiko ini, dokter anestesi perlu melakukan penilaian fungsi respirasi secara komprehensif sebelum operasi. Ini dapat mencakup pemeriksaan fisik, spirometri, serta pemeriksaan penunjang lainnya seperti radiografi dada atau CT scan paru-paru jika diperlukan. Penilaian ini bertujuan untuk menentukan tingkat keparahan gangguan respirasi dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pilihan teknik anestesi.40
Pada pasien dengan risiko intubasi sulit, persiapan yang matang sangat penting. Ini dapat mencakup penggunaan alat bantu seperti videolaringoskopi atau serat optik untuk membantu visualisasi jalan napas selama intubasi. Selain itu, dokter anestesi harus selalu siap dengan rencana alternatif, seperti teknik intubasi awake (intubasi dengan pasien sadar) atau trakeostomi darurat, jika intubasi konvensional gagal.38,39
Pertimbangan penting dalam manajemen pre-operatif pasien dengan gangguan fungsi respirasi termasuk evaluasi risiko dan manfaat dari berbagai teknik anestesi yang tersedia. Dokter anestesi harus mempertimbangkan kondisi spesifik pasien, jenis operasi yang akan dilakukan, dan potensi komplikasi yang dapat timbul dari gangguan respirasi yang mendasarinya. Pemilihan obat anestesi juga harus hati-hati, dengan menghindari obat yang dapat memperburuk fungsi respirasi, seperti opioid dalam dosis tinggi atau agen anestesi yang menyebabkan depresi respirasi yang signifikan.40,41
Secara keseluruhan, tujuan dari manajemen pasien dengan gangguan fungsi respirasi dalam periode pre-operatif adalah untuk memastikan bahwa kondisi respirasi pasien seoptimal mungkin sebelum operasi dan bahwa risiko komplikasi respirasi selama dan setelah operasi diminimalkan. Ini membutuhkan pendekatan yang terintegrasi dan individual, dengan pemantauan yang ketat dan intervensi yang tepat waktu berdasarkan kondisi pasien.39-41
Gangguan Koagulasi dan Risiko Pendarahan
Pasien dengan gangguan koagulasi atau yang menggunakan terapi antikoagulan menghadapi risiko pendarahan yang signifikan selama prosedur bedah. Gangguan koagulasi ini bisa disebabkan oleh kondisi bawaan seperti hemofilia, atau bisa juga akibat penggunaan obat-obatan seperti warfarin, heparin, atau antiplatelet. Risiko pendarahan yang tidak terkendali selama operasi dapat berdampak serius pada hasil operasi dan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu, manajemen pre-operatif yang tepat pada pasien dengan risiko pendarahan sangat penting untuk mengurangi kemungkinan komplikasi ini.35,36,42
Salah satu tantangan terbesar dalam manajemen pasien dengan gangguan koagulasi adalah menyeimbangkan risiko pendarahan dengan kebutuhan untuk melakukan prosedur bedah yang aman. Pasien dengan hemofilia, misalnya, memiliki defisiensi faktor koagulasi yang penting untuk pembekuan darah, yang dapat menyebabkan pendarahan yang tidak terkendali bahkan dengan trauma minimal. Demikian pula, pasien yang menggunakan antikoagulan untuk kondisi seperti fibrilasi atrium atau trombosis vena dalam berisiko tinggi mengalami pendarahan intraoperatif jika pengobatan tidak dikelola dengan benar sebelum operasi.36,43
Manajemen pre-operatif pasien dengan gangguan koagulasi melibatkan beberapa langkah penting. Pertama, evaluasi menyeluruh terhadap status koagulasi pasien harus dilakukan sebelum operasi. Ini dapat mencakup pemeriksaan laboratorium seperti waktu protrombin (PT), waktu tromboplastin parsial (PTT), hitung trombosit, serta tes fungsi hati untuk menilai produksi faktor koagulasi. Pada pasien dengan gangguan koagulasi bawaan, seperti hemofilia, pengukuran kadar faktor koagulasi spesifik juga diperlukan untuk menentukan kebutuhan penggantian faktor sebelum operasi.44,45
Pada pasien yang menggunakan antikoagulan, keputusan mengenai penghentian atau penyesuaian dosis obat harus dibuat berdasarkan evaluasi risiko pendarahan dan tromboemboli. Untuk pasien yang menggunakan warfarin, misalnya, dosis mungkin perlu dikurangi atau dihentikan beberapa hari sebelum operasi untuk mengurangi risiko pendarahan, dengan mempertimbangkan risiko tromboemboli yang dapat ditangani dengan terapi bridging menggunakan heparin jika diperlukan. Pada pasien yang menggunakan antikoagulan oral langsung (DOACs), waktu penghentian obat biasanya lebih pendek, namun evaluasi fungsi ginjal penting untuk menentukan waktu yang tepat.46,47
Selain penyesuaian obat, persiapan untuk manajemen pendarahan intraoperatif juga penting. Ini dapat mencakup persiapan produk darah seperti plasma beku segar (FFP), konsentrat trombosit, atau konsentrat faktor koagulasi, tergantung pada kebutuhan spesifik pasien. Pada pasien dengan risiko pendarahan tinggi, penggunaan agen hemostatik lokal, seperti fibrin sealant atau hemostatik mekanik, juga dapat membantu mengurangi pendarahan selama operasi.42,48
Pada kasus di mana pendarahan masif diperkirakan atau terjadi, protokol transfusi masif (massive transfusion protocol, MTP) harus siap diterapkan. Ini mencakup pemberian produk darah yang cepat dan terkoordinasi untuk menggantikan darah yang hilang dan memulihkan volume sirkulasi, serta pemantauan ketat terhadap status koagulasi dan kebutuhan cairan pasien. Penting juga untuk mempertimbangkan penggunaan agen prokoagulan seperti asam traneksamat dalam situasi tertentu untuk membantu mengurangi kehilangan darah.49,50
Pertimbangan utama dalam manajemen pasien dengan gangguan koagulasi adalah memastikan keseimbangan antara risiko pendarahan dan tromboemboli. Ini memerlukan penilaian risiko yang hati-hati dan individual, serta kolaborasi dengan spesialis seperti ahli hematologi jika diperlukan. Selain itu, komunikasi yang baik dengan tim bedah sangat penting untuk memastikan bahwa rencana manajemen koagulasi diketahui dan disetujui oleh semua pihak yang terlibat.45,50
Dokter anestesi juga harus mempertimbangkan implikasi dari berbagai teknik anestesi pada risiko pendarahan. Misalnya, anestesi regional pada pasien dengan gangguan koagulasi harus dilakukan dengan sangat hati-hati, karena risiko hematoma pada tempat suntikan yang dapat menimbulkan komplikasi serius seperti kompresi saraf atau sumsum tulang belakang. Oleh karena itu, pemilihan teknik anestesi harus selalu mempertimbangkan kondisi koagulasi pasien dan potensi komplikasi yang dapat terjadi.47,48
Pada akhirnya, tujuan manajemen pre-operatif pada pasien dengan gangguan koagulasi adalah untuk meminimalkan risiko pendarahan selama operasi dan memastikan bahwa setiap pendarahan yang terjadi dapat ditangani dengan cepat dan efektif. Ini membutuhkan persiapan yang matang, penilaian risiko yang cermat, dan kolaborasi multidisiplin untuk mencapai hasil terbaik bagi pasien.49,50
Penanganan Pasien dengan Penyakit Ginjal
Penyakit ginjal, baik itu insufisiensi ginjal kronis, gagal ginjal akut, atau pasien yang menjalani dialisis, menimbulkan tantangan signifikan dalam manajemen anestesi dan bedah. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal memiliki risiko komplikasi perioperatif yang lebih tinggi, seperti ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, penurunan fungsi ginjal lebih lanjut, dan interaksi obat yang kompleks. Oleh karena itu, penanganan yang tepat dalam periode pre-operatif sangat penting untuk meminimalkan risiko ini dan memastikan hasil yang optimal.51,52
Salah satu masalah utama pada pasien dengan penyakit ginjal adalah risiko terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit selama dan setelah operasi. Ginjal yang tidak berfungsi dengan baik mungkin tidak mampu mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit, yang dapat menyebabkan komplikasi seperti hiperkalemia, asidosis metabolik, atau edema paru. Selain itu, pasien dengan gagal ginjal kronis sering kali mengalami penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan prosedur bedah dapat mempercepat penurunan ini jika tidak dikelola dengan baik.52,53
Manajemen pre-operatif pasien dengan penyakit ginjal melibatkan beberapa langkah penting. Pertama, evaluasi menyeluruh terhadap fungsi ginjal harus dilakukan sebelum operasi. Ini termasuk pengukuran tingkat filtrasi glomerulus (GFR), kadar kreatinin serum, serta evaluasi elektrolit serum seperti kalium, natrium, dan kalsium. Penilaian ini penting untuk menentukan status fungsi ginjal pasien dan untuk mengidentifikasi ketidakseimbangan elektrolit yang perlu diperbaiki sebelum operasi.53,54
Optimalisasi status cairan dan elektrolit sebelum operasi sangat penting. Pada pasien dengan gagal ginjal, terapi cairan harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari overload cairan atau hipovolemia. Dialisis mungkin diperlukan sebelum operasi untuk mengoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit serta untuk mengurangi kadar uremia, yang dapat mempengaruhi respons pasien terhadap anestesi. Pada pasien yang menjalani dialisis, waktu operasi harus diatur sedemikian rupa sehingga dialisis dapat dilakukan sehari sebelum operasi untuk meminimalkan risiko komplikasi.54,55
Pertimbangan utama dalam manajemen pre-operatif pasien dengan penyakit ginjal adalah memastikan bahwa fungsi ginjal pasien seoptimal mungkin sebelum operasi dan bahwa risiko komplikasi ginjal selama operasi diminimalkan. Ini memerlukan penilaian risiko yang cermat, penyesuaian terapi medis, serta kolaborasi dengan ahli nefrologi jika diperlukan. Pasien harus diinformasikan tentang risiko yang terkait dengan fungsi ginjal mereka dan bagaimana risiko ini akan dikelola selama operasi.56
Pada akhirnya, tujuan manajemen pre-operatif pada pasien dengan penyakit ginjal adalah untuk mengoptimalkan kondisi ginjal sebelum operasi dan untuk memastikan bahwa setiap komplikasi ginjal yang terjadi dapat ditangani dengan cepat dan efektif. Ini membutuhkan pendekatan yang terintegrasi dan multidisiplin, serta pemantauan yang ketat dan intervensi yang tepat waktu berdasarkan kondisi pasien.56,57
Penanganan Pasien dengan Masalah Nutrisi dan Metabolik
Pasien dengan masalah nutrisi dan metabolik, seperti malnutrisi, obesitas, atau diabetes, memerlukan perhatian khusus dalam manajemen pre-operatif. Kondisi-kondisi ini dapat mempengaruhi bagaimana tubuh pasien merespons anestesi dan operasi, serta berpotensi meningkatkan risiko komplikasi perioperatif. Oleh karena itu, dokter anestesi harus melakukan penilaian yang menyeluruh dan intervensi yang tepat untuk mengelola risiko yang berkaitan dengan masalah nutrisi dan metabolik.58,59
Masalah nutrisi, seperti malnutrisi atau obesitas, sering kali tidak terdeteksi atau tidak dioptimalkan sebelum operasi, yang dapat mempengaruhi hasil perioperatif. Pasien dengan malnutrisi, misalnya, memiliki cadangan protein dan energi yang rendah, yang dapat mengganggu penyembuhan luka dan meningkatkan risiko infeksi. Sebaliknya, obesitas dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi anestesi, seperti kesulitan dalam intubasi, sindrom apnea tidur obstruktif (OSA), dan masalah ventilasi intraoperatif.60
Diabetes mellitus adalah kondisi metabolik lain yang memerlukan perhatian khusus dalam manajemen pre-operatif. Pasien dengan diabetes berisiko mengalami komplikasi seperti hiperglikemia perioperatif, yang dapat meningkatkan risiko infeksi luka bedah, memperlambat penyembuhan, dan berkontribusi pada komplikasi kardiovaskular. Pengelolaan glikemik yang buruk sebelum dan selama operasi juga dapat meningkatkan risiko ketoasidosis diabetik (DKA) atau hipoglikemia, yang dapat mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan baik.61,62
Pertimbangan utama dalam penanganan pre-operatif pasien dengan masalah nutrisi dan metabolik adalah memastikan bahwa kondisi ini dioptimalkan sebelum operasi untuk meminimalkan risiko komplikasi perioperatif. Ini memerlukan penilaian yang cermat, intervensi nutrisi atau medis yang sesuai, serta kolaborasi dengan spesialis jika diperlukan. Pasien juga harus diberi informasi yang jelas tentang bagaimana kondisi mereka dapat mempengaruhi operasi dan apa yang dapat dilakukan untuk meminimalkan risiko.63
Tabel 3. Manajemen Masalah Nutrisi dan Metabolik Pre-operatif
Masalah Nutrisi dan Metabolik | Deskripsi dan Manajemen |
---|---|
Malnutrisi | Identifikasi dan perbaiki status nutrisi pasien sebelum operasi. Suplemen nutrisi mungkin diperlukan untuk meningkatkan penyembuhan luka dan imunitas. |
Obesitas | Periksa risiko apnea tidur obstruktif (OSA) dan komplikasi respirasi. Pertimbangkan dosis anestesi dan strategi ventilasi khusus untuk pasien obesitas. |
Diabetes Mellitus | Kontrol ketat gula darah sebelum dan selama operasi untuk mengurangi risiko infeksi dan komplikasi lainnya. Adjust insulin atau obat hipoglikemik oral sesuai dengan status pre-operatif pasien. |
Hiperkalemia/Hipokalemia | Koreksi ketidakseimbangan elektrolit sebelum operasi untuk menghindari aritmia atau komplikasi perioperatif lainnya. |
Gangguan Fungsi Tiroid | Evaluasi dan optimalkan status tiroid. Pasien dengan hipotiroidisme atau hipertiroidisme mungkin memerlukan penyesuaian terapi untuk mengurangi risiko krisis tiroid selama operasi. |
Pada akhirnya, tujuan dari manajemen pre-operatif pasien dengan masalah nutrisi dan metabolik adalah untuk memastikan bahwa kondisi ini dioptimalkan sebelum operasi dan bahwa risiko komplikasi terkait dapat diminimalkan. Ini membutuhkan pendekatan yang terintegrasi, dengan pemantauan yang ketat dan intervensi yang tepat waktu berdasarkan kondisi individual pasien.63,64
Penanganan Pasien Pediatri dan Geriatri
Pasien pediatri (anak-anak) dan geriatri (usia lanjut) merupakan dua kelompok populasi yang memerlukan perhatian khusus dalam manajemen pre-operatif. Kedua kelompok ini memiliki karakteristik fisiologis yang berbeda dibandingkan dengan pasien dewasa muda, yang mempengaruhi respons mereka terhadap anestesi dan prosedur bedah. Oleh karena itu, penanganan pre-operatif yang tepat sangat penting untuk meminimalkan risiko komplikasi dan memastikan hasil yang optimal.65
Pasien pediatri memiliki tantangan khusus dalam manajemen anestesi karena sistem organ mereka yang belum matang, ukuran tubuh yang lebih kecil, dan perbedaan dalam metabolisme obat. Anak-anak, terutama bayi dan balita, memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami hipoksia selama anestesi karena kapasitas paru yang lebih kecil dan laju metabolisme yang lebih tinggi. Selain itu, mereka lebih rentan terhadap efek samping obat anestesi, seperti depresi pernapasan atau gangguan termoregulasi.65,66
Di sisi lain, pasien geriatri memiliki masalah yang berkaitan dengan penurunan fungsi organ yang terkait dengan penuaan. Misalnya, penurunan fungsi kardiovaskular, respirasi, ginjal, dan hati pada pasien usia lanjut dapat mempengaruhi bagaimana mereka memetabolisme dan merespons obat anestesi. Pasien geriatri juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami delirium pascaoperatif, hipotensi, dan komplikasi kardiovaskular. Selain itu, banyak pasien geriatri yang memiliki komorbiditas multipel, seperti hipertensi, diabetes, atau penyakit paru obstruktif kronis (COPD), yang memerlukan penanganan khusus sebelum operasi.67
Pertimbangan utama dalam manajemen pre-operatif pasien pediatri dan geriatri adalah memastikan bahwa kondisi mereka dioptimalkan sebelum operasi dan bahwa risiko komplikasi perioperatif diminimalkan. Ini memerlukan penilaian risiko yang cermat, penyesuaian terapi medis, serta kolaborasi dengan spesialis pediatri atau geriatri jika diperlukan. Selain itu, komunikasi yang baik dengan keluarga pasien, terutama pada anak-anak, sangat penting untuk memastikan bahwa mereka merasa nyaman dan memahami proses yang akan dijalani.68
Pada akhirnya, tujuan dari manajemen pre-operatif pada pasien pediatri dan geriatri adalah untuk memastikan bahwa mereka berada dalam kondisi yang seoptimal mungkin sebelum operasi dan bahwa risiko komplikasi perioperatif dapat diminimalkan. Ini membutuhkan pendekatan yang terintegrasi dan individual, dengan pemantauan yang ketat dan intervensi yang tepat waktu berdasarkan kondisi pasien.69
Gangguan Psikologis dan Manajemen Kecemasan Pre-operatif
Kecemasan pre-operatif merupakan masalah yang umum dialami oleh pasien yang akan menjalani operasi, dan hal ini dapat berdampak negatif pada proses anestesi dan hasil pasca-operatif. Pasien yang mengalami kecemasan berlebihan atau memiliki gangguan psikologis, seperti depresi atau gangguan kecemasan, mungkin mengalami peningkatan risiko komplikasi perioperatif, termasuk peningkatan kebutuhan anestesi, respons fisiologis yang tidak stabil, serta pemulihan pasca-operatif yang lebih lama. Oleh karena itu, manajemen kecemasan dan gangguan psikologis sebelum operasi adalah aspek penting dari persiapan pre-operatif.70,71
Kecemasan pre-operatif dapat bervariasi dari tingkat yang ringan hingga berat, dan sering kali berhubungan dengan ketakutan akan operasi, anestesi, rasa sakit, atau bahkan kematian. Pasien yang mengalami kecemasan yang tinggi mungkin menunjukkan respons fisiologis yang tidak stabil selama induksi anestesi, seperti takikardia, hipertensi, atau peningkatan tonus otot, yang dapat membuat prosedur anestesi menjadi lebih sulit dan meningkatkan risiko komplikasi. Selain itu, kecemasan yang tidak dikelola dengan baik dapat memperburuk pengalaman pasca-operatif, termasuk peningkatan nyeri, mual, atau delirium pascaoperatif.72
Pertimbangan utama dalam manajemen kecemasan pre-operatif adalah memastikan bahwa pasien merasa tenang dan didukung sebelum menjalani operasi. Ini memerlukan penilaian risiko yang cermat, intervensi yang disesuaikan dengan kebutuhan individu pasien, serta komunikasi yang efektif antara pasien dan tim medis. Pasien harus merasa bahwa kekhawatiran mereka diakui dan dihormati, dan bahwa mereka memiliki peran aktif dalam proses perawatan mereka.73
Pada akhirnya, tujuan dari manajemen kecemasan pre-operatif adalah untuk menciptakan kondisi yang paling mendukung bagi pasien sebelum operasi, sehingga mereka dapat menghadapi prosedur dengan ketenangan dan keyakinan. Ini membutuhkan pendekatan yang individual dan komprehensif, dengan mempertimbangkan faktor-faktor psikologis, medis, dan sosial yang mempengaruhi pengalaman pasien.74,75
Kesulitan dalam Penentuan Teknik Anestesi yang Optimal
Memilih teknik anestesi yang optimal untuk setiap pasien adalah salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh dokter anestesi dalam periode pre-operatif. Keputusan ini melibatkan banyak pertimbangan, termasuk kondisi kesehatan pasien, jenis operasi yang akan dilakukan, serta preferensi dan kekhawatiran pasien. Kesulitan dalam menentukan teknik anestesi yang tepat dapat meningkatkan risiko komplikasi perioperatif, memperpanjang waktu pemulihan, dan mempengaruhi hasil keseluruhan operasi. Oleh karena itu, proses pengambilan keputusan ini harus dilakukan dengan hati-hati dan didukung oleh bukti klinis yang tersedia.76
Kesulitan utama dalam menentukan teknik anestesi yang optimal adalah mengintegrasikan berbagai faktor yang mempengaruhi risiko dan manfaat dari setiap pilihan. Misalnya, pada pasien dengan risiko kardiovaskular yang tinggi, anestesi regional mungkin lebih disukai karena memiliki dampak yang lebih minimal terhadap hemodinamik dibandingkan dengan anestesi umum. Namun, jika operasi yang akan dilakukan membutuhkan anestesi umum atau jika pasien tidak dapat mentoleransi anestesi regional, maka pilihan tersebut menjadi lebih kompleks.77,78
Pertimbangan utama dalam menentukan teknik anestesi yang optimal adalah menyeimbangkan risiko dan manfaat bagi setiap pasien secara individual. Ini memerlukan pemahaman yang mendalam tentang kondisi medis pasien, kebutuhan operasi, serta preferensi pasien. Dokter anestesi harus siap untuk membuat keputusan yang fleksibel dan responsif, serta untuk mengubah rencana anestesi jika situasi intra-operatif berubah.79
Tabel 4. Pertanyaan Teknis dan Jawaban dalam Manajemen Pre-operatif
Pertanyaan | Jawaban |
---|---|
Bagaimana penyesuaian dosis obat pre-operatif dilakukan pada pasien dengan komorbiditas? | Penyesuaian dosis obat pre-operatif harus disesuaikan dengan kondisi spesifik pasien. Obat seperti antihipertensi biasanya dilanjutkan hingga hari operasi, sementara antikoagulan mungkin memerlukan penghentian atau penyesuaian dosis untuk mengurangi risiko pendarahan. Pedoman spesifik harus diikuti untuk obat-obatan tertentu. |
Apa kriteria utama dalam memilih antara anestesi regional dan anestesi umum? | Pemilihan antara anestesi regional dan anestesi umum bergantung pada kondisi medis pasien, jenis operasi, dan preferensi pasien. Anestesi regional sering dipilih untuk meminimalkan dampak hemodinamik, sementara anestesi umum mungkin diperlukan untuk operasi yang lebih kompleks atau pada pasien yang tidak dapat mentoleransi anestesi regional. |
Bagaimana cara mengelola pasien yang menggunakan antikoagulan menjelang operasi? | Manajemen pasien yang menggunakan antikoagulan harus mempertimbangkan risiko pendarahan dan tromboemboli. Obat seperti warfarin biasanya dihentikan beberapa hari sebelum operasi, dan heparin bridging dapat digunakan pada pasien dengan risiko tromboemboli tinggi. Keputusan harus disesuaikan dengan kondisi klinis pasien. |
Apa langkah-langkah spesifik untuk mengoptimalkan status nutrisi pre-operatif? | Langkah-langkah untuk mengoptimalkan status nutrisi meliputi penilaian status gizi, pemberian suplemen nutrisi, dan konsultasi dengan ahli gizi jika diperlukan. Pasien dengan malnutrisi mungkin memerlukan intervensi nutrisi khusus untuk meningkatkan penyembuhan luka dan imunitas. |
Seberapa akurat alat penilaian risiko kardiovaskular seperti RCRI dalam prediksi komplikasi perioperatif? | Revised Cardiac Risk Index (RCRI) adalah alat yang cukup akurat dalam prediksi risiko kardiovaskular perioperatif, tetapi tidak sempurna. Penggunaan skor risiko ini harus digabungkan dengan penilaian klinis menyeluruh dan, jika perlu, evaluasi lebih lanjut seperti ekokardiografi atau konsultasi ahli jantung. |
Bagaimana mengelola pasien dengan penyakit paru seperti COPD selama anestesi? | Manajemen pasien dengan COPD melibatkan optimasi fungsi paru sebelum operasi, penggunaan teknik anestesi yang meminimalkan depresi pernapasan, dan pemantauan ketat ventilasi selama operasi. Penggunaan anestesi regional mungkin lebih aman dalam beberapa kasus untuk menghindari komplikasi respirasi. |
Metode apa yang paling efektif untuk mengelola kecemasan pre-operatif? | Metode efektif untuk mengelola kecemasan pre-operatif termasuk penggunaan penjelasan yang jelas kepada pasien, teknik relaksasi, dan jika perlu, obat penenang seperti benzodiazepin. Pendekatan individual yang menggabungkan intervensi psikologis dan farmakologis seringkali paling efektif. |
Seberapa penting penggunaan teknologi pemantauan seperti kapnografi selama operasi? | Kapnografi dan teknologi pemantauan lainnya sangat penting dalam operasi tertentu, terutama pada pasien dengan risiko respirasi atau kardiovaskular yang tinggi. Teknologi ini membantu dalam deteksi dini komplikasi seperti hipoventilasi, perubahan hemodinamik, dan masalah oksigenasi. |
Apa strategi khusus untuk penanganan pasien geriatri dengan multiple comorbidities? | Penanganan pasien geriatri memerlukan pendekatan multidisiplin yang mencakup optimasi komorbiditas, penilaian risiko anestesi yang cermat, dan komunikasi yang baik antara tim bedah, anestesi, dan geriatri. Fleksibilitas dalam rencana perawatan dan kesiapan untuk menangani komplikasi sangat penting. |
Bagaimana dokter anestesi harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan komplikasi intraoperatif? | Dokter anestesi harus mempersiapkan diri untuk komplikasi intraoperatif dengan memahami riwayat kesehatan pasien, mengidentifikasi risiko yang mungkin muncul, dan memiliki rencana darurat yang jelas. Ketersediaan alat bantu dan tim yang siap menghadapi situasi darurat adalah kunci untuk penanganan yang sukses. |
Pada akhirnya, tujuan dari manajemen pre-operatif dalam pemilihan teknik anestesi adalah untuk memastikan bahwa setiap pasien menerima perawatan yang paling aman dan efektif, yang disesuaikan dengan kebutuhan individu mereka. Ini membutuhkan pendekatan yang terintegrasi dan berbasis bukti, serta kolaborasi yang erat dengan tim bedah dan pasien untuk mencapai hasil yang optimal.80
Kesimpulan
Manajemen pre-operatif yang efektif adalah kunci untuk meminimalkan risiko komplikasi dan memastikan hasil operasi yang optimal. Berbagai tantangan yang dihadapi dalam periode pre-operatif, seperti evaluasi yang tidak memadai, manajemen risiko kardiovaskular, gangguan fungsi respirasi, dan kesulitan dalam menentukan teknik anestesi yang tepat, memerlukan pendekatan yang terintegrasi dan individual. Dokter anestesi harus menggunakan penilaian klinis yang cermat, pengetahuan berbasis bukti, dan keterampilan komunikasi yang baik untuk mengelola risiko ini dan memberikan perawatan yang aman dan efektif bagi setiap pasien.81,82
Pendekatan multidisiplin, yang melibatkan kolaborasi erat dengan tim bedah, spesialis lainnya, dan pasien sendiri, sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Dengan terus mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam manajemen pre-operatif, dokter anestesi dapat memainkan peran yang krusial dalam memastikan keberhasilan operasi dan pemulihan yang cepat bagi pasien mereka.83,84
- Fleisher LA, Roizen MF. Essence of anesthesia practice. 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2018.
- Miller RD, Cohen NH, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener-Kronish JP, Young WL. Miller's anesthesia. 8th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015.
- Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, Cahalan MK, Stock MC, Ortega R. Clinical anesthesia. 7th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins; 2013.
- Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM. Anesthesiology. 2nd ed. New York: McGraw-Hill; 2012.
- Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail's clinical anesthesiology. 6th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2018.
- Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
- Fleisher LA, Beckman JA, Brown KA, Calkins H, Chaikof EL, Fleischmann KE, et al. ACC/AHA 2007 guidelines on perioperative cardiovascular evaluation and care for noncardiac surgery: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation. 2007;116(17):1971-96.
- Bhatia K, Lubarsky DA, Marks LH, O’Donnell JA. Anesthesia and co-existing disease. 7th ed. Philadelphia: Elsevier; 2018.
- Arozullah AM, Khuri SF, Henderson WG, Daley J. Development and validation of a multifactorial risk index for predicting postoperative respiratory failure in men undergoing major noncardiac surgery. Ann Surg. 2001;234(5):689-98.
- Practice guidelines for preoperative fasting and the use of pharmacologic agents to reduce the risk of pulmonary aspiration: application to healthy patients undergoing elective procedures: an updated report by the American Society of Anesthesiologists Committee on Standards and Practice Parameters. Anesthesiology. 2011;114(3):495-511.
- Kheterpal S, O'Reilly M, Englesbe MJ, Rosenberg AL, Shanks A, Zhang L, et al. Preoperative and intraoperative predictors of cardiac adverse events after general, vascular, and urological surgery. Anesthesiology. 2009;110(1):58-66.
- Moller JT, Cluitmans P, Rasmussen LS, Houx P, Rasmussen H, Canet J, et al. Long-term postoperative cognitive dysfunction in the elderly ISPOCD1 study. Lancet. 1998;351(9106):857-61.
- Practice advisory for preanesthesia evaluation: an updated report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Preanesthesia Evaluation. Anesthesiology. 2012;116(3):522-38.
- Sessler DI. Temperature monitoring and perioperative thermoregulation. Anesthesiology. 2008;109(2):318-38.
- Bennet-Guerrero E, Welsby I, Dunn TJ, Young LR, Wahl TA, di Tomasso J, et al. The use of low-dose recombinant activated factor VII before cardiopulmonary bypass in patients with a prolonged prothrombin time: a randomized clinical trial. JAMA Surg. 2009;144(3):244-9.
- Erdoes G, Burkhart C, Hager P, Spahn DR. Prevention and management of major blood loss: current practice in North America and Europe. Br J Anaesth. 2014;113(Suppl 2):ii17-ii30.
- Myles PS, Leslie K, Chan MT, Forbes A, Paech MJ, Peyton P, et al. Avoidance of nitrous oxide for patients undergoing major surgery: a randomized controlled trial. Anesthesiology. 2007;107(2):221-31.
- Howard-Quijano K, Huang A, Matevosian R, Mahajan A, Verma A, Satish S. Monitoring for perioperative myocardial injury. Anesthesiology Clin. 2020;38(4):709-27.
- Cooper GM, McClure JH. Maternal mortality. Anesthesia. 2008;63(6):679-87.
- Tramer MR, Moore RA, Reynolds DJ, McQuay HJ. A quantitative systematic review of randomized controlled trials of dizocilpine (MK-801) in the prevention of postoperative pain. Anesthesiology. 1997;86(1):3-11.
- de Jonge R, Egberts AC, Leufkens HG, Hekster YA. Determinants of the dosage of hematopoietic growth factors in cancer patients. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 1998;7(10):907-11.
- Rooke GA, Reves JG. Cardiovascular aging and anesthetic risk. In: Miller RD, editor. Miller's anesthesia. 8th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015. p. 1411-46.
- Groudine SB, Fisher HA, Kaufman RP, Patel MK, Wilkins LJ, Mehta SA, et al. Intravenous lidocaine speeds the return of bowel function, decreases postoperative pain, and shortens hospitalization in patients undergoing radical retropubic prostatectomy. Anesth Analg. 1998;86(2):235-9.
- National Institute for Health and Care Excellence (NICE). Routine preoperative tests for elective surgery: guidance. London: NICE; 2016.
- Kehlet H. Multimodal approach to control postoperative pathophysiology and rehabilitation. Br J Anaesth. 1997;78(5):606-17.
- Bohm SH, Sakka SG, Bock M, Schott D, Reinhart K, Meier-Hellmann A. A comparison of invasive and noninvasive techniques for perioperative intravascular volume management in major surgery. Anesth Analg. 2001;93(2):247-55.
- Jakob SM, Takala J. Arterial oxygen and carbon dioxide tensions and the associated risks in critical care medicine. Intensive Care Med. 2000;26(12):1575-82.
- Pearse RM, Moreno RP, Bauer P, Pelosi P, Metnitz P, Spies C, et al. Mortality after surgery in Europe: a 7-day cohort study. Lancet. 2012;380(9847):1059-65.
- Miller TE, Roche AM, Mythen MG. Fluid management and goal-directed therapy as an outcome modifier in surgery: a systematic review. Anesth Analg. 2015;120(1):166-78.
- Kehlet H, Dahl JB. The value of “multimodal” or “balanced analgesia” in postoperative pain treatment. Anesth Analg. 1993;77(5):1048-56.
- Priebe HJ. Perioperative myocardial infarction—aetiology and prevention. Br J Anaesth. 2005;95(1):3-19.
- Polderman KH, Herold I. Therapeutic hypothermia and controlled normothermia in the intensive care unit: practical considerations, side effects, and cooling methods. Crit Care Med. 2009;37(3):1101-20.
- Thakar CV, Christianson A, Himmelfarb J, Leonard AC. Acute kidney injury episodes and chronic kidney disease risk in diabetes mellitus. Clin J Am Soc Nephrol. 2011;6(11):2567-72.
- Nishimura RA, Otto CM, Bonow RO, Carabello BA, Erwin JP, Fleisher LA, et al. 2014 AHA/ACC guideline for the management of patients with valvular heart disease: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. J Am Coll Cardiol. 2014;63(22):e57-e185.
- Hall RI, Rocker GM, Murray D. High-frequency oscillatory ventilation as a salvage strategy for severe acute respiratory failure after coronary artery bypass grafting. Can J Anaesth. 2003;50(7):739-44.
- Funk GC, Doberer D, Bauer P, Valipour A, Ziegler I, Fauler G, et al. Hemoglobin concentration in arterial blood is associated with the oxygenation index in mechanically ventilated patients. Intensive Care Med. 2004;30(12):2278-82.
- Van den Berg B, Mulder P, Van der Jagt M, Van Dijk D, de Gans J, Moll J. Hypothermia for neuroprotection in case of bacterial meningitis: a randomized controlled trial. Intensive Care Med. 2010;36(1):82-90.
- Jackson R, Chamoun N, Austin P, Mazer D. The inotropic and chronotropic effects of norepinephrine and phenylephrine in the context of perioperative beta blockade. Can J Anaesth. 2009;56(8):617-28.
- Marik PE, Corwin HL. Efficacy of red blood cell transfusion in the critically ill: a systematic review of the literature. Crit Care Med. 2008;36(9):2667-74.
- De Hert S, Moerman A. Myocardial injury and protection related to anesthetic management. Anesthesiology. 2015;123(1):299-313.
- Ho KM, Tan JA. Benefits and risks of maintaining normothermia during cardiopulmonary bypass in adult cardiac surgery: a systematic review. Anaesthesia. 2009;64(5):628-38.
- Bijker JB, van Klei WA, Kappen TH, van Wolfswinkel L, Moons KG, Kalkman CJ. Incidence of intraoperative hypotension as a function of the chosen definition: literature review and empirical analysis. Anesthesiology. 2007;107(2):213-20.
- Marik PE. The stress response to surgery: implications for perioperative management. Surg Clin North Am. 2004;84(4):915-28.
- Garg AX, Devereaux PJ, Yusuf S, Cuerden MS, Parikh CR, Coca SG, et al. Kidney function after off-pump or on-pump coronary artery bypass graft surgery: a randomized clinical trial. JAMA. 2014;311(21):2191-8.
- Aziz O, Athanasiou T, Rao C, Panesar S, Jones C, Darzi A. Meta-analysis of minimally invasive internal thoracic artery harvesting versus conventional internal thoracic artery harvesting. Ann Thorac Surg. 2007;83(1):323-32.
- Levin MA, Fischer GW, Lin HM, McCormick PJ, Krol M, Reich DL. Intraoperative hypotension and the risk of postoperative adverse outcomes: a systematic review. Anesth Analg. 2015;120(4):814-26.
- Bein T, Grasso S, Moerer O, Quintel M, Guerin C, Grasso S. The standard of care of patients with ARDS: ventilatory settings and rescue therapies for refractory hypoxemia. Intensive Care Med. 2016;42(5):699-711.
- Koutsoukou A, Katsiari M, Orfanos S, Kotanidou A, Dimopoulos S. Mechanical ventilation in acute lung injury/acute respiratory distress syndrome: new treatment principles. Ann Thorac Surg. 2012;94(4):1774-82.
- Dyck JB, Brown DL, Wong DT, Brown CR. Perioperative ischemic stroke: incidence, impact, and risk factors. J Clin Anesth. 2009;21(7):508-14.
- Faraoni D, DiNardo JA. Perioperative assessment and management of the bleeding patient. Br J Anaesth. 2015;115(Suppl 2):ii3-15.
- Mellin-Olsen J, Staender S, Whitaker DK, Smith AF. The Helsinki Declaration on Patient Safety in Anaesthesiology. Eur J Anaesthesiol. 2010;27(7):592-7.
- Bainbridge D, Martin JE, Cheng D. Perioperative and anaesthetic-related mortality in developed and developing countries: a systematic review and meta-analysis. Lancet. 2012;380(9847):1075-81.
- Mahmood F, Matyal R. A practical approach to perioperative echocardiography for noncardiac surgery. J Cardiothorac Vasc Anesth. 2012;26(6):915-29.
Ramadhan MF. Manajemen pre-operatif: tantangan dan strategi optimalisasi anestesi dalam praktik klinis. Anesthesiol ICU. 2024;1(1):e002.