Manajemen anestesi pada pasien dengan riwayat trombosis vena dalam (deep vein thrombosis, DVT) memerlukan perhatian khusus untuk mencegah komplikasi tromboemboli perioperatif yang berpotensi fatal. Pendekatan multidisiplin yang mencakup penilaian prabedah, strategi intraoperatif, dan pemantauan pascabedah menjadi kunci keberhasilan dalam pengelolaan kondisi ini. Artikel ini memberikan panduan komprehensif berdasarkan bukti terbaru untuk memastikan keselamatan dan hasil optimal bagi pasien dengan riwayat DVT.
Pendahuluan
Trombosis vena dalam (deep vein thrombosis, DVT) adalah pembentukan bekuan darah di vena dalam, paling sering terjadi di tungkai bawah. Kondisi ini dapat menyebabkan komplikasi serius seperti emboli paru (pulmonary embolism, PE), yang berpotensi fatal jika tidak dikelola dengan baik. Dalam konteks pembedahan, pasien dengan riwayat DVT menghadapi risiko lebih tinggi untuk tromboemboli perioperatif, terutama jika imobilisasi berkepanjangan, kondisi hiperkoagulasi, atau penghentian antikoagulan diperlukan.

Manajemen anestesi pada pasien ini membutuhkan pendekatan multidisiplin yang melibatkan ahli hematologi, kardiologi, dan anestesiologi. Artikel ini membahas strategi penilaian prabedah, manajemen intraoperatif, dan langkah-langkah pencegahan komplikasi pascabedah pada pasien dengan riwayat DVT.
Penilaian Prabedah
Penilaian prabedah yang komprehensif adalah langkah pertama dalam mengelola pasien dengan riwayat DVT. Hal ini bertujuan untuk menilai risiko komplikasi tromboemboli, status antikoagulasi pasien, dan potensi kebutuhan intervensi perioperatif.
1. Riwayat Medis
- Frekuensi dan Lokasi DVT: Pastikan apakah DVT sebelumnya terbatas pada tungkai bawah atau melibatkan vena proksimal, karena risiko emboli paru lebih tinggi pada kasus vena proksimal.
- Penggunaan Antikoagulan: Evaluasi obat antikoagulan yang sedang digunakan, seperti warfarin, rivaroksaban, atau apiksaban, termasuk durasi terapi dan waktu terakhir pemberian.
- Faktor Risiko Hiperkoagulasi: Identifikasi faktor risiko seperti riwayat kanker, kehamilan, imobilisasi, atau gangguan koagulasi bawaan (misalnya, defisiensi protein C/S atau mutasi Leiden faktor V).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium penting untuk menilai status koagulasi pasien dan memandu keputusan klinis. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi:
- INR dan aPTT: Digunakan untuk memantau efektivitas terapi antikoagulan dan menentukan risiko perdarahan.
- D-dimer: Indikator aktivitas fibrinolitik; peningkatan kadar D-dimer dapat menunjukkan adanya risiko trombosis aktif.
- Panel Koagulasi: Termasuk protein C, protein S, dan antitrombin III untuk menilai kelainan koagulasi bawaan.
3. Optimalisasi Prabedah
Optimalisasi pasien sebelum pembedahan melibatkan langkah-langkah berikut:
- Bridging Therapy: Pada pasien yang menggunakan warfarin, pertimbangkan bridging therapy dengan heparin berat molekul rendah (LMWH) selama periode penghentian antikoagulan.
- Pencegahan Dehidrasi: Dehidrasi dapat memperburuk hiperkoagulasi. Pastikan hidrasi yang adekuat selama fase prabedah.
- Mobilisasi: Dorong pasien untuk tetap aktif selama mungkin sebelum operasi untuk mencegah stagnasi darah vena.
4. Stratifikasi Risiko Trombosis Perioperatif
Pasien dengan riwayat DVT perlu dikategorikan berdasarkan risiko trombosis mereka untuk menentukan strategi manajemen yang optimal:
- Risiko Rendah: Pasien dengan DVT lama (>12 bulan) tanpa faktor risiko aktif.
- Risiko Sedang: Pasien dengan DVT lama tetapi memiliki faktor risiko aktif seperti obesitas atau imobilisasi.
- Risiko Tinggi: Pasien dengan DVT baru (<3 bulan) atau riwayat emboli paru.
Stratifikasi risiko ini membantu menentukan kebutuhan untuk tromboprofilaksis intensif dan waktu penghentian antikoagulan sebelum operasi.
5. Well's Score
Well's Score adalah alat penilaian klinis yang digunakan untuk memperkirakan kemungkinan trombosis vena dalam (DVT) pada pasien. Skor ini menggabungkan beberapa parameter klinis untuk membantu dalam stratifikasi risiko dan pengambilan keputusan diagnostik lebih lanjut.
Kriteria Well's Score
Kriteria | Poin |
---|---|
Neoplasma aktif (dalam 6 bulan terakhir atau sedang dalam pengobatan) | +1 |
Paralisis, paresis, atau imobilisasi tungkai bawah | +1 |
Imobilisasi di tempat tidur >3 hari atau pembedahan mayor dalam 12 minggu terakhir | +1 |
Nyeri lokal sepanjang distribusi vena dalam | +1 |
Pembengkakan tungkai secara keseluruhan | +1 |
Pembengkakan tungkai ≥3 cm dibandingkan sisi yang tidak terkena (diukur 10 cm di bawah tuberositas tibia) | +1 |
Pitting edema (terbatas pada tungkai yang bengkak) | +1 |
Vena superfisial kolateral yang terlihat (tidak varikosis) | +1 |
Diagnosis alternatif lebih mungkin dibandingkan DVT | -2 |
Interpretasi Well's Score
- Skor ≥ 3: Risiko tinggi (probabilitas DVT sekitar 75%).
- Skor 1-2: Risiko sedang (probabilitas DVT sekitar 17%).
- Skor 0: Risiko rendah (probabilitas DVT sekitar 3%).
Aplikasi dalam Penilaian Prabedah
Well's Score digunakan dalam kombinasi dengan pemeriksaan laboratorium (seperti D-dimer) dan pencitraan (seperti ultrasonografi doppler) untuk mengonfirmasi diagnosis DVT. Pada pasien dengan risiko tinggi, tromboprofilaksis perioperatif harus dipertimbangkan dengan hati-hati.
Manajemen Intraoperatif
Manajemen intraoperatif pada pasien dengan riwayat trombosis vena dalam (DVT) bertujuan untuk mencegah komplikasi tromboemboli dan memastikan stabilitas hemodinamik selama pembedahan. Strategi ini mencakup pemilihan teknik anestesi yang sesuai, pemantauan intensif, dan langkah pencegahan trombosis.
1. Teknik Anestesi
Pemilihan teknik anestesi harus mempertimbangkan risiko perdarahan akibat antikoagulan dan risiko trombosis pada pasien dengan riwayat DVT. Teknik yang digunakan meliputi:
a. Anestesi Regional
- Keuntungan: Anestesi regional, seperti epidural atau blok saraf perifer, dapat mengurangi risiko trombosis dengan meningkatkan aliran darah vena melalui vasodilatasi.
- Risiko: Harus dihindari jika pasien masih dalam keadaan antikoagulasi penuh (misalnya, INR >1,5 atau trombosit <50.000/mikroliter) karena risiko hematoma epidural.
- Panduan: Tunda prosedur anestesi regional hingga efek antikoagulan menurun sesuai panduan. Misalnya:
- Warfarin: INR <1,5.
- Heparin berat molekul rendah (LMWH): Tunda selama 12-24 jam setelah dosis terakhir.
b. Anestesi Umum
- Keuntungan: Cocok untuk prosedur mayor yang memerlukan kontrol jalan napas atau akses operatif luas.
- Pertimbangan:
- Gunakan teknik intubasi atraumatik untuk menghindari stimulasi simpatik berlebihan yang dapat meningkatkan risiko trombosis.
- Hindari pelumpuh otot dengan durasi eliminasi panjang pada pasien dengan gangguan ginjal yang terkait DVT.
2. Pencegahan Komplikasi Trombosis
Pencegahan trombosis selama operasi memerlukan strategi proaktif, termasuk tromboprofilaksis farmakologis dan mekanis.
a. Tromboprofilaksis Farmakologis
- Heparin: Berikan dosis rendah heparin berat molekul rendah (LMWH) pada pasien dengan risiko trombosis tinggi, kecuali terdapat kontraindikasi perdarahan.
- Aspirin: Digunakan pada pasien dengan risiko sedang jika LMWH tidak dapat diberikan.
- Traneksamat: Hindari penggunaannya pada pasien dengan risiko trombosis tinggi, karena dapat memperburuk hiperkoagulasi.
b. Tromboprofilaksis Mekanis
- Stoking Kompresi: Gunakan stoking kompresi elastis untuk meningkatkan aliran balik vena selama imobilisasi intraoperatif.
- Alat Kompresi Pneumatik: Alat ini memberikan kompresi intermiten pada tungkai, yang efektif untuk mencegah stasis vena.
3. Pemantauan Intraoperatif
Pemantauan ketat selama operasi sangat penting untuk mendeteksi komplikasi tromboemboli secara dini. Aspek pemantauan meliputi:
- Hemodinamik: Monitor tekanan darah, denyut jantung, dan saturasi oksigen secara kontinu untuk mendeteksi perubahan akibat emboli paru.
- Output Urin: Evaluasi fungsi ginjal selama operasi, terutama pada pasien dengan dehidrasi atau hipotensi.
- Gambaran Ventilasi: Perhatikan tekanan jalan napas yang meningkat, yang dapat menjadi tanda emboli paru.
4. Manajemen Komplikasi Trombosis
Jika terjadi komplikasi trombosis selama operasi, langkah-langkah berikut harus dilakukan:
- Emboli Paru:
- Segera berikan oksigen 100% dan tingkatkan ventilasi mekanis.
- Gunakan heparin intravena bolus (80 U/kg) diikuti dengan infus kontinu jika emboli paru terkonfirmasi.
- Hipotensi Berat: Berikan cairan kristaloid atau koloid secara agresif, dan pertimbangkan vasopresor seperti norepinefrin untuk mempertahankan tekanan darah.
- Penilaian Pascaoperasi: Pertimbangkan pencitraan dengan CT angiografi atau ultrasonografi doppler jika ada tanda emboli atau DVT rekuren.
5. Peran Kolaborasi Tim
Manajemen intraoperatif yang efektif membutuhkan koordinasi antara anestesiolog, ahli hematologi, dan ahli bedah untuk memastikan keputusan klinis yang tepat waktu dan berbasis bukti. Komunikasi yang baik selama operasi dapat mencegah komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa.
Manajemen Pascabedah
Manajemen pascabedah pada pasien dengan riwayat trombosis vena dalam (DVT) bertujuan untuk mencegah komplikasi tromboemboli lebih lanjut, memastikan pemulihan yang optimal, dan memulai kembali terapi antikoagulan dengan aman. Pendekatan ini mencakup pemantauan intensif, profilaksis trombosis, dan mobilisasi dini.
1. Pemantauan Pascabedah
Pemantauan pascabedah yang cermat diperlukan untuk mendeteksi komplikasi secara dini dan mencegah morbiditas yang lebih serius. Parameter yang harus dipantau meliputi:
- Hemodinamik: Pemantauan tekanan darah, denyut jantung, dan saturasi oksigen untuk mendeteksi tanda emboli paru atau perdarahan.
- Fungsi Paru: Monitor saturasi oksigen dengan pulse oximetry. Pada pasien dengan risiko tinggi emboli paru, pertimbangkan pencitraan seperti CT angiografi jika ada tanda hipoksemia mendadak.
- Tanda-tanda Perdarahan: Evaluasi tanda klinis perdarahan seperti hematoma pada tempat operasi, hematuria, atau perdarahan gastrointestinal.
- Status Koagulasi: Lakukan pemeriksaan laboratorium seperti INR, aPTT, dan trombosit untuk memantau efek antikoagulan dan status hemostasis.
2. Pencegahan Trombosis Pascabedah
Pencegahan trombosis pascabedah memerlukan pendekatan farmakologis dan mekanis yang disesuaikan dengan risiko pasien:
a. Profilaksis Farmakologis
- Heparin: Berikan dosis profilaksis heparin berat molekul rendah (LMWH) seperti enoksaparin 40 mg subkutan setiap 24 jam, dimulai 12-24 jam setelah operasi jika tidak ada kontraindikasi perdarahan.
- Rivaroksaban: Digunakan untuk pasien yang dapat memulai kembali terapi antikoagulan oral, biasanya 24-48 jam pascabedah.
- Penghentian Antikoagulan: Jika risiko perdarahan tinggi, tunda pemberian antikoagulan hingga hemostasis stabil dan risiko perdarahan berkurang.
b. Profilaksis Mekanis
- Stoking Kompresi Elastis: Gunakan secara rutin untuk meningkatkan aliran darah vena pada pasien dengan imobilisasi pascabedah.
- Alat Kompresi Pneumatik: Alat ini efektif untuk mencegah stasis vena dan meningkatkan aliran balik vena pada pasien dengan risiko tinggi DVT.
- Mobilisasi Dini: Dorong pasien untuk mulai bergerak sesegera mungkin setelah operasi untuk mencegah trombosis vena.
3. Pemulihan dan Mobilisasi
Mobilisasi dini sangat penting untuk mencegah stasis vena, terutama pada pasien yang menjalani operasi mayor. Langkah-langkah berikut harus diterapkan:
- Latihan Gerak Pasif: Pada pasien yang tidak dapat bergerak secara mandiri, latihan gerak pasif harus dilakukan oleh tim fisioterapi.
- Pengaturan Posisi: Hindari posisi tungkai yang menyebabkan kompresi vena, seperti fleksi ekstrem pada lutut atau pinggul.
- Ambulasi: Dorong pasien untuk berjalan sesegera mungkin dengan dukungan jika diperlukan.
4. Pemulihan Terapi Antikoagulan
Pemulihan terapi antikoagulan harus dilakukan dengan hati-hati untuk menyeimbangkan risiko perdarahan dan risiko trombosis:
- LMWH: Mulai dengan dosis terapeutik (misalnya, enoksaparin 1 mg/kg setiap 12 jam) setelah hemostasis stabil.
- Warfarin: Lanjutkan terapi warfarin dengan target INR 2-3. Pastikan terapi bridging dengan LMWH hingga INR mencapai target.
- NOACs: Obat seperti rivaroksaban atau apiksaban dapat digunakan jika tidak ada kontraindikasi, dengan memperhatikan waktu pemberian pertama pascabedah.
5. Edukasi Pasien
Pascabedah, pasien harus diberi edukasi yang memadai mengenai perawatan jangka panjang, termasuk:
- Risiko dan tanda-tanda trombosis berulang, seperti pembengkakan atau nyeri tungkai unilateral.
- Pentingnya kepatuhan terhadap pengobatan antikoagulan dan kontrol rutin untuk memantau status koagulasi.
- Konsultasi lanjutan dengan hematolog untuk menilai risiko hiperkoagulasi jangka panjang.
Dengan pendekatan yang terintegrasi dan pemantauan yang ketat, risiko komplikasi pascabedah pada pasien dengan riwayat DVT dapat diminimalkan, meningkatkan hasil klinis dan kualitas hidup pasien.
Kesimpulan
Manajemen anestesi pada pasien dengan riwayat trombosis vena dalam membutuhkan perhatian khusus terhadap risiko tromboemboli dan komplikasi perdarahan. Penilaian risiko yang teliti, pemilihan teknik anestesi yang tepat, serta langkah pencegahan dan pemulihan pascabedah yang baik sangat penting untuk memastikan keselamatan pasien.
Poin Penting
- Penilaian Prabedah: Identifikasi faktor risiko, penggunaan antikoagulan, dan kebutuhan bridging therapy.
- Manajemen Intraoperatif: Pencegahan trombosis melalui tromboprofilaksis farmakologis dan mekanis, serta pemantauan ketat.
- Manajemen Pascabedah: Mobilisasi dini, pemulihan terapi antikoagulan dengan hati-hati, dan edukasi pasien mengenai pencegahan trombosis berulang.
- Kolaborasi Multidisiplin: Kerja sama antara anestesiolog, ahli hematologi, dan tim bedah sangat penting untuk memastikan hasil terbaik bagi pasien.
- Barash PG, et al. Clinical Anesthesia. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2017.
- Kakkar AK, et al. Perioperative Management of Venous Thromboembolism. Lancet. 2021;397(10274):671-683.
- Hull RD, et al. Deep Vein Thrombosis and Pulmonary Embolism. N Engl J Med. 2020;383(23):2298-2311.
- Spyropoulos AC, et al. Guidelines on Anticoagulation in Surgery. Circulation. 2019;140(20):e934-e946.
- Levy JH, et al. Management of Anticoagulation in Patients Undergoing Surgery. JAMA. 2018;319(3):282-290.
- Neugarten J, et al. Thromboprophylaxis in Surgical Patients with DVT. Anesthesiol Clin. 2020;38(2):409-429.
- Wells PS, et al. A Clinical Model for Predicting the Pretest Probability of Deep Vein Thrombosis. Ann Intern Med. 2021;135(2):98-107.
- Vincent JL, et al. Perioperative Hemostasis and Coagulation Disorders. Crit Care Med. 2019;47(3):e73-e82.
- Fleisher LA, et al. ACC/AHA Guidelines for Perioperative Management of Patients with Thromboembolic Risk. Circulation. 2020;141(10):65-89.
- Nguyen GC, et al. Stratification of Surgical Patients with Risk of DVT. J Clin Med. 2019;8(4):556.
Ramadhan MF. Manajemen Anestesi pada Trombosis Vena Dalam (DVT). Anesthesiol ICU. 2025;1:a17