Manajemen anemia prabedah merupakan tantangan penting dalam praktik medis, terutama pada pasien yang memerlukan operasi elektif maupun emergensi. Anemia, yang ditandai dengan penurunan kadar hemoglobin (Hb), tidak hanya memengaruhi kemampuan tubuh untuk mengangkut oksigen, tetapi juga berpotensi meningkatkan risiko komplikasi perioperatif. Pemahaman yang mendalam tentang fisiologi hemoglobin, termasuk konsep kurva disosiasi oksihemoglobin dan peran faktor-faktor seperti ion H⁺, 2,3-DPG, serta P50, sangat penting untuk mendukung keputusan klinis. Dengan mengintegrasikan fisiologi ini dalam manajemen transfusi dan optimalisasi oksigenasi jaringan, klinisi dapat memastikan hasil yang lebih baik bagi pasien.


Pendahuluan

Anemia merupakan kondisi yang sering ditemukan dalam praktik klinis prabedah dan memiliki dampak signifikan terhadap hasil operasi. Pada konteks prabedah, anemia tidak hanya meningkatkan risiko komplikasi, tetapi juga dapat memengaruhi keputusan waktu pelaksanaan operasi, baik elektif maupun emergensi.1 Dalam situasi ini, transfusi darah sering kali menjadi pilihan utama untuk memperbaiki kadar hemoglobin (Hb) dan oksigenasi jaringan.

Namun, keputusan transfusi tidak hanya tentang menaikkan kadar Hb. Efektivitas transfusi dalam memperbaiki oksigenasi jaringan sangat dipengaruhi oleh aspek fisiologis, seperti kemampuan hemoglobin untuk melepaskan oksigen yang ditentukan oleh kurva disosiasi oksihemoglobin. Faktor seperti kadar 2,3-DPG dalam darah yang ditransfusikan, waktu penyimpanan darah, dan jenis anemia (akut atau kronik) juga memainkan peran penting dalam menentukan apakah operasi dapat dilakukan segera setelah transfusi.2,3

Dalam artikel ini, kita akan membahas strategi manajemen anemia prabedah yang mencakup:

  • Jenis anemia dan adaptasi tubuh.
  • Peran transfusi darah dan pengaruhnya terhadap oksigenasi jaringan.
  • Kapan operasi elektif atau emergensi dapat dilakukan pascatransfusi.
  • Pentingnya fisiologi kurva disosiasi oksihemoglobin dalam keputusan klinis.

Pendekatan ini bertujuan memberikan panduan berbasis fisiologi dan bukti ilmiah untuk membantu klinisi mengambil keputusan yang aman dan efektif bagi pasien.

Jenis Anemia dan Adaptasi Tubuh

Anemia prabedah dapat dibagi menjadi anemia akut dan anemia kronik berdasarkan waktu terjadinya penurunan kadar hemoglobin (Hb), mekanisme kompensasi tubuh, dan implikasi klinisnya.4

Anemia Akut

Anemia akut terjadi ketika kadar Hb turun secara cepat dalam waktu kurang dari satu minggu, misalnya akibat perdarahan masif atau hemolisis akut. Penurunan yang mendadak ini sering melampaui kemampuan tubuh untuk beradaptasi, sehingga gejala hipoksia jaringan seperti palpitasi, sesak napas, hipotensi, dan penurunan kesadaran lebih sering muncul.5 Dalam situasi ini, tubuh mencoba mengompensasi dengan meningkatkan curah jantung untuk mempertahankan suplai oksigen ke jaringan vital. Namun, tanpa penanganan yang cepat, kapasitas kompensasi ini akan gagal, terutama pada pasien dengan komorbid kardiovaskular atau paru.6

Anemia Kronik

Anemia kronik berkembang secara bertahap dalam waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, memberikan tubuh waktu untuk beradaptasi terhadap kadar Hb yang rendah. Mekanisme kompensasi utama adalah peningkatan kadar 2,3-DPG dalam eritrosit, yang menurunkan afinitas hemoglobin terhadap oksigen dan mempermudah pelepasan oksigen ke jaringan. Selain itu, tubuh meningkatkan curah jantung dan perfusi jaringan, serta memprioritaskan aliran darah ke organ vital seperti otak dan jantung.7

Pasien dengan anemia kronik cenderung lebih toleran terhadap kadar Hb rendah dibandingkan pasien dengan anemia akut, sehingga sering kali tidak menunjukkan gejala berat. Gejala yang muncul, seperti kelelahan atau penurunan toleransi aktivitas, biasanya bersifat ringan dan hanya terdeteksi pada pemeriksaan laboratorium.8

Implikasi Perbedaan Jenis Anemia

Pada anemia akut, prioritas klinis adalah mengatasi penyebab yang mendasari dan memperbaiki hipoksia jaringan secara cepat, misalnya dengan transfusi atau resusitasi cairan. Sebaliknya, pada anemia kronik, manajemen lebih berfokus pada peningkatan bertahap kadar Hb ke tingkat yang aman untuk operasi tanpa risiko komplikasi dari overload cairan atau transfusi yang berlebihan.9

Peran Transfusi dalam Manajemen Anemia

Transfusi darah adalah salah satu strategi utama dalam menangani anemia prabedah, terutama untuk meningkatkan kadar hemoglobin (Hb) dan memperbaiki kapasitas pengangkutan oksigen. Namun, efektivitas transfusi tidak hanya bergantung pada jumlah Hb yang meningkat, tetapi juga pada kemampuan hemoglobin untuk melepaskan oksigen ke jaringan, yang sangat dipengaruhi oleh kadar 2,3-DPG dalam darah yang ditransfusikan.10

Manajemen Anemia Perioperatif: Pertimbangan Transfusi dan Operasi

Fresh Whole Blood (FWB)

Fresh whole blood (FWB) adalah darah segar yang ditransfusikan dalam waktu kurang dari 24 jam setelah diambil. FWB memiliki keunggulan karena mengandung kadar 2,3-DPG yang masih tinggi, sehingga hemoglobin dapat melepaskan oksigen secara efisien ke jaringan. Selain itu, FWB juga mengandung plasma dan faktor koagulasi, yang bermanfaat dalam kondisi dengan risiko perdarahan tinggi atau hipovolemia.11 Dalam anemia akut, FWB adalah pilihan ideal karena memberikan efek langsung terhadap oksigenasi jaringan dan stabilitas hemodinamik.

Packed Red Cells (PRC)

Packed red cells (PRC) adalah komponen darah yang hanya mengandung eritrosit. PRC memiliki dua kategori utama berdasarkan waktu penyimpanan:

  • PRC Segar (<7 hari): Kadar 2,3-DPG dalam PRC segar masih memadai, sehingga hemoglobin mampu melepaskan oksigen secara optimal. PRC segar sering digunakan pada anemia akut atau kronik yang memerlukan peningkatan Hb segera.12
  • PRC Lama (>7 hari): Kadar 2,3-DPG dalam PRC lama menurun secara signifikan karena metabolisme eritrosit melambat selama penyimpanan di suhu dingin (4°C). Akibatnya, hemoglobin dalam darah ini memiliki afinitas tinggi terhadap oksigen, sehingga pelepasan oksigen ke jaringan menjadi kurang efisien. Untuk pasien dengan hipoksia berat, PRC lama memerlukan waktu pemulihan kadar 2,3-DPG sekitar 24–48 jam setelah transfusi.13

Fisiologi Pelepasan Oksigen: Kurva Disosiasi Oksihemoglobin

Kurva disosiasi oksihemoglobin menjelaskan hubungan antara saturasi oksigen hemoglobin (SaO₂) dan tekanan parsial oksigen (PaO₂). Kurva ini berbentuk sigmoid karena sifat cooperative binding hemoglobin, di mana pengikatan satu molekul oksigen ke hemoglobin meningkatkan afinitas untuk molekul berikutnya. Sebaliknya, pelepasan satu molekul oksigen mengurangi afinitas untuk oksigen lainnya. Posisi kurva ini dapat bergeser ke kanan atau ke kiri tergantung pada kondisi fisiologis tubuh.Faktor-faktor berikut memengaruhi posisi kurva:14

  • Pergeseran ke kanan: Pelepasan oksigen lebih mudah terjadi, misalnya pada kadar 2,3-DPG yang tinggi, peningkatan ion H⁺ (asidosis), atau suhu tubuh yang tinggi.
  • Pergeseran ke kiri: Hemoglobin lebih sulit melepaskan oksigen, misalnya pada darah lama dengan kadar 2,3-DPG rendah, alkalosis, atau suhu tubuh rendah.

Kurva Disosiasi Oksihemoglobin

Konsep P50

P50 adalah tekanan parsial oksigen (PaO₂) pada saat hemoglobin (Hb) mencapai 50% saturasi oksigen (SaO₂). Nilai ini menunjukkan tingkat afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Pada kondisi normal, P50 berada di sekitar 26–27 mmHg. Ketika nilai P50 meningkat, hal ini menunjukkan bahwa hemoglobin memiliki afinitas lebih rendah terhadap oksigen, sehingga oksigen lebih mudah dilepaskan ke jaringan. Kondisi seperti ini terjadi pada situasi asidosis, peningkatan kadar CO₂, suhu tubuh yang lebih tinggi, atau tingginya kadar 2,3-DPG. Sebaliknya, penurunan P50 menunjukkan afinitas hemoglobin yang lebih tinggi terhadap oksigen, yang berarti oksigen lebih sulit dilepaskan ke jaringan. Hal ini dapat terjadi pada alkalosis, penurunan kadar CO₂, suhu tubuh yang lebih rendah, atau rendahnya kadar 2,3-DPG.

Nilai P50 memiliki relevansi penting dalam praktik klinis. Sebagai contoh, peningkatan P50 membantu pelepasan oksigen ke jaringan, yang sangat bermanfaat pada area dengan aktivitas metabolik tinggi. Sebaliknya, penurunan P50 mendukung pengikatan oksigen yang lebih baik di paru-paru, sehingga saturasi oksigen darah arteri tetap optimal. Selain itu, perubahan P50 juga dapat memberikan petunjuk tentang adanya gangguan hemoglobin, seperti hemoglobinopati, atau membantu pemantauan pasien dalam kondisi kritis seperti sepsis atau gangguan asam-basa tubuh.

Pengaruh Ion H⁺: Efek Bohr

Konsentrasi ion H⁺ memengaruhi kemampuan hemoglobin untuk melepaskan oksigen melalui Efek Bohr. Ketika konsentrasi H⁺ meningkat (asidosis), ion H⁺ berikatan dengan hemoglobin dan mengubahnya menjadi bentuk Tense (T-state), yang memiliki afinitas lebih rendah terhadap oksigen. Hal ini mempermudah pelepasan oksigen ke jaringan dan menyebabkan pergeseran kurva ke kanan.15 Sebaliknya, pada alkalosis (konsentrasi H⁺ rendah), hemoglobin berada dalam bentuk Relaxed (R-state) dengan afinitas tinggi terhadap oksigen, sehingga pelepasan oksigen menjadi sulit dan kurva bergeser ke kiri.16

Peran 2,3-DPG

2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) adalah metabolit yang diproduksi oleh eritrosit untuk mengatur afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Molekul ini berikatan dengan hemoglobin pada kantong spesifik di antara rantai beta, yang menstabilkan bentuk T-state hemoglobin. Dengan stabilnya T-state, hemoglobin lebih mudah melepaskan oksigen ke jaringan, terutama pada daerah dengan kadar oksigen rendah.17

Peningkatan kadar 2,3-DPG menyebabkan pergeseran kurva ke kanan, yang meningkatkan pelepasan oksigen. Kondisi ini terjadi pada:

  • Anemia kronik: Tubuh beradaptasi dengan meningkatkan produksi 2,3-DPG.
  • Hipoksia kronik: Seperti pada orang yang tinggal di dataran tinggi.

Sebaliknya, penurunan kadar 2,3-DPG menyebabkan pergeseran kurva ke kiri, sehingga pelepasan oksigen menjadi sulit. Hal ini ditemukan pada:

  • Darah lama: Eritrosit yang disimpan lebih dari 7 hari kehilangan 2,3-DPG secara signifikan.
  • Alkalosis: Produksi 2,3-DPG menurun akibat metabolisme eritrosit yang terhambat.

Relevansi Klinis dalam Transfusi

Relevansi fisiologi ini sangat penting dalam transfusi prabedah. Darah segar atau PRC segar mendukung pergeseran kurva ke kanan, meningkatkan pelepasan oksigen ke jaringan. Sebaliknya, darah lama dengan kadar 2,3-DPG rendah menyebabkan pergeseran kurva ke kiri, sehingga pelepasan oksigen menjadi tidak efisien, terutama pada pasien dengan kebutuhan oksigen tinggi.15

Transfusi darah segar (FWB atau PRC <7 hari) mendukung pelepasan oksigen ke jaringan secara efisien karena kadar 2,3-DPG masih normal. Sebaliknya, darah lama (>7 hari) memerlukan waktu 24–48 jam untuk memulihkan kadar 2,3-DPG, yang berpotensi menyebabkan hipoksia jaringan jika operasi dilakukan segera setelah transfusi.18

Kapan Operasi Dapat Dilakukan?

Keputusan untuk melanjutkan operasi setelah transfusi darah pada pasien dengan anemia prabedah bergantung pada beberapa faktor, termasuk jenis anemia (akut atau kronik), kondisi klinis pasien, jenis darah yang ditransfusikan, dan waktu yang tersedia untuk pemulihan oksigenasi jaringan.19

Operasi Elektif

Operasi elektif dapat dilakukan segera setelah transfusi jika pasien memenuhi kriteria berikut:

  • Hb Telah Mencapai Target:
    • ≥10 g/dL: Untuk operasi mayor atau risiko tinggi.
    • ≥8 g/dL: Untuk operasi minor atau risiko rendah, terutama jika pasien stabil secara hemodinamik.20
  • Pasien Tanpa Gejala Aktif: Tidak ada tanda hipoksia jaringan seperti sesak napas, palpitasi, atau nyeri dada. Saturasi oksigen (SpO₂) normal (≥94%) tanpa dukungan oksigen tambahan.
  • Jenis Transfusi:
    • FWB atau PRC Segar (<7 hari): Dapat langsung meningkatkan oksigenasi jaringan, memungkinkan operasi segera.
    • PRC Lama (>7 hari): Membutuhkan waktu 24–48 jam untuk pemulihan kadar 2,3-DPG, sehingga operasi sebaiknya ditunda hingga oksigenasi jaringan optimal.21

Kondisi Khusus: Operasi elektif sebaiknya ditunda pada:

  • Anemia Akut Bergejala: Hipotensi, sesak napas berat, atau tanda hipoksia jaringan harus dikoreksi sebelum operasi.
  • Anemia Akut dengan Transfusi Darah Lama (>7 hari): Jika stok darah segar tidak tersedia, tunggu 24–48 jam untuk memungkinkan regenerasi 2,3-DPG dalam eritrosit yang ditransfusikan, terutama untuk operasi mayor.22

Operasi Emergensi

Pada operasi emergensi, kebutuhan untuk menyelamatkan nyawa pasien menjadi prioritas utama. Operasi tetap harus dilakukan, bahkan jika stok darah segar tidak tersedia, dengan strategi berikut untuk meminimalkan risiko hipoksia jaringan:

Strategi Optimalisasi Oksigenasi Jaringan

  • Oksigen Suplemental:

    Tambahkan oksigen melalui nasal cannula, simple face mask, atau non-rebreather mask untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen (PaO₂) dan saturasi oksigen (SpO₂). Pada kondisi berat, gunakan ventilasi mekanik dengan tekanan positif untuk mendukung oksigenasi jaringan.

  • Pemantauan Ketat:

    Monitor parameter berikut secara kontinu:

    • SpO₂: Pastikan saturasi oksigen ≥94% selama prosedur.
    • Laktat Serum: Pantau kadar laktat untuk mendeteksi hipoperfusi jaringan. Peningkatan kadar laktat memerlukan intervensi tambahan.
    • Tekanan Darah Arteri: Pastikan perfusi jaringan memadai dengan menjaga tekanan darah dalam batas normal, terutama pada pasien dengan komorbid kardiovaskular.
  • Kombinasi dengan Resusitasi Cairan:

    Berikan cairan kristaloid seperti ringer laktat atau saline normal untuk mengatasi hipovolemia dan mendukung perfusi jaringan. Cairan koloid dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan tekanan onkotik pada kasus tertentu.

  • Perbaikan pH Darah:

    Koreksi asidosis metabolik dengan pemberian bikarbonat sesuai indikasi untuk menghindari pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri. Pantau analisis gas darah (ABG) untuk evaluasi status asam-basa.

  • Optimalisasi Hemodinamik:

    Gunakan inotropik seperti dobutamin atau vasopressor seperti norepinefrin jika tekanan darah tetap rendah meskipun volume darah mencukupi. Pastikan curah jantung memadai untuk perfusi jaringan.

  • Manajemen Suhu Tubuh:

    Pertahankan suhu tubuh normal (36–37°C) dengan menggunakan pemanas eksternal atau cairan hangat. Hipotermia memperburuk pelepasan oksigen ke jaringan dengan menggeser kurva disosiasi ke kiri.

  • Stimulasi Produksi 2,3-DPG:

    Dorong aktivitas metabolik eritrosit untuk memulihkan kadar 2,3-DPG dalam 24–48 jam setelah transfusi darah lama. Hindari hiperoksia yang dapat menekan produksi 2,3-DPG

Dengan kombinasi strategi ini, pasien dapat tetap menjalani operasi emergensi meskipun menggunakan darah lama, dan oksigenasi jaringan tetap dapat dipertahankan secara memadai.23

Tantangan dan Strategi Klinis

Manajemen anemia prabedah memerlukan pendekatan holistik yang tidak hanya bertujuan meningkatkan kadar hemoglobin (Hb), tetapi juga memastikan oksigenasi jaringan yang optimal. Dalam praktik klinis, terdapat sejumlah tantangan yang sering dihadapi, terutama dalam situasi keterbatasan sumber daya atau kondisi pasien yang memerlukan tindakan segera. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan strategi berbasis fisiologi yang dapat meminimalkan risiko komplikasi perioperatif.24

Tantangan Klinis

  • Anemia Akut Bergejala:

    Pasien dengan anemia akut yang belum terkompensasi (hipotensi, hipoksia, atau laktat tinggi) memerlukan stabilisasi hemodinamik sebelum operasi. Gejala aktif seperti sesak napas dan palpitasi meningkatkan risiko komplikasi perioperatif, terutama pada pasien dengan komorbid kardiovaskular atau paru.25

  • Penggunaan Darah Lama (>7 Hari):

    Darah lama sering kali menjadi satu-satunya pilihan pada kondisi darurat atau keterbatasan stok. Namun, kadar 2,3-DPG yang rendah menyebabkan hemoglobin sulit melepaskan oksigen ke jaringan, memperburuk hipoksia, terutama selama prosedur mayor.26

  • Komorbiditas Penyerta:

    Penyakit jantung atau paru kronik memperburuk hipoksia jaringan karena kemampuan tubuh untuk meningkatkan curah jantung atau ventilasi terbatas. Pasien dengan gangguan koagulasi memiliki risiko perdarahan tambahan yang dapat memperburuk anemia intraoperatif.

  • Adaptasi pada Anemia Kronik:

    Pasien dengan anemia kronik sering kali telah beradaptasi terhadap kadar Hb rendah, sehingga gejalanya ringan atau tidak muncul. Namun, risiko perdarahan intraoperatif tetap signifikan jika kadar Hb terlalu rendah pada awal operasi.27

Strategi Klinis

  • Stabilisasi pada Anemia Akut Bergejala:

    Pastikan pasien stabil sebelum operasi dengan:

    • Transfusi darah segar (FWB atau PRC <7 hari) jika tersedia.
    • Resusitasi cairan atau dukungan vasopressor sesuai kebutuhan.
    • Meningkatkan Hb hingga mencapai target, terutama untuk operasi mayor.
  • Manajemen pada Penggunaan Darah Lama (>7 Hari):

    Optimalisasi oksigenasi jaringan dengan strategi seperti oksigen suplemental, koreksi asidosis, dan pemantauan ketat saturasi oksigen (SpO₂). Tunda operasi elektif hingga 24–48 jam jika memungkinkan untuk memungkinkan pemulihan kadar 2,3-DPG.

  • Penanganan Anemia Kronik:

    Transfusi bertahap untuk menghindari risiko overload cairan, terutama pada pasien dengan penyakit kardiovaskular. Fokus pada peningkatan kadar Hb hingga target tanpa kebutuhan waktu tunggu lama, karena tubuh telah beradaptasi.

  • Manajemen Pascabedah:

    Pantau tanda vital, saturasi oksigen, dan kadar laktat secara ketat selama 48 jam pertama pascabedah. Jika kadar Hb tetap rendah, pertimbangkan transfusi tambahan atau suplementasi zat besi untuk mempercepat pemulihan.28

Kesimpulan

Manajemen anemia prabedah adalah komponen penting dalam memastikan keselamatan pasien selama operasi, baik elektif maupun emergensi. Pendekatan yang efektif tidak hanya bergantung pada peningkatan kadar hemoglobin (Hb), tetapi juga pada pemahaman fisiologi hemoglobin, termasuk pengaruh kurva disosiasi oksihemoglobin terhadap pelepasan oksigen ke jaringan.

Pada operasi elektif, keputusan untuk melanjutkan operasi dapat dilakukan segera setelah transfusi jika kadar Hb telah mencapai target dan pasien stabil, terutama ketika menggunakan darah segar (FWB atau PRC <7 hari). Namun, pada anemia akut dengan transfusi darah lama (>7 hari), diperlukan waktu pemulihan 24–48 jam untuk mengoptimalkan oksigenasi jaringan. Dalam operasi emergensi, strategi optimalisasi oksigenasi, termasuk pemberian oksigen suplemental, pemantauan ketat, dan koreksi hemodinamik, harus diterapkan untuk meminimalkan risiko komplikasi.

Fisiologi kurva disosiasi oksihemoglobin memberikan wawasan kritis tentang bagaimana ion H⁺, kadar 2,3-DPG, dan status asam-basa tubuh memengaruhi pelepasan oksigen. Pemahaman ini memastikan bahwa transfusi darah digunakan secara efektif untuk mendukung oksigenasi jaringan. Pendekatan berbasis fisiologi ini memungkinkan keputusan klinis yang lebih aman dan tepat dalam manajemen anemia perioperatif.


Daftar Pustaka
  1. Shander A, Javidroozi M, Ozawa S, et al. Anemia and perioperative outcomes: what do we know? Transfus Med Rev. 2011;25(1):28-35. PubMed
  2. Goodnough LT, Shander A. Patient blood management. Anesthesiology. 2012;116(6):1367-76. PubMed
  3. Acheson AG, Brookes MJ. Anaemia in colorectal cancer: is it important? Colorectal Dis. 2008;10(8):794-9. PubMed
  4. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med. 2005;352(10):1011-23. PubMed
  5. Beutler E, Waalen J. The definition of anemia: what is the lower limit of normal of the blood hemoglobin concentration? Blood. 2006;107(5):1747-50. PubMed
  6. Schrier SL. Pathophysiology of anemia of chronic disease. Curr Opin Hematol. 2006;13(3):197-202. PubMed
  7. Tinmouth A, Fergusson D, Yee IC, et al. Clinical consequences of anemia and red cell transfusion in the critically ill. Crit Care. 2004;8 Suppl 2:S29-36. PubMed
  8. Callum JL, Pinkerton PH, Lima A, et al. Transfusion reactions and adverse events. CMAJ. 2008;178(2):185-96. PubMed
  9. Napolitano LM, Kurek S, Luchette FA, et al. Clinical practice guideline: red blood cell transfusion in adult trauma and critical care. J Trauma. 2009;67(6):1439-42. PubMed
  10. Hod EA, Brittenham GM, Billote GB, et al. Transfusion of human red cells stored for up to 42 days produces impaired oxygen delivery. Blood. 2011;117(23):6071-9. PubMed
  11. West JB. Respiratory physiology: the essentials. 10th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015. Publisher's Page
  12. Tyuma I. Mechanism of the Bohr effect of hemoglobin. Physiol Rev. 1984;64(1):132-72. PubMed
  13. Shander A, Goodnough LT. Transfusion and anemia: time to focus on patient-centered management. Anesth Analg. 2014;119(3):514-21. PubMed
  14. Musallam KM, Tamim HM, Richards T, et al. Preoperative anemia and postoperative outcomes in non-cardiac surgery: a retrospective cohort study. Lancet. 2011;378(9800):1396-407. PubMed
  15. Pape A, Stein P, Horn O, Habler O. Clinical evidence of blood transfusion effectiveness. Blood Transfus. 2009;7(4):250-8. PubMed
  16. Burns JM, Yang X, Forouzan O, Sosa JM, Shevkoplyas SS. Artificial microvascular network: a new tool for measuring rheologic properties of stored red blood cells. Transfusion. 2012;52(5):1010-23. PubMed
  17. Raval JS, Waters JH, Seltsam A, et al. The use of the mechanical fragility test in evaluating sublethal RBC injury during storage. Vox Sang. 2010;99(4):325-31. PubMed
  18. Shander A, Hofmann A, Gombotz H, Theusinger OM, Spahn DR. Estimating the cost of blood: past, present, and future directions. Best Pract Res Clin Anaesthesiol. 2007;21(2):271-89. PubMed
  19. Holst LB. Benefits and harms of red blood cell transfusions in patients with septic shock in the intensive care unit. Dan Med J. 2016;63(2):B5209. PubMed
  20. Dean A, Fergusson D, Hogan DL, et al. Effect of fresh red blood cell transfusions on clinical outcomes in premature, very low-birth-weight infants: the ARIPI randomized trial. JAMA. 2012;308(14):1443-51. PubMed
  21. Walsh TS, Stanworth S, Boyd J, et al. The Age of Blood Evaluation (ABLE) randomized controlled trial: description of the UK-funded arm of the international trial, the UK cost-utility analysis and secondary analyses exploring factors associated with health-related quality of life and health-care costs during the 12-month follow-up. Health Technol Assess. 2017;21(62):1-278. PubMed
  22. Hess JR. Scientific problems in the regulation of red blood cell products. Transfusion. 2012;52(8):1827-35. PubMed
  23. Mollison PL, Engelfriet CP, Contreras M. Blood transfusion in clinical medicine. 11th ed. Oxford: Blackwell Science; 2005. Publisher's Page
  24. Luten M, Roerdinkholder-Stoelwinder B, Schaap NP, et al. Survival of red blood cells after transfusion: a comparison between red cells concentrates of different storage periods. Transfusion. 2008;48(7):1478-85. PubMed
  25. Almac E, Ngan Kee WD. Respiratory physiology in pregnancy. Best Pract Res Clin Anaesthesiol. 2010;24(1):1-12. PubMed
  26. Klein HG, Spahn DR, Carson JL. Red blood cell transfusion in clinical practice. Lancet. 2007;370(9585):415-26. PubMed
  27. Zimring JC, Welborn R, Peters LL, et al. Effect of 2,3-DPG levels in stored RBCs on tissue oxygenation in surgical patients. J Clin Invest. 2017;127(6):2319-28. PubMed
  28. Carson JL, Triulzi DJ, Ness PM. Indications for and adverse effects of red-cell transfusion. N Engl J Med. 2017;377(13):1261-72. PubMed

Ramadhan MF. Manajemen Anemia Perioperatif: Pertimbangan Transfusi dan Operasi. Anesthesiol ICU. 2024;12:a23

Artikel terkait:

Tinggalkan komentar