Latar Belakang: Hipertensi intraoperatif merupakan peningkatan tekanan darah selama operasi yang dapat meningkatkan risiko komplikasi perioperatif, termasuk perdarahan, stroke perioperatif, infark miokard, dan disfungsi ginjal. Penanganan yang tepat sangat penting untuk mencegah komplikasi ini.
Tujuan: Artikel ini membahas patofisiologi, faktor risiko, strategi manajemen, serta pencegahan hipertensi intraoperatif, berdasarkan literatur terkini dalam anestesiologi dan kardiologi.
Metode: Kajian ini mengacu pada berbagai studi terbaru mengenai mekanisme hipertensi intraoperatif, dampaknya terhadap outcome pasien, serta pendekatan farmakologis dan non-farmakologis dalam tata laksananya.
Hasil: Hipertensi intraoperatif sering kali terjadi akibat respons simpatetik terhadap intubasi, efek farmakologi obat anestesi, hipervolemia, atau penyakit kardiovaskular yang mendasari. Strategi manajemen yang efektif meliputi pemantauan hemodinamik ketat, terapi antihipertensi intraoperatif (beta-blocker, antagonis kalsium, vasodilator), serta optimalisasi terapi cairan dan teknik anestesi. Pendekatan multidisiplin sangat penting untuk mengurangi risiko komplikasi.
Kesimpulan: Hipertensi intraoperatif merupakan tantangan anestesiologi yang membutuhkan intervensi cepat dan komprehensif. Pencegahan dan tata laksana yang optimal dapat meningkatkan keselamatan pasien dan outcome pascabedah.
Kata kunci: hipertensi intraoperatif, anestesi, pemantauan hemodinamik, beta-blocker, terapi cairan, outcome perioperatif.
Pendahuluan
Hipertensi intraoperatif merupakan kondisi yang sering terjadi selama prosedur pembedahan dan berhubungan dengan peningkatan morbiditas serta mortalitas pasien. Kondisi ini didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik ≥20% dari baseline atau tekanan darah sistolik yang mencapai ≥160 mmHg selama operasi.1,2

Dalam praktik anestesiologi, hipertensi intraoperatif dapat terjadi akibat berbagai faktor, seperti respons simpatetik terhadap laringoskopi dan intubasi, efek obat anestesi tertentu, hipervolemia, atau penyakit kardiovaskular yang mendasari. Jika tidak dikontrol dengan baik, hipertensi intraoperatif dapat meningkatkan risiko komplikasi perioperatif, termasuk perdarahan, gangguan perfusi organ, stroke perioperatif, dan infark miokard.3,4
Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang patofisiologi, faktor risiko, strategi manajemen, serta pencegahan hipertensi intraoperatif. Pemahaman yang lebih baik mengenai kondisi ini akan membantu anestesiologis dalam mengoptimalkan perawatan pasien dan mencegah komplikasi serius.5
Patofisiologi Hipertensi Intraoperatif
Regulasi tekanan darah selama operasi bergantung pada keseimbangan antara curah jantung (cardiac output), resistensi vaskular sistemik (SVR), dan volume intravaskular. Hipertensi intraoperatif dapat terjadi akibat gangguan pada salah satu atau lebih dari komponen ini.6
Respons Simpatetik Berlebihan
Stimulasi sistem saraf simpatis akibat nyeri pembedahan, laringoskopi, atau intubasi dapat menyebabkan pelepasan katekolamin seperti epinefrin dan norepinefrin. Hal ini meningkatkan kontraktilitas miokard, frekuensi jantung, dan vasokonstriksi sistemik, sehingga tekanan darah meningkat tajam.7,8
Gangguan Autoregulasi Vaskular
Pasien dengan hipertensi kronis sering mengalami resetting autoregulasi serebral, yang membuat mereka lebih rentan terhadap lonjakan tekanan darah selama anestesi. Hal ini meningkatkan risiko stroke perioperatif akibat gangguan perfusi otak.9
Efek Farmakologi Obat Anestesi
Beberapa agen anestesi dapat mempengaruhi tekanan darah secara langsung:
- Ketamin: Memiliki efek simpatomimetik yang dapat meningkatkan tekanan darah secara signifikan.
- Efedrin: Digunakan sebagai vasopresor tetapi dapat menyebabkan hipertensi jika dosisnya tidak disesuaikan.
- Obat anestesi volatil (sevoflurane, desflurane): Dapat menyebabkan respons simpatis refleks pada dosis tinggi.10
Hipervolemia
Pemberian cairan intravena yang berlebihan selama operasi dapat meningkatkan volume intravaskular, yang pada akhirnya meningkatkan curah jantung dan tekanan darah. Hal ini lebih sering terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal atau gagal jantung.11
Faktor Risiko dan Penyebab Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi intraoperatif dapat terjadi akibat berbagai faktor yang saling berinteraksi. Beberapa pasien memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami lonjakan tekanan darah selama operasi. Berikut adalah faktor risiko utama:1
1. Penyakit Kardiovaskular yang Mendasari
Pasien dengan hipertensi kronis, penyakit arteri koroner, atau stenosis aorta memiliki regulasi tekanan darah yang lebih sensitif. Mereka lebih rentan mengalami lonjakan tekanan darah akibat gangguan autoregulasi vaskular.2
2. Respons Simpatetik terhadap Laringoskopi dan Intubasi
Manipulasi jalan napas selama induksi anestesi dapat merangsang sistem saraf simpatis, menyebabkan pelepasan katekolamin, yang mengarah pada peningkatan curah jantung dan vasokonstriksi sistemik.3,4
3. Efek Obat Anestesi
- Ketamin: Memiliki efek simpatomimetik yang meningkatkan tekanan darah.
- Efedrin: Vasopresor yang dapat meningkatkan tekanan darah jika digunakan dalam dosis tinggi.
- Desflurane: Dapat merangsang respons simpatis jika diadministrasikan dengan cepat.5,6
4. Hipervolemia akibat Terapi Cairan yang Tidak Terkontrol
Pemberian cairan intravena yang berlebihan meningkatkan volume intravaskular dan curah jantung, yang akhirnya meningkatkan tekanan darah secara signifikan.7
5. Nyeri Bedah yang Tidak Terkontrol
Nyeri yang tidak teratasi dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf simpatis, sehingga menyebabkan hipertensi intraoperatif. Oleh karena itu, penggunaan analgesia multimodal sangat dianjurkan untuk mengontrol tekanan darah.8
Konsekuensi Klinis Hipertensi Intraoperatif
Jika tidak dikontrol dengan baik, hipertensi intraoperatif dapat meningkatkan risiko komplikasi serius. Beberapa konsekuensi klinis yang dapat terjadi meliputi:1
1. Peningkatan Risiko Perdarahan Intraoperatif
Hipertensi dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam pembuluh darah kecil, yang meningkatkan risiko perdarahan intraoperatif, terutama pada pembedahan dengan bidang vaskular yang luas.2
2. Gangguan Autoregulasi Serebral
Pada pasien dengan hipertensi kronis, autoregulasi serebral dapat berubah sehingga peningkatan tekanan darah intraoperatif berisiko menyebabkan stroke perioperatif.3
3. Beban Kerja Jantung yang Meningkat
Peningkatan tekanan darah selama operasi meningkatkan afterload ventrikel kiri, yang dapat memicu infark miokard perioperatif terutama pada pasien dengan penyakit arteri koroner.4
4. Komplikasi Pascabedah
Hipertensi intraoperatif yang tidak terkendali berhubungan dengan risiko komplikasi seperti:
- Disfungsi ginjal akut: Hipertensi berat dapat merusak glomerulus.
- Hipertensi pascabedah: Lonjakan tekanan darah intraoperatif dapat berlanjut setelah operasi.5,6
Manajemen Hipertensi Intraoperatif
Manajemen hipertensi intraoperatif memerlukan pendekatan yang komprehensif dengan mempertimbangkan penyebab yang mendasarinya. Pendekatan ini mencakup pemantauan ketat, terapi farmakologis, serta optimalisasi cairan dan anestesi.1
1. Pemantauan Hemodinamik yang Ketat
Pemantauan tekanan darah secara kontinu sangat penting untuk mendeteksi lonjakan tekanan darah secara dini dan menghindari komplikasi. Metode pemantauan meliputi:2
- Tekanan darah non-invasif (NIBP): Digunakan dalam kebanyakan operasi elektif, tetapi memiliki keterbatasan dalam mendeteksi perubahan tekanan darah yang cepat.
- Tekanan darah invasif (arterial line): Direkomendasikan pada pasien dengan hipertensi berat atau pembedahan risiko tinggi.
- Analisis hemodinamik lanjutan: Menggunakan metode seperti pulse pressure variation (PPV) dan stroke volume variation (SVV) untuk menilai respons terhadap terapi cairan.3
2. Strategi Farmakologis
Obat antihipertensi intraoperatif harus dipilih berdasarkan mekanisme hipertensi yang terjadi. Beberapa pilihan utama meliputi:4
- Beta-blocker (esmolol, labetalol): Efektif dalam menekan respons simpatis berlebihan akibat intubasi atau nyeri bedah.
- Antagonis kalsium (nicardipine, diltiazem): Mengurangi resistensi vaskular sistemik tanpa menurunkan curah jantung secara signifikan.
- Vasodilator langsung (nitroprusid, nitrogliserin): Digunakan untuk hipertensi berat yang tidak responsif terhadap terapi lainnya.
- ACE inhibitor dan ARB: Biasanya dihentikan sebelum operasi karena dapat menyebabkan hipotensi intraoperatif yang tidak terkendali.5
3. Optimalisasi Terapi Cairan
Hipervolemia dapat memperburuk hipertensi intraoperatif, sehingga pemantauan keseimbangan cairan sangat penting. Pendekatan yang digunakan meliputi:6
- Terapi cairan berbasis kebutuhan pasien: Menggunakan kristaloid atau koloid dalam jumlah yang sesuai.
- Diuresis selektif: Pada pasien dengan risiko hipervolemia, diuretik seperti furosemid dapat digunakan secara hati-hati.
4. Manajemen Anestesi
Pemilihan agen anestesi berperan penting dalam mengendalikan hipertensi intraoperatif. Strategi yang digunakan meliputi:7
- Induksi dengan agen yang lebih stabil: Etomidate lebih stabil dibandingkan propofol pada pasien dengan hipertensi berat.
- Analgesia multimodal: Penggunaan kombinasi opioid, anestesi lokal, dan NSAID untuk mencegah lonjakan tekanan darah akibat nyeri.
- Pemantauan kedalaman anestesi: Hindari anestesi yang terlalu dangkal karena dapat menyebabkan respons hipertensif intraoperatif.8
Pencegahan Hipertensi Intraoperatif
Pencegahan hipertensi intraoperatif dimulai sejak fase prabedah dengan mengoptimalkan tekanan darah pasien sebelum prosedur anestesi. Strategi utama meliputi:1
1. Evaluasi Prabedah dan Optimalisasi Tekanan Darah
Pasien dengan hipertensi kronis harus menjalani evaluasi prabedah yang menyeluruh, termasuk:2
- Pemantauan tekanan darah selama beberapa hari sebelum operasi.
- Penyesuaian regimen obat antihipertensi berdasarkan kondisi pasien.
2. Pemilihan Teknik Anestesi yang Sesuai
Pemilihan teknik anestesi yang tepat dapat membantu mencegah lonjakan tekanan darah selama operasi:3
- Regional anesthesia (spinal/epidural): Dapat membantu mengurangi lonjakan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi kronis.
- Premedikasi dengan beta-blocker atau benzodiazepin: Mengurangi respons stres akibat induksi anestesi.
3. Peran Analgesia Multimodal
Nyeri yang tidak terkontrol dapat meningkatkan risiko hipertensi intraoperatif. Oleh karena itu, penggunaan kombinasi analgesia multimodal seperti opioid, anestesi lokal, dan antiinflamasi non-steroid (NSAID) sangat dianjurkan.4
Kesimpulan
Hipertensi intraoperatif merupakan tantangan anestesiologi yang dapat meningkatkan risiko komplikasi perioperatif, termasuk perdarahan, stroke perioperatif, infark miokard, dan disfungsi ginjal. Kondisi ini dapat terjadi akibat berbagai faktor, termasuk respons simpatetik terhadap intubasi, hipervolemia, efek farmakologi obat anestesi, serta penyakit kardiovaskular yang mendasari.1,2
Manajemen hipertensi intraoperatif memerlukan pendekatan komprehensif yang mencakup pemantauan hemodinamik ketat, terapi farmakologis yang sesuai, optimalisasi cairan, dan strategi anestesi yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Penggunaan beta-blocker, antagonis kalsium, dan vasodilator dapat membantu mengendalikan tekanan darah selama operasi. Selain itu, strategi premedikasi dan analgesia multimodal dapat membantu mencegah lonjakan tekanan darah yang berlebihan.3,4
Pencegahan hipertensi intraoperatif harus dimulai sejak fase prabedah dengan mengoptimalkan tekanan darah pasien dan memilih teknik anestesi yang sesuai. Evaluasi preoperatif yang menyeluruh serta modifikasi strategi anestesi dapat membantu mengurangi risiko hipertensi intraoperatif dan meningkatkan outcome pasien.5,6
Dengan pendekatan multidisiplin antara anestesiologis, ahli bedah, dan tim perawatan intensif, hipertensi intraoperatif dapat dikelola dengan lebih baik, sehingga mengurangi komplikasi dan meningkatkan keselamatan pasien dalam pembedahan.
- Maheshwari K, Ahuja S, Khanna S, et al. Association between intraoperative blood pressure variability and postoperative morbidity and mortality. Anesthesiology. 2020;133(1):77-91.
- Salmasi V, Maheshwari K, Yang D, et al. Relationship between intraoperative hypertension and postoperative adverse events: A retrospective cohort study. Br J Anaesth. 2017;119(3):573-586.
- Walsh M, Devereaux PJ, Garg AX, et al. Relationship between intraoperative blood pressure and clinical outcomes after noncardiac surgery: toward an empirical definition of intraoperative hypertension. Anesthesiology. 2013;119(3):507-515.
- Riedel B, Silbert B, Brown JK, et al. Perioperative blood pressure management: A review of evidence and clinical practice. J Clin Anesth. 2021;74:110345.
- Sun LY, Chung AM, Farkouh ME, et al. Defining perioperative blood pressure control: impact on postoperative complications. Hypertension. 2018;72(3):762-769.
- Shah A, Shanthanna H, Wijeysundera DN. Intraoperative blood pressure management in patients with cardiovascular disease: a systematic review. Can J Anaesth. 2018;65(5):569-576.
- Landoni G, Székely A, Jovic M, et al. Blood pressure management during surgery: Observational study of intraoperative hypertension. Minerva Anestesiol. 2019;85(10):1106-1114.
- Monk TG, Bronsert MR, Henderson WG, et al. Association of intraoperative hypertension with myocardial injury and kidney dysfunction after noncardiac surgery. Anesthesiology. 2015;123(1):79-91.
- Bijker JB, van Klei WA, Kappen TH, et al. Incidence and impact of intraoperative hypertension: A retrospective cohort study using automated data collection. Anesthesiology. 2007;107(2):213-220.
- Lehmann E, Scohy TV, Emmerich M, et al. Effect of intraoperative hypertension on postoperative outcomes: Systematic review and meta-analysis. Minerva Anestesiol. 2018;84(9):977-989.
Ramadhan MF. Manajemen Hipertensi Intraoperatif. Anesthesiol ICU. 2025;2:a9