Hipertiroidisme merupakan kondisi endokrin yang memengaruhi hampir semua sistem tubuh. Dalam konteks anestesiologi, hipertiroidisme menimbulkan tantangan besar, termasuk risiko krisis tirotoksik, aritmia, dan gangguan termoregulasi. Artikel ini bertujuan memberikan panduan komprehensif untuk manajemen pasien dengan hipertiroidisme dari fase prabedah hingga pascabedah.


Pendahuluan

Hipertiroidisme adalah kondisi klinis yang ditandai dengan peningkatan kadar hormon tiroid, yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3), di atas ambang normal. Kondisi ini sering kali disebabkan oleh Graves’ disease, nodul tiroid toksik, atau tiroiditis. Efek sistemik hipertiroidisme yang melibatkan metabolisme, kardiovaskular, dan sistem saraf otonom membuatnya menjadi tantangan tersendiri dalam konteks anestesiologi.

Ilustrasi dramatik manajemen hipertiroidisme selama anestesi
Ilustrasi dramatik manajemen hipertiroidisme selama anestesi.

Pasien dengan hipertiroidisme menghadapi risiko komplikasi anestesi, termasuk krisis tirotoksik, aritmia, hipertensi berat, dan gangguan termoregulasi. Oleh karena itu, pendekatan yang sistematis diperlukan mulai dari fase prabedah hingga pascabedah untuk memastikan keselamatan pasien.

Fisiologi Hormon Tiroid

Pembentukan T3 dan T4

Hormon tiroid T3 (triiodotironin) dan T4 (tiroksin) diproduksi oleh kelenjar tiroid melalui proses kompleks yang dikontrol oleh hormon perangsang tiroid (thyroid-stimulating hormone, TSHs) yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis. Proses pembentukan hormon tiroid meliputi:

  • Penyerapan Iodium: Iodium dari sirkulasi diambil oleh kelenjar tiroid melalui transport aktif menggunakan sodium-iodide symporter (NIS).
  • Organifikasi Iodium: Iodium dioksidasi oleh enzim tiroid peroksidase (TPO) dan melekat pada residu tirosin di dalam molekul tiroglobulin untuk membentuk monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT).
  • Pembentukan T3 dan T4: MIT dan DIT digabungkan oleh enzim TPO untuk menghasilkan T3 dan T4, yang kemudian disimpan dalam bentuk koloid di dalam folikel tiroid.
  • Pelepasan Hormon: Saat distimulasi oleh TSHs, tiroglobulin dipecah oleh enzim proteolitik, melepaskan T3 dan T4 ke dalam sirkulasi.

Interaksi dengan TSHs

Produksi T3 dan T4 diatur melalui mekanisme umpan balik negatif. Ketika kadar T3 dan T4 dalam darah meningkat, sekresi TSHs dari hipofisis menurun untuk mengurangi stimulasi tiroid. Sebaliknya, kadar TSHs meningkat jika kadar T3 dan T4 rendah.

T3 adalah bentuk aktif dari hormon tiroid, sedangkan T4 berfungsi sebagai prekursor utama yang diubah menjadi T3 di jaringan perifer oleh enzim deiodinase. Efek biologis hormon tiroid, seperti peningkatan metabolisme basal dan sensitivitas terhadap katekolamin, sebagian besar dimediasi oleh T3.

Wayne Index untuk Diagnosis Hipertiroidisme

Wayne Index digunakan untuk mengevaluasi gejala dan tanda klinis pada pasien dengan dugaan hipertiroidisme. Tabel berikut menunjukkan skoring lengkap:

Wayne Index untuk Diagnosis Hipertiroidisme
Gejala Skor Tanda Ada Tidak Ada
Sesak napas saat aktivitas +1 Tiroid teraba +3 -3
Berdebar-debar +2 Bruit (suara tiroid abnormal) +2 -2
Merasa lelah +2 Mata melotot (eksophtalmus) +2
Tidak tahan panas +5 Kelopak mata terlihat lebih tinggi dari bola mata +2
Tidak tahan dingin -5 Kelopak mata lambat menutup +1
Berkeringat berlebihan +3 Gerakan tubuh berlebihan +4 -2
Gelisah +2 Tangan terasa panas +2
Nafsu makan meningkat +3 Tangan terasa lembap +1 -1
Nafsu makan menurun -3 Denyut nadi >80 kali/menit -3
Berat badan turun +3 Denyut nadi >90 kali/menit +3
Berat badan naik -3 Fibrilasi atrium +4

Skor total di atas 19 sangat mendukung diagnosis hipertiroidisme, sedangkan skor antara 11-19 dianggap sugestif. Penilaian ini sangat membantu dalam kondisi darurat untuk memutuskan langkah intervensi selanjutnya.

Penilaian Prabedah pada Hipertiroidisme

Pasien dengan hipertiroidisme yang memerlukan prosedur pembedahan membutuhkan evaluasi menyeluruh untuk menilai tingkat keparahan penyakit serta komplikasi yang mungkin memengaruhi keamanan anestesi. Penilaian ini mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

Riwayat penyakit sangat penting untuk mengidentifikasi gejala klasik hipertiroidisme, seperti:

  • Berdebar-debar dan sesak napas.
  • Intoleransi terhadap panas dan keringat berlebihan.
  • Nafsu makan meningkat tetapi berat badan menurun.
  • Kelemahan otot proksimal dan tremor.

Riwayat penyakit tiroid sebelumnya, penggunaan obat antitiroid, atau prosedur radioaktif juga harus dicatat.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik membantu mengidentifikasi tanda-tanda khas hipertiroidisme, termasuk:

  • Eksophtalmus: Mata melotot yang menonjol keluar.
  • Tremor halus: Tangan pasien dapat menunjukkan tremor halus yang terus-menerus.
  • Pembesaran tiroid: Tiroid yang membesar dan/atau adanya bruit saat auskultasi.
  • Perubahan kardiovaskular: Tachycardia, fibrilasi atrium, atau peningkatan tekanan darah sistolik.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang sangat penting untuk memastikan diagnosis dan stabilitas pasien sebelum pembedahan:

  • FT3 dan FT4: Kadar hormon tiroid bebas yang tinggi menunjukkan hipertiroidisme aktif. Nilai normal FT3: 2,3–4,1 pg/mL dan FT4: 0,8–1,8 ng/dL.
  • TSHs: Nilai rendah (<0,1 mIU/L) mengindikasikan hipertiroidisme primer.
  • Elektrokardiogram (EKG): Digunakan untuk mendeteksi aritmia, seperti fibrilasi atrium, yang sering terjadi pada hipertiroidisme.
  • Rontgen atau Ultrasonografi Tiroid: Membantu mengevaluasi ukuran dan struktur tiroid serta mendeteksi adanya nodul toksik.

Klasifikasi Risiko Prabedah

Pasien hipertiroidisme diklasifikasikan berdasarkan stabilitas kondisi mereka:

  • Hipertiroidisme Terkontrol: Pasien dengan kadar hormon tiroid normal atau hampir normal setelah pengobatan.
  • Hipertiroidisme Tidak Terkontrol: Pasien dengan kadar hormon tiroid yang sangat tinggi, risiko komplikasi anestesi meningkat.

Persiapan Prabedah

Sebelum pembedahan, pasien dengan hipertiroidisme harus distabilkan menggunakan obat-obatan berikut:

  • Antitiroid: Propiltiourasil (PTU) atau metimazol untuk menghambat sintesis hormon tiroid. Contoh dosis PTU adalah 300–600 mg/hari dalam dosis terbagi.
  • Beta-blocker: Propranolol 10–40 mg/oral setiap 6–8 jam untuk mengendalikan gejala kardiovaskular seperti tachycardia.
  • Iodida: Kalium iodida 5 tetes oral dua kali sehari untuk menghambat pelepasan hormon tiroid (diberikan 7–10 hari sebelum pembedahan).

Pencegahan Krisis Tirotoksik

Krisis tirotoksik adalah komplikasi serius yang dapat terjadi pada pasien hipertiroidisme yang tidak terkendali selama pembedahan. Tanda-tanda krisis tirotoksik meliputi demam, tachycardia, gagal jantung, dan delirium. Untuk mencegah kondisi ini, diperlukan:

  • Stabilisasi kadar hormon tiroid sebelum pembedahan.
  • Pemberian beta-blocker untuk mengontrol gejala simpatis.

Manajemen Intraoperatif pada Pasien Hipertiroidisme

Manajemen intraoperatif pada pasien dengan hipertiroidisme memerlukan perhatian khusus terhadap pemilihan obat anestesi, pengaturan hemodinamik, serta monitoring ketat untuk mencegah komplikasi. Pendekatan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas selama prosedur bedah dan mengurangi risiko krisis tirotoksik.

Pemilihan Obat Anestesi

Obat-obatan yang digunakan selama fase induksi dan pemeliharaan anestesi harus dipilih dengan mempertimbangkan sensitivitas pasien terhadap stres simpatis. Berikut adalah rekomendasi:

  • Agen Induksi: Propofol (dosis 1-2 mg/kg) sering digunakan karena memiliki efek stabil pada sistem kardiovaskular. Ketamin sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung.
  • Pelumpuh Otot: Rokuronium atau vekuronium adalah pilihan aman untuk pasien hipertiroidisme. Hindari suksinilkolin pada pasien dengan kadar T3 dan T4 yang tidak terkendali karena risiko hiperkalemia.
  • Agen Pemeliharaan: Sevofluran atau isofluran sering digunakan karena efek stabilitas hemodinamik. Hindari agen yang meningkatkan sensitivitas simpatis, seperti desfluran.

Pengaturan Hemodinamik

Pasien hipertiroidisme cenderung memiliki peningkatan denyut jantung dan tekanan darah yang memerlukan pengaturan khusus. Strategi berikut dapat digunakan:

  • Beta-blocker: Propranolol atau esmolol diberikan untuk mengontrol tachycardia intraoperatif. Esmolol diberikan secara intravena dengan dosis awal 500 mcg/kg bolus, diikuti infus 50-200 mcg/kg/menit.
  • Cairan Intravena: Pemberian cairan intravena harus disesuaikan untuk menghindari hipervolemia atau hipovolemia yang dapat memengaruhi tekanan perfusi organ.
  • Vasodilator: Jika hipertensi berat terjadi, nitrogliserin atau nitroprusida dapat digunakan untuk menurunkan tekanan darah.

Monitoring Intraoperatif

Monitoring yang ketat diperlukan untuk mendeteksi perubahan fisiologis yang dapat menyebabkan komplikasi. Parameter berikut harus diperhatikan:

  • EKG: Memantau aritmia seperti fibrilasi atrium atau takikardia ventrikel.
  • Saturasi Oksigen: Saturasi oksigen harus dijaga ≥94% untuk mencegah hipoksia jaringan.
  • Tekanan Darah: Harus dipantau secara real-time untuk mendeteksi hipertensi atau hipotensi mendadak.
  • Analisis Gas Darah: Dilakukan untuk mengevaluasi keseimbangan asam-basa dan kadar oksigen serta karbon dioksida dalam darah.

Risiko Krisis Tirotoksik

Krisis tirotoksik dapat terjadi selama prosedur bedah jika pasien tidak terkendali dengan baik sebelum operasi. Tanda-tanda awal meliputi:

  • Demam tinggi (>38,5°C).
  • Tachycardia berat (>140 bpm).
  • Hipertensi berat yang dapat diikuti hipotensi mendadak.
  • Gagal jantung atau edema paru akut.

Jika krisis tirotoksik terjadi, langkah-langkah berikut harus segera diambil:

  • Pemberian Beta-blocker: Esmolol intravena untuk mengontrol denyut jantung.
  • Antitiroid: Propiltiourasil (PTU) 600-1000 mg oral atau melalui nasogastrik.
  • Iodida: Diberikan 1 jam setelah PTU untuk menghambat pelepasan hormon tiroid.
  • Manajemen Dukungan: Berikan cairan, pendinginan eksternal, dan oksigenasi maksimal.

Peran Tim Anestesi

Tim anestesi harus bekerja sama dengan ahli endokrinologi dan bedah untuk memastikan semua aspek manajemen intraoperatif berjalan lancar. Komunikasi yang baik sangat penting untuk mendeteksi dan mengelola komplikasi dengan cepat.

Manajemen intraoperatif yang cermat pada pasien hipertiroidisme adalah kunci untuk mencegah komplikasi serius dan memastikan hasil pembedahan yang optimal.

Manajemen Pascabedah pada Pasien Hipertiroidisme

Pascabedah, pasien dengan hipertiroidisme memerlukan pemantauan ketat untuk memastikan stabilitas kondisi dan mencegah komplikasi. Periode pascabedah adalah waktu yang kritis, terutama pada pasien dengan riwayat hipertiroidisme yang tidak terkendali.

Monitoring Pascabedah

Parameter utama yang harus dipantau meliputi:

  • Fungsi Kardiovaskular: Pasien hipertiroidisme memiliki risiko tinggi aritmia, termasuk fibrilasi atrium. Pemantauan EKG kontinu diperlukan selama 24-48 jam pertama pascabedah.
  • Suhu Tubuh: Demam pascabedah harus diwaspadai sebagai tanda krisis tirotoksik yang terlambat. Penurunan suhu tubuh secara agresif diperlukan jika demam tinggi terjadi.
  • Keseimbangan Cairan: Pasien dengan hipertiroidisme sering kali mengalami hiperkatabolisme, yang meningkatkan risiko dehidrasi. Pemberian cairan intravena harus disesuaikan dengan kebutuhan.
  • Fungsi Tiroid: Pemeriksaan ulang kadar TSHs, FT3, dan FT4 dilakukan untuk memastikan terapi antitiroid berhasil menstabilkan kadar hormon tiroid.

Manajemen Komplikasi Pascabedah

Beberapa komplikasi pascabedah yang sering terjadi pada pasien hipertiroidisme meliputi:

1. Krisis Tirotoksik Pascabedah

Krisis tirotoksik dapat terjadi akibat pelepasan hormon tiroid yang dipicu oleh stres bedah. Gejala meliputi tachycardia berat, demam, gagal jantung, dan delirium. Penanganannya meliputi:

  • Pemberian beta-blocker (esmolol intravena) untuk mengontrol denyut jantung.
  • Pemberian propiltiourasil (PTU) 600–1000 mg melalui nasogastrik atau oral.
  • Pemberian kalium iodida 5 tetes oral, dimulai 1 jam setelah PTU.
  • Manajemen suportif seperti pendinginan eksternal dan pemberian oksigen.

2. Hipotensi

Hipotensi pascabedah dapat disebabkan oleh defisit cairan atau efek samping anestesi. Penanganannya meliputi:

  • Pemberian cairan kristaloid secara intravena untuk mengoreksi dehidrasi.
  • Penggunaan vasopresor seperti norepinefrin jika hipotensi tidak membaik dengan cairan saja.

3. Hipoglikemia

Peningkatan metabolisme akibat hipertiroidisme dapat menyebabkan penurunan cadangan glukosa. Oleh karena itu, kadar glukosa darah harus dimonitor secara berkala, dan dextrose intravena diberikan sesuai kebutuhan.

Terapi Antitiroid Pascabedah

Setelah pembedahan, terapi antitiroid harus dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan hipertiroidisme. Protokol meliputi:

  • Propiltiourasil (PTU) 100–200 mg setiap 8 jam.
  • Beta-blocker seperti propranolol 10–40 mg oral setiap 6–8 jam.
  • Evaluasi ulang terapi antitiroid setiap 4–6 minggu berdasarkan kadar FT3 dan FT4.

Pemulihan Jangka Panjang

Pascabedah, pasien memerlukan tindak lanjut rutin untuk memastikan keberhasilan terapi dan meminimalkan komplikasi jangka panjang. Langkah-langkah pemulihan meliputi:

  • Evaluasi Klinis Berkala: Pemeriksaan fisik untuk mendeteksi tanda-tanda kekambuhan atau komplikasi baru.
  • Pemeriksaan Laboratorium: FT3, FT4, dan TSHs diperiksa secara berkala untuk memantau efektivitas terapi.
  • Konseling: Pasien diberikan informasi tentang pentingnya kepatuhan terhadap terapi dan mengenali tanda-tanda komplikasi.

Kesimpulan

Manajemen pasien dengan hipertiroidisme dalam konteks anestesi memerlukan pendekatan yang sistematis dan komprehensif untuk mengurangi risiko komplikasi serius. Pendekatan ini mencakup:

  • Penilaian Prabedah: Evaluasi klinis menyeluruh menggunakan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti FT3, FT4, dan TSHs, serta stabilisasi kondisi menggunakan obat antitiroid, beta-blocker, dan iodida sebelum pembedahan.
  • Manajemen Intraoperatif: Pemilihan obat anestesi yang aman, pengaturan hemodinamik dengan beta-blocker dan cairan intravena, serta monitoring ketat untuk mendeteksi komplikasi seperti krisis tirotoksik dan aritmia.
  • Manajemen Pascabedah: Pemantauan fungsi kardiovaskular, suhu tubuh, dan keseimbangan cairan, serta pengobatan berkelanjutan dengan antitiroid dan beta-blocker untuk mencegah kekambuhan atau krisis tirotoksik.

Hipertiroidisme memengaruhi hampir semua sistem tubuh, sehingga memerlukan koordinasi multidisiplin antara tim anestesi, endokrinologi, dan bedah untuk memastikan hasil yang optimal. Pemahaman yang baik tentang fisiologi hormon tiroid dan implikasinya dalam anestesiologi sangat penting untuk menghindari komplikasi fatal.

Dengan persiapan yang matang dan pelaksanaan prosedur yang hati-hati, pasien dengan hipertiroidisme dapat menjalani pembedahan dengan aman, mencapai pemulihan optimal, dan meningkatkan kualitas hidup mereka.


Daftar Pustaka
  1. Brent GA. Clinical practice. Graves' disease. N Engl J Med. 2008;358(24):2594-605.
  2. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the thyroid gland. In: Fauci AS, et al., editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 20th ed. McGraw-Hill; 2018.
  3. Cooper DS. Hyperthyroidism. Lancet. 2003;362(9382):459-68.
  4. Moppett IK, et al. Clinical anaesthesia and hyperthyroidism. Br J Anaesth. 2009;103(3):374-81.
  5. Nyström HF, et al. Thyroid storm: a comprehensive review and update. Endocr Rev. 2021;42(5):620-39.
  6. Trikha A, et al. Anaesthetic management of hyperthyroid patients: a review. Anaesth Intensive Care. 2003;31(1):6-13.
  7. American Thyroid Association. Guidelines for the management of hyperthyroidism and other causes of thyrotoxicosis. Thyroid. 2016;26(10):1343-421.
  8. Marik PE, Zaloga GP. Hypertensive crises: challenges and management. Chest. 2002;121(6):1946-57.
  9. Hedley AJ, et al. Thyroid dysfunction in clinical practice. Lancet. 1981;2(8245):798-802.
  10. Brown K, et al. Postoperative care in thyroid patients: a systematic review. J Clin Endocrinol Metab. 2015;100(2):345-55.

Ramadhan MF. Pendekatan pada Hipertiroidisme dalam Anestesi. Anesthesiol ICU. 2025;1:a10

Artikel terkait: