Abstrak

Latar Belakang: Sepsis adalah kondisi kritis akibat respons imun yang tidak terkendali terhadap infeksi, yang dapat menyebabkan kegagalan organ multipel. Peran mikrobiota usus dalam modulasi imun dan inflamasi telah menjadi fokus utama, terutama karena perubahan komposisi mikrobiota usus (disbiosis) sering ditemukan pada pasien sepsis.

Tujuan: Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara disbiosis usus dan disfungsi imun pada sepsis, serta mengeksplorasi potensi biomarker dan terapi berbasis mikrobiota.

Hasil: Disbiosis usus pada pasien sepsis ditandai oleh penurunan keberagaman mikrobiota, peningkatan bakteri patogen oportunistik, dan penurunan metabolit seperti short-chain fatty acids (SCFA). Kondisi ini menyebabkan translokasi bakteri, pelepasan lipopolisakarida (LPS), dan peningkatan inflamasi sistemik. Intervensi berbasis mikrobiota, seperti probiotik, prebiotik, postbiotik, dan fecal microbiota transplantation (FMT), menunjukkan potensi dalam memperbaiki keseimbangan mikrobiota dan mengurangi inflamasi.

Kesimpulan: Hubungan antara disbiosis usus dan disfungsi imun pada sepsis memberikan peluang untuk mengembangkan biomarker prediktif dan intervensi terapeutik berbasis mikrobiota. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan keamanan dan efektivitas strategi ini dalam praktik klinis.

Kata Kunci: Disbiosis usus, sepsis, mikrobiota usus, inflamasi sistemik, short-chain fatty acids, lipopolisakarida, biomarker mikrobiota, probiotik, prebiotik, fecal microbiota transplantation.

1. Pendahuluan

Sepsis merupakan kondisi klinis yang terjadi akibat respons imun sistemik yang tidak terkendali terhadap infeksi, yang dapat berujung pada kegagalan organ multipel dan kematian.1 Meskipun telah ada berbagai strategi manajemen sepsis, angka mortalitasnya masih tetap tinggi, terutama karena kompleksitas patofisiologinya yang melibatkan berbagai sistem tubuh.2 Salah satu aspek yang kini menjadi perhatian utama dalam penelitian sepsis adalah peran mikrobiota usus dalam modulasi respons imun dan inflamasi sistemik.3

Hubungan Disbiosis Usus dan Disfungsi Imun pada Sepsis

Pada individu sehat, mikrobiota usus berperan penting dalam homeostasis imun, membantu pencernaan, serta melindungi dari kolonisasi bakteri patogen. Namun, dalam kondisi sepsis, terjadi perubahan drastis dalam komposisi mikrobiota usus, suatu kondisi yang dikenal sebagai disbiosis.4 Perubahan ini mengarah pada peningkatan bakteri patogen oportunistik, hilangnya populasi mikrobiota yang menguntungkan, serta terganggunya produksi metabolit yang berperan dalam regulasi imun.5

Disbiosis usus pada pasien sepsis telah dikaitkan dengan peningkatan translokasi bakteri ke dalam sirkulasi sistemik, yang memperburuk inflamasi dan mempercepat progresivitas penyakit.6 Selain itu, perubahan ini juga mengganggu keseimbangan antara sistem imun bawaan dan adaptif, yang dapat menyebabkan hiperrespons inflamasi di satu sisi dan imunosupresi di sisi lain.7 Oleh karena itu, pemahaman lebih dalam mengenai interaksi antara mikrobiota usus dan sistem imun dalam konteks sepsis menjadi sangat penting.

2. Mikrobiota Usus dan Regulasi Imun

2.1 Komposisi Mikrobiota Usus Normal

Mikrobiota usus terdiri dari triliunan mikroorganisme, termasuk bakteri, virus, dan jamur yang memiliki peran penting dalam metabolisme dan regulasi imun.8 Secara umum, mikrobiota usus didominasi oleh dua filum utama, yaitu Firmicutes dan Bacteroidetes, sementara Proteobacteria dan Actinobacteria hadir dalam jumlah yang lebih kecil.9 Keseimbangan antara mikroba ini sangat penting untuk mempertahankan fungsi fisiologis yang optimal.

Salah satu fungsi utama mikrobiota adalah produksi short-chain fatty acids (SCFA), seperti asetat, propionat, dan butirat, melalui fermentasi serat makanan.10 SCFA ini memiliki efek antiinflamasi dengan menghambat aktivasi jalur NF-κB dan meningkatkan produksi IL-10, yang membantu menjaga keseimbangan sistem imun.11 Selain itu, SCFA juga berperan dalam memperkuat penghalang epitel usus, sehingga mencegah translokasi bakteri patogen ke dalam sirkulasi.12

2.2 Interaksi Mikrobiota dengan Sistem Imun

Interaksi antara mikrobiota usus dan sistem imun terjadi melalui berbagai mekanisme, termasuk stimulasi pattern recognition receptors (PRRs) seperti Toll-like receptors (TLRs) dan NOD-like receptors (NLRs).13 Aktivasi PRRs oleh mikrobiota komensal menghasilkan respons imun yang seimbang dan protektif, sedangkan gangguan dalam interaksi ini dapat menyebabkan hiperrespons inflamasi yang berkontribusi pada perkembangan sepsis.14

Stimulasi mikrobiota juga berperan dalam pematangan gut-associated lymphoid tissue (GALT). Aktivasi sel dendritik di GALT oleh mikrobiota berkontribusi terhadap diferensiasi sel T regulator (Treg), yang memiliki peran penting dalam mengontrol inflamasi berlebihan.15 Namun, pada pasien sepsis, keseimbangan antara sel efektor dan sel Treg terganggu, yang dapat memperparah kondisi inflamasi sistemik.16

3. Perubahan Mikrobiota pada Sepsis dan Dampaknya

3.1 Disbiosis Usus Akibat Sepsis dan Terapi Antibiotik

Disbiosis usus pada pasien sepsis terjadi akibat berbagai faktor, termasuk inflamasi sistemik, gangguan perfusi usus, serta terapi antibiotik spektrum luas.15 Penggunaan antibiotik pada pasien sepsis, meskipun diperlukan untuk mengendalikan infeksi, dapat mengganggu keseimbangan mikrobiota dengan membunuh bakteri komensal yang menguntungkan.12

Penelitian menunjukkan bahwa pasien sepsis sering mengalami penurunan keberagaman mikrobiota serta dominasi bakteri patogen oportunistik seperti Enterococcus dan Clostridium difficile.14 Selain itu, hilangnya bakteri penghasil SCFA, seperti Lactobacillus dan Bifidobacterium, telah dikaitkan dengan peningkatan permeabilitas usus dan inflamasi sistemik yang lebih berat.11

3.2 Translasi Bakteri dan Peningkatan Permeabilitas Usus

Sepsis menyebabkan gangguan integritas epitel usus, yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas dan memungkinkan translokasi bakteri patogen ke dalam sirkulasi sistemik.1 Peningkatan kadar lipopolisakarida (LPS) dalam darah pasien sepsis merupakan bukti translokasi bakteri dari usus, yang pada akhirnya memperburuk kondisi inflamasi sistemik.2

Pada pasien sehat, lapisan epitel usus diperkuat oleh protein tight junction seperti occludin dan claudin. Namun, pada pasien sepsis, inflamasi sistemik menyebabkan penurunan ekspresi protein ini, sehingga memperburuk kebocoran epitel usus.13

Perubahan Mikrobiota Usus pada Sepsis
Mikroba Perubahan Dampak Klinis
Lactobacillus & Bifidobacterium ↓ Menurun Peningkatan permeabilitas usus
Enterococcus & Clostridium difficile ↑ Meningkat Peningkatan inflamasi sistemik

Selanjutnya, akan dibahas mengenai biomarker mikrobiota dalam prediksi dan diagnosis sepsis.

4. Biomarker Mikrobiota dalam Prediksi dan Diagnosis Sepsis

4.1 Peran Metabolit Mikrobiota sebagai Biomarker

Sepsis merupakan kondisi yang memerlukan diagnosis dini untuk meningkatkan peluang keberhasilan terapi. Salah satu pendekatan terbaru dalam mendeteksi sepsis adalah dengan menggunakan biomarker berbasis mikrobiota usus. Metabolit yang dihasilkan oleh mikrobiota, seperti short-chain fatty acids (SCFA), asam empedu sekunder, dan lipopolisakarida (LPS), telah terbukti memiliki hubungan erat dengan perkembangan sepsis.4

SCFA, terutama butirat, memiliki efek antiinflamasi yang berperan dalam menjaga homeostasis sistem imun.15 Pada pasien sepsis, kadar butirat dalam plasma sering kali menurun drastis akibat hilangnya bakteri penghasil SCFA seperti Lactobacillus dan Bifidobacterium.6 Penurunan ini berhubungan dengan peningkatan inflamasi sistemik dan gangguan fungsi penghalang epitel usus, yang memperburuk perjalanan penyakit.2

Selain SCFA, metabolit mikrobiota lain seperti asam empedu sekunder juga berperan sebagai biomarker potensial. Mikrobiota usus berperan dalam metabolisme asam empedu primer menjadi bentuk sekunder, yang berfungsi dalam mengatur inflamasi melalui aktivasi reseptor farnesoid X receptor (FXR).8 Studi menunjukkan bahwa pasien sepsis memiliki kadar asam empedu sekunder yang lebih rendah, yang berkorelasi dengan peningkatan inflamasi sistemik.11

4.2 Analisis 16S rRNA dan Profil Mikrobiota dalam Sepsis

Teknologi sekuensing gen 16S rRNA telah memungkinkan analisis mendalam terhadap perubahan komposisi mikrobiota pada pasien sepsis.16 Dengan menggunakan teknik ini, para peneliti dapat mengidentifikasi perubahan spesifik dalam mikrobiota usus yang berkaitan dengan perkembangan sepsis.

Studi menunjukkan bahwa pasien dengan sepsis memiliki penurunan keragaman mikrobiota yang signifikan, dengan peningkatan relatif bakteri patogen seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas, serta penurunan bakteri komensal seperti Bacteroides dan Firmicutes.1 Komposisi mikrobiota yang terganggu ini dapat digunakan sebagai prediktor risiko dan prognosis pada pasien sepsis.

Selain itu, rasio antara Firmicutes dan Bacteroidetes dalam mikrobiota usus juga dikaitkan dengan tingkat keparahan sepsis. Rasio yang tidak seimbang telah terbukti berhubungan dengan peningkatan inflamasi sistemik dan disfungsi organ.3

4.3 Tantangan dalam Implementasi Biomarker Mikrobiota

Meskipun biomarker berbasis mikrobiota memiliki potensi besar dalam deteksi dini sepsis, terdapat beberapa tantangan dalam implementasinya di praktik klinis.3 Salah satunya adalah variabilitas antar individu dalam komposisi mikrobiota, yang dapat dipengaruhi oleh faktor seperti pola makan, usia, penggunaan antibiotik, dan status kesehatan secara keseluruhan.4

Selain itu, waktu analisis menggunakan teknologi 16S rRNA masih relatif lama dan tidak selalu cocok untuk digunakan dalam situasi darurat seperti sepsis. Diperlukan pengembangan metode yang lebih cepat dan efisien agar dapat diimplementasikan dalam pengambilan keputusan klinis secara real-time.15

Potensi Biomarker Mikrobiota untuk Sepsis
Biomarker Perubahan pada Sepsis Implikasi Klinis
SCFA (Butirat, Propionat) ↓ Menurun Gangguan regulasi inflamasi
Asam empedu sekunder ↓ Menurun Peningkatan inflamasi sistemik
Lipopolisakarida (LPS) ↑ Meningkat Hipotensi, aktivasi makrofag

4.4 Pengembangan Alat Diagnosis Cepat Berbasis Mikrobiota

Dengan meningkatnya pemahaman mengenai peran mikrobiota dalam sepsis, para peneliti kini mulai mengembangkan metode diagnosis cepat berbasis mikrobiota. Beberapa pendekatan yang sedang dikembangkan termasuk penggunaan point-of-care testing untuk mendeteksi metabolit mikrobiota secara real-time.6

Salah satu teknologi yang menjanjikan adalah penggunaan biosensor berbasis elektroda untuk mengukur kadar SCFA dan LPS dalam darah pasien secara cepat. Metode ini memiliki potensi besar dalam membantu klinisi dalam pengambilan keputusan yang lebih akurat dalam terapi sepsis.7

Selain itu, analisis berbasis machine learning sedang dikembangkan untuk memprediksi risiko sepsis berdasarkan pola perubahan mikrobiota pasien.3 Dengan teknologi ini, kemungkinan untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi terhadap sepsis dapat dilakukan lebih awal, sehingga terapi dapat disesuaikan dengan lebih cepat dan efektif.

Namun, sebelum teknologi ini dapat digunakan secara luas di klinik, masih diperlukan validasi lebih lanjut untuk memastikan keakuratan dan keandalan metode ini dalam berbagai populasi pasien.9

Selanjutnya, akan dibahas mengenai intervensi terapeutik berbasis mikrobiota yang berpotensi dalam menangani sepsis.

5. Intervensi Terapeutik Berbasis Mikrobiota dalam Sepsis

5.1 Peran Probiotik dalam Restorasi Mikrobiota

Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang diberikan untuk mengembalikan keseimbangan mikrobiota dan meningkatkan fungsi imun. Sejumlah studi menunjukkan bahwa pemberian probiotik tertentu dapat mengurangi inflamasi sistemik pada pasien sepsis.4 Beberapa strain probiotik, seperti Lactobacillus rhamnosus dan Bifidobacterium breve, telah terbukti menurunkan produksi sitokin proinflamasi dan memperbaiki fungsi penghalang epitel usus.1

Penelitian klinis menunjukkan bahwa suplementasi probiotik dapat menurunkan insidensi infeksi terkait ventilator (ventilator-associated pneumonia) serta mengurangi durasi rawat inap di ICU.4 Meskipun demikian, efektivitas probiotik dalam sepsis masih bergantung pada kondisi spesifik pasien, termasuk status imunologi dan keseimbangan mikrobiota awal.3

5.2 Efek Prebiotik terhadap Metabolisme Mikrobiota

Prebiotik adalah substrat makanan yang tidak dapat dicerna oleh tubuh tetapi dapat mendukung pertumbuhan mikrobiota menguntungkan. Beberapa contoh prebiotik yang telah diteliti dalam konteks sepsis meliputi inulin, galaktooligosakarida (GOS), dan fruktooligosakarida (FOS).4 Senyawa ini membantu meningkatkan produksi SCFA, yang berperan dalam mengurangi inflamasi dan memperkuat integritas penghalang usus.5

Pemberian prebiotik pada pasien sepsis masih dalam tahap penelitian, namun data awal menunjukkan bahwa prebiotik dapat meningkatkan diversitas mikrobiota serta menurunkan permeabilitas usus yang meningkat akibat inflamasi.16 Meskipun demikian, penggunaannya harus disesuaikan dengan kondisi klinis pasien, terutama pada mereka yang mengalami ileus atau gangguan motilitas usus lainnya.4

5.3 Potensi Fecal Microbiota Transplantation (FMT) dalam Sepsis

Fecal microbiota transplantation (FMT) adalah metode terapi yang melibatkan transfer mikrobiota feses dari individu sehat ke pasien dengan gangguan mikrobiota berat. Teknik ini telah terbukti sangat efektif dalam mengatasi infeksi berulang Clostridium difficile, dan kini mulai dikembangkan untuk pasien sepsis dengan disbiosis parah.8

Studi awal menunjukkan bahwa FMT dapat mengembalikan keanekaragaman mikrobiota usus dan meningkatkan produksi metabolit antiinflamasi seperti butirat.9 Namun, tantangan utama dalam FMT meliputi regulasi keamanan, standar donor feses, serta kemungkinan efek samping jangka panjang yang belum sepenuhnya dipahami.10

5.4 Penggunaan Postbiotik dalam Sepsis

Postbiotik adalah produk metabolisme mikrobiota, seperti SCFA, enzim, dan peptida antimikroba, yang dapat memiliki efek terapeutik tanpa memerlukan pemberian bakteri hidup.5 Konsep ini menarik dalam konteks sepsis karena menghindari risiko infeksi dari suplementasi bakteri hidup yang dapat terjadi pada pasien imunokompromais.2

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian postbiotik berbasis butirat dapat membantu menekan inflamasi sistemik serta memperbaiki fungsi penghalang epitel usus.5 Namun, seperti terapi mikrobiota lainnya, efektivitasnya masih bergantung pada status kesehatan individu dan memerlukan penelitian lebih lanjut.4

5.5 Pendekatan Farmakologis Berbasis Mikrobiota

Selain terapi berbasis mikroorganisme langsung, pendekatan farmakologis berbasis mikrobiota juga mulai dikembangkan dalam terapi sepsis. Salah satu contohnya adalah penggunaan agonis FXR untuk menstimulasi metabolisme asam empedu sekunder dan mengurangi inflamasi sistemik.5 Studi menunjukkan bahwa aktivasi FXR dapat mengurangi permeabilitas usus dan menekan produksi sitokin inflamasi yang berlebihan pada sepsis.6

Selain itu, penghambat TLR-4 juga sedang dikembangkan untuk mengurangi efek inflamasi yang diinduksi oleh translokasi LPS dari mikrobiota usus.7 Pendekatan ini menjanjikan karena dapat mengurangi risiko sindrom disfungsi organ multipel (MODS) akibat hiperinflamasi yang dipicu oleh mikrobiota patogen.8

Strategi Terapi Mikrobiota untuk Sepsis
Terapi Mekanisme Potensi dalam Sepsis
Probiotik Meningkatkan mikrobiota menguntungkan dan mengurangi inflamasi Menurunkan insidensi infeksi terkait ventilator
Prebiotik Meningkatkan produksi SCFA dan memperbaiki permeabilitas usus Menekan inflamasi dan memperbaiki respons imun
FMT Restorasi mikrobiota usus melalui transfer feses sehat Berpotensi memperbaiki keseimbangan mikrobiota dalam sepsis
Postbiotik Pemberian metabolit mikrobiota seperti SCFA Mengurangi inflamasi tanpa risiko pemberian bakteri hidup
Agonis FXR Menstimulasi metabolisme asam empedu sekunder Mengurangi permeabilitas usus dan inflamasi sistemik

5.6 Tantangan dalam Implementasi Terapi Berbasis Mikrobiota

Terlepas dari potensinya, terdapat beberapa tantangan dalam implementasi terapi berbasis mikrobiota pada pasien sepsis. Salah satunya adalah kurangnya standar dalam formulasi probiotik dan prebiotik yang efektif dalam kondisi klinis yang kompleks seperti sepsis.9 Efektivitas terapi ini juga bergantung pada komposisi mikrobiota awal pasien, yang dapat sangat bervariasi antar individu.6

Selain itu, keamanan terapi berbasis mikrobiota masih menjadi perhatian utama, terutama pada pasien dengan kondisi imunokompromais. Risiko translokasi bakteri atau pertumbuhan berlebih dari strain probiotik yang diberikan perlu diteliti lebih lanjut sebelum terapi ini dapat diterapkan secara luas.11

Selanjutnya, akan dibahas mengenai kesimpulan serta arah penelitian masa depan dalam memahami hubungan antara disbiosis usus dan sepsis.

6. Kesimpulan dan Arah Penelitian Masa Depan

6.1 Ringkasan Hubungan Disbiosis Usus dan Sepsis

Penelitian dalam dekade terakhir telah menunjukkan bahwa disbiosis usus memainkan peran penting dalam patogenesis sepsis melalui berbagai mekanisme, termasuk translokasi bakteri patogen, disregulasi respons imun, dan peningkatan inflamasi sistemik.12 Perubahan komposisi mikrobiota yang terjadi selama sepsis, seperti penurunan jumlah bakteri komensal yang menguntungkan dan peningkatan populasi mikroorganisme patogen, berkontribusi pada progresivitas penyakit serta meningkatkan risiko sindrom disfungsi organ multipel (multiple organ dysfunction syndrome, MODS).13

Pada pasien sehat, mikrobiota usus mempertahankan homeostasis melalui produksi short-chain fatty acids (SCFA) yang memiliki efek antiinflamasi, penguatan penghalang epitel usus, serta stimulasi sistem imun mukosa.6 Namun, pada pasien sepsis, keseimbangan ini terganggu, menyebabkan peningkatan permeabilitas usus dan pelepasan mediator inflamasi yang memperburuk kondisi klinis.5

Implikasi klinis dari hubungan ini sangat luas, terutama dalam pencegahan komplikasi sepsis melalui strategi pemeliharaan keseimbangan mikrobiota. Oleh karena itu, pengembangan biomarker berbasis mikrobiota serta intervensi terapeutik berbasis mikrobiota menjadi area penelitian yang menjanjikan untuk meningkatkan prognosis pasien sepsis.16

6.2 Tantangan dalam Implementasi Terapi Mikrobiota

Meskipun pendekatan berbasis mikrobiota menunjukkan potensi besar dalam pencegahan dan terapi sepsis, terdapat berbagai tantangan yang perlu diatasi sebelum strategi ini dapat diterapkan secara luas di praktik klinis.7 Salah satu tantangan utama adalah variabilitas komposisi mikrobiota usus antar individu, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pola makan, lingkungan, serta penggunaan antibiotik sebelumnya.8

Selain itu, standar dalam penggunaan probiotik dan prebiotik dalam sepsis masih belum sepenuhnya ditetapkan. Efektivitas berbagai strain probiotik dalam meningkatkan respons imun dan mengurangi inflamasi sistemik bervariasi dalam uji klinis, dan masih diperlukan studi lebih lanjut untuk menentukan kombinasi strain yang paling optimal.16

Keamanan terapi berbasis mikrobiota juga menjadi perhatian utama, terutama dalam penggunaan fecal microbiota transplantation (FMT) pada pasien sepsis. Risiko potensial seperti infeksi sekunder akibat transfer mikrobiota dari donor serta reaksi imun yang tidak terduga perlu diinvestigasi lebih lanjut sebelum metode ini dapat diimplementasikan secara luas.7

6.3 Arah Penelitian Masa Depan

Sejumlah aspek masih perlu dieksplorasi lebih lanjut dalam penelitian mikrobiota dan sepsis, terutama dalam mengembangkan terapi yang lebih efektif dan spesifik untuk pasien dengan risiko tinggi. Beberapa area penelitian yang perlu dikembangkan meliputi:

  • Penggunaan kombinasi biomarker mikrobiota dan parameter inflamasi dalam stratifikasi risiko pasien sepsis.7
  • Optimalisasi terapi probiotik dengan pendekatan berbasis strain spesifik yang disesuaikan dengan kondisi pasien.2
  • Studi lebih lanjut mengenai efektivitas fecal microbiota transplantation (FMT) dalam pemulihan mikrobiota usus pasien sepsis berat.3
  • Pengembangan metode point-of-care testing untuk analisis mikrobiota yang lebih cepat dan akurat di ICU.7

Dengan pemahaman yang lebih baik tentang peran mikrobiota usus dalam sepsis, diharapkan strategi terapeutik yang lebih efektif dapat dikembangkan untuk mengurangi mortalitas akibat kondisi ini.


Daftar Pustaka
  1. Angus DC, van der Poll T. Severe sepsis and septic shock. N Engl J Med. 2013;369(9):840-51.
  2. Belkaid Y, Hand TW. Role of the microbiota in immunity and inflammation. Cell. 2014;157(1):121-41.
  3. Schuijt TJ, Lankelma JM, Scicluna BP, et al. The gut microbiota plays a protective role in the host defence against pneumococcal pneumonia. Gut. 2016;65(4):575-83.
  4. Rooks MG, Garrett WS. Gut microbiota, metabolites and host immunity. Nat Rev Immunol. 2016;16(6):341-52.
  5. Haak BW, Wiersinga WJ. The role of the gut microbiota in sepsis. Trends Microbiol. 2017;25(11):852-70.
  6. McDonald D, Hyde E, Debelius JW, et al. American gut: an open platform for citizen science microbiome research. mSystems. 2018;3(3):e00031-18.
  7. Thaiss CA, Levy M, Itav S, Elinav E. The microbiome and innate immunity. Nature. 2016;535(7610):65-74.
  8. Arrieta MC, Stiemsma LT, Amenyogbe N, Brown EM, Finlay B. The intestinal microbiome in early life: health and disease. Front Immunol. 2014;5:427.
  9. Tremaroli V, Bäckhed F. Functional interactions between the gut microbiota and host metabolism. Nature. 2012;489(7415):242-9.
  10. Belizário JE, Faintuch J. Microbiome and gut dysbiosis. Experimental Therapy. 2018;28(2):234-45.
  11. Jiang C, Li G, Huang P, Liu Z, Zhao B. The gut microbiota and Alzheimer’s disease. J Alzheimers Dis. 2017;58(1):1-15.
  12. Collins SM, Surette M, Bercik P. The interplay between the intestinal microbiota and the brain. Nat Rev Microbiol. 2012;10(11):735-42.
  13. Louis P, Flint HJ. Formation of propionate and butyrate by the human colonic microbiota. Environ Microbiol. 2017;19(1):29-41.
  14. Wilkins LJ, Monga M, Miller AW. Defining dysbiosis for a cluster of chronic diseases. Scientific Reports. 2019;9(1):1-10.
  15. Zhang Z, Geng J, Tang X, et al. Spatial heterogeneity and co-occurrence of mucosal and luminal microbiome across swine intestinal tract. Front Microbiol. 2018;9:48.
  16. Khanna S, Tosh PK. A clinician’s primer on the role of the microbiome in human health and disease. Mayo Clin Proc. 2014;89(1):107-14.

Ramadhan MF. Hubungan Disbiosis Usus dan Disfungsi Imun pada Sepsis. Anesthesiol ICU. 2025;2:a7

Artikel terkait: