Manajemen nyeri di unit perawatan intensif (ICU) merupakan aspek penting dalam perawatan pasien kritis yang sering kali menghadapi tantangan karena kompleksitas kondisi medis, prosedur invasif, dan keterbatasan kemampuan komunikasi pasien. Pengelolaan nyeri yang tidak adekuat dapat mempengaruhi hasil klinis, memperpanjang ventilasi mekanik, serta meningkatkan risiko delirium dan komplikasi lainnya. Oleh karena itu, pendekatan multimodal analgesia (MMA), yang menggabungkan berbagai jenis obat dan teknik analgesik untuk memberikan pengendalian nyeri yang lebih efektif dengan meminimalkan efek samping, menjadi semakin penting dalam praktik klinis ICU. Pendekatan ini bertujuan untuk mencapai kontrol nyeri yang optimal sambil meminimalkan penggunaan opioid dan efek samping terkait, serta mempercepat pemulihan pasien.
Pendahuluan
Nyeri merupakan kejadian yang sering terjadi pada pasien di unit perawatan intensif (ICU), dengan prevalensi hingga 50% pada pasien medis dan bedah. Nyeri ini dikaitkan dengan respons stres akut, seperti perubahan aktivitas sistem neurovegetatif, sekresi neuroendokrin, dan tekanan psikologis yang sering menyebabkan agitasi.1,2
Namun, sebagian besar pasien ICU tidak mendapatkan pengobatan nyeri yang memadai. Tinjauan literatur menunjukkan bahwa sekitar 70% pasien pascabedah mengalami nyeri sedang hingga berat, meskipun diketahui bahwa pengendalian nyeri yang baik dapat meningkatkan pemulihan dan mempercepat pemulangan pasien setelah sakit berat.3
Penyebab nyeri pada pasien di ICU beragam, tidak hanya berasal dari penyakit yang mendasari, tetapi juga pembedahan, prosedur invasif, penggunaan tube dan kateter, serta perawatan rutin seperti suction trakea, mobilisasi, dan penggantian pakaian yang kurang hati-hati. Ketidaknyamanan lain juga bisa muncul dari imobilitas yang menyebabkan kekakuan otot, neuropati, dan ulkus dekubitus.4
Pengelolaan nyeri yang tidak tepat di ICU dapat berdampak serius, seperti memperpanjang penggunaan ventilasi mekanik, meningkatkan lama rawat, serta berpotensi menyebabkan komplikasi paru dan post-traumatic disorder. Sementara itu, pengobatan nyeri yang berlebihan dapat menyebabkan ventilasi mekanis berkepanjangan, delirium, depresi pernapasan, gangguan hemodinamik, dan gangguan kognitif berkepanjangan. Oleh karena itu, tenaga kesehatan perlu memahami pentingnya pengelolaan nyeri yang memadai sambil menstabilkan kondisi medis pasien.1
Pada pasien ICU, opioid seperti fentanil, hydromorphone, methadone, morfin, dan remifentanil masih menjadi pengobatan lini pertama yang direkomendasikan untuk nyeri sedang hingga berat karena efektif, murah, dan relatif mudah digunakan. Namun, karena efek sampingnya yang merugikan, metode tambahan seperti multimodal analgesia (MMA) kini dikembangkan, yakni penggunaan obat non-opioid sebagai tambahan untuk meningkatkan efektivitas terapi nyeri tanpa meningkatkan risiko efek samping opioid.1
MMA mengombinasikan obat dari berbagai kelas dengan mekanisme kerja yang berbeda, menghasilkan efek sinergis dalam pengendalian nyeri, sehingga dosis obat dapat dikurangi untuk mengurangi efek samping. Obat yang sering digunakan mencakup agen yang mencegah sensitisasi sentral, sensitisasi perifer, stabilisator membran, serta yang bekerja pada modulasi desenden.5
Studi oleh Payen et al. (2013) menunjukkan bahwa penggunaan MMA pada pasien kritis dengan ventilasi mekanik dapat mengurangi kebutuhan sedasi dan risiko delirium, serta mengurangi penggunaan opioid dan efek samping terkait opioid. Pasien yang menerima MMA cenderung mengalami lebih sedikit kegagalan organ dan menerima lebih sedikit obat hipnotik dibandingkan yang hanya menerima opioid.7
Pemilihan obat tambahan dalam MMA harus disesuaikan dengan kondisi pasien, seperti menghindari asetaminofen pada pasien dengan gangguan hati atau menggunakan ketamin pada pasien bedah yang berisiko mengalami efek samping opioid, agar dapat menurunkan skor nyeri, mengurangi konsumsi opioid, meminimalkan efek samping baru, dan mengurangi polifarmasi.8
Multimodal Analgesia
Multimodal analgesia (MMA) pertama kali diperkenalkan oleh Kehlet dan Dahl pada tahun 1993. Metode ini mengombinasikan obat dari kelas yang berbeda dengan mekanisme kerja yang bervariasi untuk menghasilkan efek sinergis dalam pengendalian nyeri sambil mengurangi efek samping melalui dosis obat yang lebih rendah. Dalam praktiknya, MMA sering mencakup teknik analgesik regional, seperti infus anestesi lokal, analgesia epidural/intratekal, atau blok saraf perifer. Penggunaan MMA secara rutin terbukti meningkatkan hasil pascabedah.5

Meskipun terdapat perdebatan mengenai efek samping opioid dan krisis opioid, obat ini tetap menjadi pilihan utama dalam analgesia intraoperatif karena tidak ada alternatif yang memiliki efektivitas serupa. Penggunaan opioid dalam jangka pendek masih dapat diterima, namun saat ini terdapat kecenderungan untuk meminimalkan penggunaan opioid jangka panjang pada periode pascabedah jika memungkinkan.6
Beberapa obat atau kombinasi obat telah diteliti untuk mengurangi penggunaan opioid serta nyeri pascabedah. Untuk memahami perubahan fisiologis yang disebabkan oleh pembentukan nyeri, kami mengelompokkan obat berdasarkan peran dan lokasi kerjanya dalam menghambat pembentukan dan penyebaran sinyal nyeri. Obat-obatan tersebut terbagi dalam beberapa kategori: obat yang mencegah sensitisasi sentral, obat yang mencegah sensitisasi perifer, stabilisator membran, dan obat yang bekerja pada modulasi desenden.6
Obat yang Menghambat Sensitisasi Sentral | Obat yang Menghambat Sensitisasi Perifer | Stabilisator Membran | Obat yang Bekerja di Modulasi Desenden |
---|---|---|---|
Antagonis NMDA | OAINS | Voltage Gated Na channel blockers | Penghambat serotonin reuptake |
Voltage gated Ca channel blocker | Asetaminofen | Agonis Alfa-2 | |
Kortikosteroid |
Antagonis NMDA
Reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) diyakini berperan penting dalam patofisiologi hiperalgesia yang diinduksi oleh opioid. Ketamin adalah antagonis reseptor NMDA non-kompetitif yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) AS sebagai obat anestesi dan digunakan dalam regimen multimodal analgesia untuk meningkatkan pengendalian nyeri pascabedah. Selain itu, pemberian ketamin dosis rendah perioperatif (baik melalui bolus atau infus) telah dikaitkan dengan penurunan konsumsi opioid dan penurunan kejadian mual muntah pascabedah secara signifikan.9
Ketamin adalah anestesi umum yang bekerja cepat dan menghasilkan keadaan anestesi yang ditandai dengan analgesia mendalam, pemeliharaan refleks faring-laring, tonus otot skelet yang normal atau sedikit meningkat, efek antidepresan, serta depresi pernapasan yang minimal. Analgesia ketamin juga dapat dimediasi melalui aktivitas serotonin dan norepinefrin, serta interaksinya dengan reseptor opioid, khususnya reseptor delta dan peningkatan fungsi reseptor mu opioid.10
Ketamin menstimulasi sistem kardiovaskular, meningkatkan denyut jantung, tekanan darah arteri, dan curah jantung, yang dimediasi oleh aktivasi sistem saraf simpatis, sehingga menjadi pilihan menarik untuk anestesi pada pasien dengan profil hemodinamik yang tidak stabil. Ketamin juga memiliki efek antagonis pada reseptor monoaminergik, muskarinik, dan nikotinik, menghasilkan efek antikolinergik seperti bronkodilatasi, salivasi, dan peningkatan tonus otot jalan napas.10
Ketamin dengan mudah melintasi sawar darah-otak dengan onset kurang dari 5 menit dan durasi rata-rata sekitar 30 menit. Ketamin dimetabolisme di hati melalui N-demetilasi oleh sistem sitokrom P450 membentuk norketamin, yang diekskresikan melalui urin dan feses.10
Penggunaan ketamin dosis rendah subanestetik (tidak lebih dari 1 mg/kg iv bolus atau 20 µg/kg/menit infus kontinyu) sebagai tambahan morfin dalam regimen multimodal analgesia pascabedah didukung oleh bukti: (i) mekanisme kerja ketamin dan pentingnya sistem transmisi saraf NMDA dalam proses nyeri; (ii) kemampuan ketamin untuk meningkatkan efek analgesik opioid; dan (iii) toksisitas rendah pada dosis subanestetik.11
Penelitian menunjukkan bahwa ketamin mampu menurunkan konsumsi opioid pascabedah. Dalam metaanalisis terhadap 14 Randomized Controlled Trials (RCT) dengan 649 pasien, Pendi et al. menemukan bahwa ketamin perioperatif mengurangi kebutuhan opioid pascabedah hingga 24 jam setelah operasi tulang belakang.12
Efek samping ketamin yang sering dilaporkan umumnya terkait dengan pelepasan katekolamin, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, serta efek disosiatif antara sistem limbik dan jalur talamo-neokortikal, seperti disforia, halusinasi, disorientasi, mimpi yang sangat nyata, serta ilusi sensorik. Namun, pada pasien dewasa, efek samping ini dapat dikurangi dengan pemberian benzodiazepin sebelum ketamin, seperti midazolam yang memiliki durasi kerja singkat, waktu pemulihan cepat, dan efek samping ringan.10
Voltage Gated Ca Channel Blocker
Gabapentin terutama dikenal sebagai obat antiepilepsi yang diperkenalkan pada tahun 1993. Obat ini telah banyak dipelajari dan digunakan sebagai bagian dari terapi multimodal analgesia karena kemampuannya menghambat voltage gated Ca channel presinaptik di ganglia dorsalis dan medula spinalis. Kanal ini diketahui dapat diatur ulang dalam kondisi trauma pembedahan, dan penghambatan kanal ini dapat mencegah pelepasan neurotransmiter eksitatori.3
Meskipun belum ada konsensus dosis optimal dan durasi pemberian, tinjauan sistematis menunjukkan bahwa gabapentin secara keseluruhan memiliki efek hemat opioid dan mengurangi tingkat nyeri pascabedah, terutama pada pasien dengan risiko nyeri pascabedah berat. Bukti menunjukkan bahwa baik gabapentin maupun pregabalin efektif jika diberikan minimal 2 jam sebelum pembedahan untuk mendapatkan manfaat maksimal. Dalam meta-analisis dari 11 penelitian mengenai pregabalin untuk analgesia pascabedah, ditemukan bahwa intensitas nyeri tidak berkurang dalam 24 jam pertama, tetapi total konsumsi opioid menurun seiring dengan peningkatan dosis. Selain itu, kejadian mual dan muntah pascabedah lebih rendah pada pasien yang diberi pregabalin.3
Pemberian gabapentin dalam dosis tinggi perlu dihindari karena dapat menyebabkan depresi pernapasan. Efek samping yang umum meliputi sedasi dan pusing, terutama pada pasien usia lanjut, yang dapat meningkatkan risiko jatuh. Gabapentin dan pregabalin diekskresikan dalam bentuk tidak berubah melalui urin, dan pembersihannya berhubungan langsung dengan clearance kreatinin. Oleh karena itu, pengurangan dosis pregabalin harus diterapkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.6
Agonis Alfa-2
Obat agonis alfa-2 memiliki sifat farmakologis yang mendukung anestesi seperti sedasi, hipnosis, ansiolisis, simpatolisis, dan analgesia, menjadikannya obat tambahan yang ideal dalam multimodal analgesia. Efek antinosiseptif agonis alfa-2 dihasilkan dari stimulasi reseptor α2-adrenoreseptor di medula spinalis dan daerah supraspinal. Dexmedetomidine, salah satu agonis alfa-2, telah digunakan pada pasien perawatan kritis sebagai obat penenang dan analgesik tambahan tanpa efek depresi pernapasan. Dibuktikan bahwa clonidine dan dexmedetomidine mampu mengurangi konsumsi opioid pascabedah, dengan dexmedetomidine lebih efektif dibandingkan clonidine.3
Dibandingkan clonidine, dexmedetomidine memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor α-2, dengan waktu paruh eliminasi dexmedetomidine sekitar 2 jam dan waktu paruh alfa sekitar 6 menit. Penggunaan infus dexmedetomidine di ICU juga menunjukkan manfaat tambahan dalam mengurangi konsumsi morfin dibandingkan dengan sedasi hipnotik konvensional, terutama pada pasien dengan opioid-induced hyperalgesia. Efek samping yang umum pada penggunaan dexmedetomidine meliputi bradikardia dan hipotensi akibat penghambatan simpatis sentral, sehingga perlu perhatian khusus pada pasien dengan vasodilatasi atau bradiaritmia.3
OAINS (Obat Anti Inflamasi Nonsteroid)
Saat terjadi kerusakan jaringan, asam arakidonat dilepaskan dari membran fosfolipid dan dimetabolisme menjadi prostaglandin, yang menurunkan ambang nyeri pada nosiseptor perifer. OAINS bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase, sehingga mengurangi sintesis prostaglandin. Contoh obatnya adalah ibuprofen, yang termasuk dalam kategori non-selektif dan menghambat enzim COX-1 dan COX-2. Penghambatan prostaglandin yang dilakukan OAINS menghasilkan efek anti-inflamasi dan analgesia, walaupun terdapat mekanisme lain yang turut berperan. Misalnya, dexketoprofen trometamol menurunkan respons nosiseptif dengan potensi serupa dengan agonis reseptor opioid.13,14
Ketika diberikan bersama dengan opioid, OAINS menunjukkan efek aditif yang memungkinkan penurunan dosis opioid. Penelitian menunjukkan bahwa OAINS dapat mengurangi kebutuhan opioid sekitar 20-35% saat diberikan pascabedah. Tambahan OAINS dalam terapi opioid juga mengurangi intensitas nyeri, kebutuhan opioid, serta efek samping seperti mual muntah, sedasi, dan retensi urin pascabedah.15
Namun, OAINS juga berisiko meningkatkan perdarahan gastrointestinal, menurunkan fungsi ginjal, dan memperlambat penyembuhan luka. Beberapa faktor seperti usia lanjut, infeksi Helicobacter pylori, riwayat ulkus, dan penggunaan obat-obatan tertentu (misalnya kortikosteroid atau SSRI) meningkatkan risiko efek samping OAINS. OAINS selektif COX-2, meskipun mengurangi risiko perdarahan gastrointestinal, masih menimbulkan kekhawatiran pada fungsi ginjal dan risiko kardiovaskular.5,16
Asetaminofen (Paracetamol)
Asetaminofen (parasetamol; N-asetil-p-aminofenol) adalah metabolit aktif fenasetin yang tersedia dalam bentuk resep maupun bebas sebagai pereda demam dan nyeri. Obat ini sangat populer karena profil keamanannya yang baik, tanpa efek samping yang biasa terjadi pada aspirin.6
Asetaminofen yang diberikan secara oral, rektal, atau parenteral merupakan komponen penting dalam multimodal analgesia. Efek analgesiknya sekitar 20-30% lebih rendah dibandingkan OAINS, tetapi profil farmakologisnya lebih aman. Efektivitasnya meningkat jika digunakan bersama OAINS, yang terbukti menurunkan intensitas nyeri dan mengurangi kebutuhan opioid pascabedah. Penggunaan asetaminofen secara rutin dalam kombinasi dengan teknik anestesi dan analgesia regional memungkinkan pengendalian nyeri hebat dengan OAINS, sehingga membatasi potensi efek samping OAINS.6
Mekanisme kerja asetaminofen masih belum sepenuhnya dipahami, namun secara historis digolongkan bersama OAINS karena kemampuannya menghambat jalur siklooksigenase (COX) di sistem saraf pusat (SSP), tetapi tidak di jaringan perifer. Efek analgesiknya mungkin terkait dengan pengaktifan jalur serotonergik di SSP, serta aktivasi sistem cannabinoid melalui metabolitnya, AM404. Aktivasi ini berperan dalam modulasi transmisi sinaptik glutamatergik di tanduk punggung sumsum tulang belakang.17
Asetaminofen terutama diserap di usus halus, dengan konsentrasi maksimal lebih tinggi jika diberikan secara intravena dibandingkan secara oral. Namun, penelitian menunjukkan bahwa pemberian intravena tidak memiliki keunggulan signifikan dibandingkan oral dalam mengatasi nyeri pascabedah pada pasien yang mampu menelan obat.18
Dalam studi pada pasien bedah jantung, pemberian asetaminofen intravena sebesar 1000 mg setiap 6 jam di ICU mampu menurunkan konsumsi opioid dan meningkatkan kepuasan pasien, meskipun tidak menurunkan efek samping opioid. Pada pasien bedah bariatrik, asetaminofen intravena juga dikaitkan dengan pengurangan biaya perawatan dan kunjungan gawat darurat pascabedah.19,20
Kortikosteroid
Deksametason adalah salah satu kortikosteroid yang banyak diteliti dalam multimodal analgesia untuk mengendalikan nyeri pada periode perioperatif. Deksametason bekerja dengan menghambat aktivitas reseptor kortikosteroid yang diaktifkan dan faktor transkripsi seperti nuclear factor-kappa B serta activator protein-1 yang berperan dalam ekspresi gen pro-inflamasi. Obat ini bisa diberikan melalui jalur oral maupun intravena. Selain efek anti-inflamasi, deksametason juga memiliki efek antiemetik, yang berguna untuk mencegah mual dan muntah pascabedah.15
Dalam penelitian acak, tersamar ganda, dan terkontrol plasebo, pemberian 10 mg deksametason pada pasien yang menjalani embolisasi arteri uterina menunjukkan penurunan skor nyeri dan kadar penanda inflamasi seperti protein C-reaktif, interleukin-6, dan kortisol, dibandingkan dengan kelompok yang menerima plasebo. Pasien juga mengalami mual dan muntah pascabedah yang lebih rendah. Penelitian lain juga menemukan bahwa pemberian deksametason 8 mg bersama fentanil dosis rendah pada operasi hernia inguinalis dapat mengurangi nyeri intraoperatif dan nyeri akut dalam beberapa jam pertama pascabedah.21,22
Meskipun penggunaan kortikosteroid berisiko menimbulkan efek samping seperti gangguan penyembuhan luka, masalah gastrointestinal, nekrosis avaskular, dan hiperglikemia, sebagian besar efek samping ini terkait dengan penggunaan jangka panjang. Penelitian menunjukkan bahwa dosis tunggal deksametason dalam periode perioperatif umumnya aman dan tidak mengganggu penyembuhan luka. Namun, peningkatan kadar glukosa darah setelah pemberian deksametason perlu diperhatikan, meskipun signifikansi klinis hiperglikemia ini belum jelas.15
Membrane Stabilizer
Obat penstabil membran yang diberikan secara intravena telah lama dikenal karena efek antiaritmianya, dengan cara memblok saluran natrium yang membantu menstabilkan membran sel dan mencegah keluarnya sinyal ektopik. Akhir-akhir ini, infus lidokain intravena semakin populer dalam multimodal analgesia, terutama dalam operasi abdomen besar, karena berkaitan dengan pemulihan fungsi usus yang lebih cepat dan pengurangan lama rawat inap di rumah sakit.6
Lidokain memiliki sifat analgesik, antihiperalgesik, dan antiinflamasi, serta dianggap memiliki efek penghambatan ringan pada reseptor NMDA. Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan keamanan (karena lidokain IV diketahui mempengaruhi koagulasi, fibrinolisis, dan agregasi trombosit) dan dosis optimalnya, bukti awal menunjukkan bahwa obat ini dapat memberikan manfaat dalam pengelolaan nyeri.5,6
Efek analgesik lidokain bekerja baik di perifer maupun di sistem saraf pusat, sehingga mengurangi respons nyeri. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa lidokain sistemik dapat mengubah konduksi saraf tanpa membloknya secara keseluruhan. Lidokain dosis rendah mampu menghambat saluran natrium yang diatur melalui reseptor berpasangan NMDA dan G-protein, yang dapat menekan impuls spontan dari saraf yang cedera. Hal ini dapat membantu mengurangi sensasi nyeri yang terus-menerus.23
Lidokain juga mengurangi peradangan neurogenik pada jaringan yang rusak dengan menghambat migrasi granulosit dan menurunkan pelepasan enzim lisosom serta sitokin pro-inflamasi. Efek ini dicapai melalui penghambatan saluran natrium, reseptor G-protein, dan saluran kalium yang sensitif ATP. Selain itu, lidokain dapat mengurangi aktivitas saluran TRP (reseptor potensial transien) yang berperan penting dalam proses nosisepsi dan peradangan neurogenik.23
Opioid
Meskipun terdapat peningkatan penggunaan obat analgesik non-opioid dan adjuvan, serta teknik anestesi yang bertujuan meminimalkan kebutuhan opioid, penggunaan opioid sistemik masih menjadi pilihan utama dalam penatalaksanaan nyeri pembedahan, terutama pada pasien kritis. Menurut The American College of Critical Care Medicine, opioid dianggap sebagai obat lini pertama untuk mengatasi nyeri non-neuropatik pada pasien kritis.5,24
Opioid memiliki profil efek samping yang signifikan, tetapi tetap menjadi modalitas utama untuk mengelola nyeri sedang hingga berat. Beberapa opioid utama yang digunakan dalam penanganan nyeri pasien kritis antara lain morfin, hidromorfon, fentanil, dan remifentanil. Meperidin umumnya dihindari karena potensi toksisitas neurologis, dan metadon cenderung sulit dititrasi karena waktu paruhnya yang panjang dan risiko perpanjangan interval QT.24
Opioid bekerja dengan mengikat reseptor μ, δ, dan κ yang terhubung dengan G protein-couple receptor (GPCR) dalam sistem saraf, dengan spesifisitas berbeda di setiap kelas. Opioid dapat diberikan melalui berbagai rute seperti intravena (IV), oral (PO), subkutan (SC), transdermal, atau transmukosa. Teknik anestesi regional juga sering kali melibatkan penggunaan opioid. Praktik terkini lebih mendukung pemberian opioid secara epidural, intratekal, atau sistemik daripada injeksi intramuskular pada periode perioperatif dan pascabedah.15
Obat | Farmakologi |
---|---|
Fentanil | Obat short-acting dengan redistribusi cepat dalam kompartemen perifer. Cocok untuk pasien dengan gangguan hemodinamik dan ginjal karena dimetabolisme di hati dengan metabolit tidak aktif. |
Remifentanil | Memiliki farmakokinetik yang baik untuk pasien dengan disfungsi organ, cepat terurai dalam plasma. |
Morfin | Harus dihindari pada pasien dengan insufisiensi ginjal karena akumulasi metabolit aktif yang bersifat neurotoksik. |
Pemilihan opioid dan dosisnya disesuaikan dengan karakteristik farmakokinetik serta kondisi pasien. Pada pasien ICU, penggunaan opioid harus dilakukan dengan hati-hati karena efek sampingnya yang serius, seperti depresi pernapasan, mual, muntah, konstipasi, dan risiko ketergantungan. Selain itu, penggunaan opioid yang tidak terkontrol dapat memperpanjang lama rawat dan meningkatkan morbiditas.24
Rute pemberian opioid yang paling umum adalah intravena (IV). Rute enteral (oral) umumnya dibatasi pada pasien dengan fungsi pencernaan yang baik, sedangkan rute intramuskular, subkutan, dan transdermal tidak disarankan karena penyerapannya yang tidak dapat diprediksi. Pemberian opioid sering kali dikombinasikan dengan obat sedatif-hipnotis untuk analgosedasi, tetapi para ahli menyarankan untuk mengatasi nyeri terlebih dahulu dengan opioid, kemudian diikuti oleh pemberian obat penenang jika diperlukan.1
Tatalaksana Nyeri di ICU
The International Association for the Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai “pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau digambarkan dalam istilah kerusakan tersebut”. Nyeri adalah pengalaman umum pada pasien kritis di ICU. Meskipun ada kesadaran akan kebutuhan analgesia di ICU, banyak pasien yang tidak mendapatkan pengobatan yang memadai. Literatur menunjukkan bahwa sekitar 70% pasien pascabedah mengalami nyeri sedang hingga berat, meskipun pengendalian nyeri yang baik dapat meningkatkan pemulihan dan mempercepat pemulangan pasien.3
Penyebab nyeri di ICU dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang mendasari, prosedur invasif, hingga tindakan perawatan rutin seperti suction trakea, mobilisasi, dan penggantian pakaian. Imobilitas juga dapat menimbulkan ketidaknyamanan seperti kekakuan otot, neuropati, dan ulkus dekubitus.4
Nyeri yang tidak terkontrol dapat memperpanjang ventilasi mekanik, meningkatkan lama rawat, serta menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan, pencernaan, kardiovaskular, imunologi, dan endokrin. Selain itu, kurang tidur akibat nyeri juga dapat memperburuk kualitas hidup pasien ICU.3
Sistem | Konsekuensi |
---|---|
Sistem Saraf Pusat | Agitasi, kualitas tidur terganggu |
Endokrin | Perubahan hormon (ACTH, katekolamin, aldosteron, insulin), gangguan metabolisme, retensi air |
Kardiovaskular | Takikardi, peningkatan resistensi vaskular, peningkatan kebutuhan oksigen miokardial |
Gastrointestinal | Ileus, mual, muntah, risiko aspirasi |
Pulmonal | Hipoventilasi, atelektasis, pneumonia, hipoksia |
Imun | Penyembuhan luka lambat, peningkatan produksi sitokin |
Optimalisasi analgesia di ICU menghadapi tantangan karena perubahan fisiologi pasien kritis dan kebutuhan untuk ekstubasi dini serta rehabilitasi. Pada pasien yang diberi ventilasi mekanik dan yang disedasi, penilaian nyeri konvensional tidak dapat dilakukan karena pasien tidak mampu berkomunikasi secara verbal. Tanda vital seperti peningkatan tekanan darah dan denyut jantung sering dianggap indikator nyeri yang kurang akurat. Beberapa teknik modern seperti pupillometry dan Bispectral Index atau EEG sedang dievaluasi untuk penilaian nyeri.1,3
Strategi analgesia modern mengusulkan penatalaksanaan berbasis analgesia adaptif atau dinamis. Fokus utama adalah terapi nyeri yang dititrasi sesuai kondisi klinis pasien yang berubah. Pedoman nyeri dan delirium dari The American College of Critical Care Medicine (ACCM) dan Japanese Pain Agitation and Delirium (J-PAD) tahun 2013 merekomendasikan pemantauan nyeri setiap 4 jam pada pasien ICU dewasa.1
Standar emas untuk penilaian nyeri adalah laporan langsung dari pasien. Jika pasien tidak dapat berkomunikasi, pedoman Federacion Panamericana e Iberica de Sociedades de Medicina Critica y Terapia Intensiva (FEPIMCTI) merekomendasikan penggunaan skala nyeri perilaku seperti Behavioral Pain Scale (BPS) dan Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT) yang terbukti efektif dan andal untuk pasien yang tidak dapat berkomunikasi di ICU.1,25



Dalam tatalaksana nyeri ICU, opioid tetap menjadi pengobatan lini pertama yang direkomendasikan. Pemilihan opioid dan dosisnya bergantung pada faktor farmakokinetik dan kondisi pasien. Penggunaan opioid harus hati-hati karena efek sampingnya yang serius, termasuk depresi pernapasan, mual, muntah, dan konstipasi, yang dapat memperpanjang lama rawat inap dan meningkatkan morbiditas.1
Pemberian opioid umumnya dilakukan secara intravena. Rute enteral (oral) dibatasi pada pasien dengan fungsi pencernaan yang baik, sedangkan rute intramuskular, subkutan, dan transdermal tidak disarankan karena penyerapannya tidak dapat diprediksi. Kombinasi opioid dengan sedatif-hipnotik untuk analgosedation sering dilakukan, namun dianjurkan untuk mengatasi nyeri terlebih dahulu dengan opioid sebelum pemberian sedatif jika diperlukan.24
Penggunaan Multimodal Analgesia pada Pasien ICU
Pedoman terbaru dalam Critical Care Medicine memberikan tiga rekomendasi utama untuk mengelola nyeri dan sedasi di ICU: (1) penggunaan multimodal analgesia (MMA) yang mencakup opioid serta terapi tambahan non-opioid untuk membantu mengurangi dosis opioid, (2) pemberian opioid sebelum sedasi, dan (3) penggunaan sedasi ringan dibandingkan sedasi dalam pada pasien kritis yang memerlukan ventilasi mekanik.8
Penelitian oleh de Souza et al. menunjukkan bahwa intervensi farmakologi berbasis MMA di ICU mampu mengurangi konsumsi opioid sebesar 8,4% hingga 19,1%, dengan tren penggunaan opioid yang berkurang secara signifikan dalam jangka panjang (hingga 3 tahun setelah intervensi). Intervensi ini juga dikaitkan dengan peningkatan penggunaan analgesik adjuvan seperti dexmedetomidine, clonidine, gabapentin, dextroketamine, dan lidokain, tanpa efek samping signifikan pada hasil klinis. Penggunaan MMA juga menurunkan kebutuhan fentanyl, dengan penghematan sekitar 2.520 ampul per tahun dan rata-rata pengurangan 15,1 ampul per pasien.27



Penelitian oleh Payen et al. (2013) juga menunjukkan bahwa penggunaan MMA pada pasien kritis dengan ventilasi mekanik dapat mengurangi sedasi dan delirium, serta menurunkan penggunaan opioid dan efek samping terkait opioid. Pasien yang menerima MMA cenderung mengalami lebih sedikit kegagalan organ dan menggunakan lebih sedikit obat hipnotik dibandingkan pasien yang hanya menerima opioid.7
Berbagai jenis analgesik tambahan, seperti anestesi lokal dan regional (misalnya bupivakain), OAINS (misalnya ketorolak dan ibuprofen), asetaminofen IV, dan antikonvulsan, dapat digunakan untuk mengurangi nyeri dan kebutuhan opioid pada pasien ICU. Namun, keamanan dan efektivitas analgesik tambahan ini sebagai pengobatan tunggal belum sepenuhnya dievaluasi pada pasien kritis. Baru-baru ini, asetaminofen IV telah disetujui untuk penggunaan pascabedah di Amerika Serikat dan terbukti aman serta efektif jika digunakan bersama opioid untuk nyeri pascabedah besar atau operasi jantung.26
Literatur menunjukkan bahwa analgesik non-opioid sebaiknya digunakan untuk mengurangi konsumsi opioid, mengurangi kebutuhan dosis tambahan opioid IV, dan mengurangi efek samping yang berhubungan dengan opioid. Namun, analgesik OAINS harus digunakan hati-hati pada pasien dengan risiko perdarahan atau cedera ginjal. Tinjauan sistematis dan meta-analisis pada tahun 2020 yang mencakup 34 percobaan menunjukkan bahwa kombinasi opioid dan adjuvan non-opioid seperti dexmedetomidine, OAINS, ketamin, gabapentin, pregabalin, dan lainnya dapat mengurangi nyeri pada pasien ICU.1,28
Dexmedetomidine, yang merupakan agonis alfa2-adrenergik, efektif dalam mempertahankan sedasi ringan hingga sedang pada pasien ventilasi mekanik jangka panjang. Dibandingkan dengan midazolam, dexmedetomidine mampu mengurangi lama ventilasi mekanik dan membantu pasien mengkomunikasikan rasa nyeri dengan lebih baik. Efek hemat opioid dari dexmedetomidine juga terbukti mengurangi kebutuhan opioid pada pasien ICU.1
Dalam sebuah RCT single-center, pemberian ketamin tambahan pada pasien ICU pascabedah abdomen menunjukkan pengurangan konsumsi morfin, meskipun intensitas nyeri yang dilaporkan tidak berbeda signifikan. RCT ini menunjukkan bahwa ketamin dosis rendah sebagai tambahan opioid direkomendasikan untuk manajemen nyeri akut pada pasien kritis dewasa, meskipun bukti lebih lanjut masih diperlukan.8
Penggunaan OAINS selektif COX-1 pada pasien ICU pascabedah juga telah dievaluasi dalam beberapa RCT kecil. Analisis menunjukkan penurunan konsumsi morfin yang signifikan, meskipun efek samping terkait OAINS, seperti gagal ginjal dan perdarahan berlebih, perlu diperhatikan. Meskipun manfaat OAINS dirasakan, Critical Care Medicine (CCM) tidak merekomendasikan penggunaan OAINS secara rutin pada pasien ICU dewasa kritis karena risiko efek sampingnya yang signifikan.8
Pemberian analgesik non-opioid tambahan dalam MMA di ICU memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan dosis optimal dan keamanannya pada pasien yang tidak dapat melaporkan nyeri. Selain itu, toksisitas terkait penggunaan non-opioid, seperti efek samping pada hati dan ginjal, serta risiko perdarahan dengan OAINS, perlu dievaluasi lebih dalam.8
Tabel Opiat dan Non-Opiat
Opiat
Opiat | Dosis Ekuianalgesik (mg) | Onset (IV) | Waktu Paruh Eliminasi | Waktu Paruh Sensitif Konteks | Jalur Metabolik | Metabolit Aktif | Dosis Intermiten | Laju Infus IV | Efek Samping dan Informasi Lain | |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
IV | PO | |||||||||
Fentanil | 0.1 | Tidak Berlaku | 1–2 menit | 2–4 jam | 200 menit (infus 6 jam); 300 menit (infus 12 jam)* | N-dealkilasi, Substrat CYP3A4/5 | Tidak ada | 25–100 mcg IV setiap 1–2 jam sesuai kebutuhan | 0.7–10 mcg/kg/jam | Efek samping umum termasuk depresi pernapasan, bradikardia, dan kekakuan otot pada dosis tinggi. |
Hydromorphone | 1.5 | 7.5 | 5–15 menit | 2–3 jam | Tidak Berlaku | Glukuronidasi | Hidromorfon-3-glukuronida | 0.2–1 mg IV setiap 2–3 jam sesuai kebutuhan | 0.5–3 mg/jam | Dapat menyebabkan mual, muntah, konstipasi, dan depresi pernapasan. Perhatian khusus untuk gangguan ginjal. |
Morphine | 10 | 30 | 5–10 menit | 2–4 jam | Tidak Berlaku | Glukuronidasi | Morfina-6-glukuronida (aktif), morfina-3-glukuronida | 2–4 mg IV setiap 2–4 jam sesuai kebutuhan | 0.8–10 mg/jam | Efek samping meliputi hipotensi, mual, muntah, depresi pernapasan. Hati-hati pada pasien dengan disfungsi ginjal karena akumulasi metabolit. |
Methadone | Tidak Berlaku | Tidak Berlaku | 1–3 hari | 15–60 jam | Tidak Berlaku | N-dealkilasi, Substrat CYP3A4/5, 2D6, 2B6, 1A2 | EDDP (tidak aktif) | 2.5–10 mg IV setiap 8–12 jam sesuai kebutuhan | 0.1–0.5 mg/kg/jam | Risiko perpanjangan interval QT, terutama pada dosis tinggi atau penggunaan jangka panjang. Monitor fungsi jantung secara berkala. |
Remifentanil | Tidak Berlaku | Tidak Berlaku | 1–3 menit | 3–10 menit | 3–4 menit | Hidrolisis oleh plasma esterase | Tidak ada | 1 mcg/kg IV setiap 5–10 menit sesuai kebutuhan | 0.05–2 mcg/kg/menit | Efek samping meliputi depresi pernapasan dan hipotensi. Karena waktu paruh pendek, efek analgesia berhenti segera setelah infus dihentikan. |
Non-Opiat
Non-Opiat (Rute) | Onset | Waktu Paruh Eliminasi | Jalur Metabolik | Metabolit Aktif | Dosis | Efek Samping dan Informasi Lain |
---|---|---|---|---|---|---|
Ketamin (IV) | 30–40 detik | 2–3 jam | N-dealkilasi | Norketamin | Loading dose 0.1–0.5 mg/kg IV diikuti dengan 0.05–0.4 mg/kg/jam | Dapat menyebabkan halusinasi, agitasi, dan efek kardiovaskular seperti peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. |
Asetaminofen (PO) | 30–60 menit | 2–4 jam | Glukuronidasi, sulfonasi | Tidak ada | 325–1000 mg setiap 4–6 jam; dosis maksimal 4 g/hari | Mungkin kontraindikasi pada pasien dengan disfungsi hati yang signifikan. Risiko hepatotoksisitas pada dosis tinggi. |
Asetaminofen (PR) | 5–10 menit | 2 jam | Glukuronidasi, sulfonasi | Tidak ada | 650 mg IV setiap 4 jam atau 1000 mg IV setiap 6 jam; maksimal 4 g/hari | Efek samping serupa dengan asetaminofen oral, tetapi risiko iritasi lokal pada jalur rektal. |
Ketorolak (IM/IV) | 10 menit | 2.4–8.6 jam | Hidroksilasi, konjugasi/ekskresi ginjal | Tidak ada | 30 mg IV setiap 6 jam; dosis maksimal 120 mg/hari selama 5 hari | Kontraindikasi pada pasien dengan gangguan ginjal atau risiko perdarahan gastrointestinal. Perhatian pada pasien dengan risiko ulkus lambung. |
Ibuprofen (IV) | Tidak Berlaku | 2.2–2.4 jam | Oksidasi | Tidak ada | 400–800 mg IV setiap 6 jam; dosis maksimal 3.2 g/hari | Risiko perdarahan gastrointestinal dan efek samping kardiovaskular. Tidak disarankan untuk pasien dengan asma atau penyakit hati. |
Ibuprofen (PO) | 25 menit | 1.8–2.5 jam | Oksidasi | Tidak ada | 400 mg setiap 4–6 jam; dosis maksimal 2.4 g/hari | Efek samping termasuk gangguan pencernaan, risiko perdarahan gastrointestinal, dan efek samping kardiovaskular. |
Gabapentin (PO) | Tidak Berlaku | 5–7 jam | Ekskresi ginjal | Tidak ada | Dosis awal 100 mg tiga kali sehari; dosis maksimal 900–3600 mg/hari | Efek samping meliputi sedasi, pusing, dan ataksia. Hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal. |
Karbamazepin immediate release (PO) | 4–5 jam | 25–65 jam awal, lalu 12–17 jam | Oksidasi | Tidak ada | 50–100 mg dua kali sehari; dosis maksimal 1200 mg/hari | Efek samping termasuk pusing, penglihatan ganda, dan risiko gangguan darah yang jarang, seperti anemia aplastik. |
Kesimpulan
Multimodal analgesia (MMA) didefinisikan sebagai metode kombinasi obat dari berbagai kelas dengan mekanisme kerja yang berbeda untuk menghasilkan efek sinergis dalam pengendalian nyeri, sehingga memungkinkan penggunaan dosis obat yang lebih rendah dan mengurangi efek samping masing-masing obat. Obat yang sering digunakan dalam MMA antara lain asetaminofen, OAINS, ketamin, gabapentin, dan lidokain.6
Penggunaan MMA pada pasien kritis dengan ventilasi mekanik di ICU terbukti dapat mengurangi kebutuhan sedasi, mengurangi risiko delirium, serta menurunkan penggunaan opioid dan efek samping terkait opioid. Meski demikian, penelitian mengenai penggunaan MMA pada pasien kritis masih terbatas, dan setiap obat tambahan harus dipilih berdasarkan kondisi spesifik pasien, seperti menghindari asetaminofen pada pasien dengan gangguan hati atau menggunakan ketamin pada pasien yang berisiko tinggi mengalami efek samping opioid.7,8
Pemilihan obat tambahan harus mempertimbangkan kondisi spesifik pasien dan tujuan terapi yang diinginkan, seperti mengurangi skor nyeri, mengurangi konsumsi opioid, dan meminimalkan efek samping baru. Hal ini penting untuk mengurangi polifarmasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien ICU.8
- Pota V, Coppolino F, Barbarisi A, Passavanti MB, Aurilio C, Sansone P, dkk. Pain in Intensive Care: A Narrative Review. Pain Ther. 2022;11(2):359–67.
- Chanques G, Pohlman A, Kress JP, Molinari N, de Jong A, Jaber S, dkk. Psychometric comparison of three behavioural scales for the assessment of pain in critically ill patients unable to self-report. Crit Care. 2014;18(5):R160.
- Ehieli E, Yalamuri S, Brudney CS, Pyati S. Analgesia in the surgical intensive care unit. Postgrad Med J. 2017;93(1095):38–45.
- Sigakis MJG, Bittner EA. Ten Myths and Misconceptions Regarding Pain Management in the ICU. Crit Care Med. 2015;43(11):2468–78.
- Butterworth J, Mackey D, Wasnick J. Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 7th Edition. 2022.
- Kaye A, Urman R, Rappaport Y, Siddaiah H, Cornett E, Belani K, dkk. Multimodal analgesia as an essential part of enhanced recovery protocols in the ambulatory settings. J Anaesthesiol Clin Pharmacol. 2019;35(5):40.
- Payen JF, Genty C, Mimoz O, Mantz J, Bosson JL, Chanques G. Prescribing nonopioids in mechanically ventilated critically ill patients. J Crit Care. 2013;28(4):534.e7-534.e12.
- Devlin JW, Skrobik Y, Gélinas C, Needham DM, Slooter AJC, Pandharipande PP, dkk. Clinical Practice Guidelines for the Prevention and Management of Pain, Agitation/Sedation, Delirium, Immobility, and Sleep Disruption in Adult Patients in the ICU. Crit Care Med. 2018;46(9):e825–73.
- Peltoniemi MA, Hagelberg NM, Olkkola KT, Saari TI. Ketamine: A Review of Clinical Pharmacokinetics and Pharmacodynamics in Anesthesia and Pain Therapy. Clin Pharmacokinet. 2016;55(9):1059–77.
- Midega TD, Chaves RC de F, Ashihara C, Alencar RM, Queiroz VNF, Zelezoglo GR, dkk. Ketamine use in critically ill patients: a narrative review. Rev Bras Ter Intensiva. 2022;34(2).
- GarcÃa-Henares JF, Moral-Munoz JA, Salazar A, Del Pozo E. Effects of ketamine on postoperative pain after remifentanil-based anesthesia for major and minor surgery in adults: A systematic review and meta-analysis. Front Pharmacol. 2018;9:10.
- Pendi A, Field R, Farhan SD, Eichler M, Bederman SS. Perioperative Ketamine for Analgesia in Spine Surgery. Spine. 2018;43:E299–307.
- Mayoral Rojals V, Charaja M, De Leon Casasola O, Montero A, Narvaez Tamayo MA, Varrassi G. New Insights Into the Pharmacological Management of Postoperative Pain: A Narrative Review. Cureus. 2022;.
- Varrassi G, Pergolizzi JV, Dowling P, Paladini A. Ibuprofen Safety at the Golden Anniversary: Are all NSAIDs the Same? A Narrative Review. Adv Ther. 2020;37(1):61–82.
- Helander EM, Menard BL, Harmon CM, Homra BK, Allain AV, Bordelon GJ, dkk. Multimodal Analgesia, Current Concepts, and Acute Pain Considerations. Curr Pain Headache Rep. 2017;21(1):3.
- Varrassi G, Alon E, Bagnasco M, Lanata L, Mayoral-Rojals V, Paladini A, dkk. Towards an Effective and Safe Treatment of Inflammatory Pain: A Delphi-Guided Expert Consensus. Adv Ther. 2019;36(10):2618–37.
- Gerriets V, Anderson J, Patel P, Nappe TM. Acetaminophen. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. 2024.
- Jibril F, Sharaby S, Mohamed A, Wilby KJ. Intravenous versus Oral Acetaminophen for Pain: Systematic Review of Current Evidence to Support Clinical Decision-Making. Can J Hosp Pharm. 2015;68(3).
- Jelacic S, Bollag L, Bowdle A, Rivat C, Cain KC, Richebe P. Intravenous Acetaminophen as an Adjunct Analgesic in Cardiac Surgery Reduces Opioid Consumption, But Not Opioid Related Adverse Effects: A Randomized Controlled Trial. J Cardiothorac Vasc Anesth. 2015;.
- El Chaar M, Stoltzfus J, Claros L, Wasylik T. IV Acetaminophen Results in Lower Hospital Costs and Emergency Room Visits Following Bariatric Surgery: a Double-Blind, Prospective, Randomized Trial in a Single Accredited Bariatric Center. J Gastrointest Surg. 2016;20(4):715–24.
- Kim S, Koo B, Shin C, Ban M, Han K, Kim M. The effects of single‐dose dexamethasone on inflammatory response and pain after uterine artery embolisation for symptomatic fibroids or adenomyosis: a randomised controlled study. BJOG. 2016;123(4):580–7.
- Asad M, Khan F. Effect of a single bolus of dexamethasone on intraoperative and postoperative pain in unilateral inguinal hernia surgery. J Anaesthesiol Clin Pharmacol. 2015;31(3):339.
- Batko I, KoÅ›cielniak-Merak B, Tomasik PJ, Kobylarz K, Wordliczek J. Lidocaine as an element of multimodal analgesic therapy in major spine surgical procedures in children: a prospective, randomized, double-blind study. Pharmacol Rep. 2020;72(3):744–55.
- Kohler M, Chiu F, Gelber KM, Webb CA, Weyker PD. Pain Management in Critically Ill Patients: A Review of Multimodal Treatment Options. Pain Manag. 2016;6(6):591–602.
- Chanques G, Viel E, Constantin JM, Jung B, de Lattre S, Carr J, dkk. The measurement of pain in intensive care unit: Comparison of 5 self-report intensity scales. Pain. 2010;151(3):711–21.
- Barr J, Fraser GL, Puntillo K, Ely EW, Gélinas C, Dasta JF, dkk. Clinical Practice Guidelines for the Management of Pain, Agitation, and Delirium in Adult Patients in the Intensive Care Unit. Crit Care Med. 2013;41(1):263–306.
- de Souza RLP, Abrão J, Garcia LV, Vila Moutinho S, Wiggers E, Cagnoni Balestra A. Impact of a Multimodal Analgesia Protocol in an Intensive Care Unit: A Pre-post Cohort Study. Cureus. 2022.
- Wheeler KE, Grilli R, Centofanti JE, Martin J, Gelinas C, Szumita PM, dkk. Adjuvant Analgesic Use in the Critically Ill: A Systematic Review and Meta-Analysis. Crit Care Explor. 2020;2(7):e0157.
Ramadhan MF. Multimodal Analgesia untuk Tatalaksana Nyeri di ICU. Anesthesiol ICU. 2024;11:a2