Atrial Fibrilasi (AF) merupakan salah satu gangguan irama jantung yang paling sering dijumpai dalam praktik klinis dan berdampak signifikan pada kesehatan pasien, terutama dalam konteks perioperatif. AF tidak hanya meningkatkan risiko komplikasi serius seperti stroke dan gagal jantung, tetapi juga menimbulkan tantangan dalam manajemen anestesi, khususnya pada prosedur non-kardiak. Artikel ini membahas berbagai aspek manajemen pre-operatif pasien dengan AF, mencakup evaluasi risiko, kontrol laju dan irama, serta pencegahan tromboemboli. Pemahaman yang baik tentang strategi ini sangat penting bagi tenaga medis untuk memastikan keamanan dan meningkatkan hasil klinis pasien dengan AF yang menjalani prosedur bedah non-kardiak.
Pendahuluan
Ahli anestesi harus memiliki pemahaman menyeluruh tentang fisiologi kardiovaskular. Keberhasilan dan kegagalan anestesi sering kali berhubungan langsung dengan keterampilan praktisi dalam memanipulasi fisiologi kardiovaskular. Sistem peredaran darah terdiri dari jantung, pembuluh darah, dan darah. Fungsinya adalah untuk menyediakan oksigen dan nutrisi ke jaringan dan membawa hasil metabolisme. Jantung mendorong darah melalui dua sistem vaskular yang tersusun secara seri. Dalam sirkulasi paru yang biasanya bertekanan rendah, darah vena mengalir melewati membran kapiler-alveolus, mengambil oksigen, dan melepaskan CO2. Dalam sirkulasi sistemik bertekanan tinggi, darah arteri yang mengandung oksigen dipompa ke jaringan, dan hasil samping metabolisme diambil untuk dibuang oleh paru-paru, ginjal, atau hati. (1)
Penyakit kardiovaskular seperti hipertensi, iskemia, penyakit katup jantung, dan gangguan irama jantung adalah masalah medis yang sering terjadi dalam praktik klinis anestesi dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perioperatif. Sekitar sepertiga dari aritmia yang disebabkan oleh gangguan irama jantung adalah fibrilasi atrium, yang merupakan aritmia yang paling sering terjadi di dunia klinis. (2)

Secara global, pasien, dokter, dan sistem perawatan kesehatan menghadapi tantangan besar karena fibrilasi atrium (AF). Untuk mendapatkan informasi tentang mekanisme dasar AF, perjalanan alaminya, dan pengobatan yang efektif, banyak penelitian dan sumber daya yang besar dialokasikan. Selain itu, bukti baru terus dibuat dan dipublikasikan.
Untuk menangani kompleksitas AF, pasien harus dirawat melalui pendekatan multidisipliner, multifaset, dan holistik, bersama dengan dokter mereka. Merampingkan perawatan pasien dengan gangguan fungsi otak (AF) dalam praktik klinis sehari-hari adalah tugas yang sulit tetapi penting untuk manajemen gangguan fungsi otak yang efektif. Kemajuan besar telah dibuat dalam deteksi dan manajemen AF dalam beberapa tahun terakhir. Edisi ketiga pedoman ESC tentang AF ini menggabungkan bukti baru dengan cepat. Pedoman AF ESC 2016 memperkenalkan konsep lima domain untuk mendukung pendekatan terstruktur terintegrasi untuk perawatan AF dan mendorong manajemen yang konsisten dan pematuhan pedoman untuk semua pasien AF. Dalam Pedoman Atrial Fibrillation ESC 2020, pendekatan Atrial Fibrillation Better Care (ABC) didasarkan pada pendekatan ini dan bertujuan untuk meningkatkan manajemen terstruktur pasien AF dengan lebih baik, meningkatkan nilai pasien, dan pada akhirnya meningkatkan hasil pasien. (3)
Riwayat medis dan pemeriksaan fisik, yang harus mencakup daftar lengkap dan terkini semua obat yang diminum pasien baru-baru ini, alergi yang relevan, dan respons serta reaksi terhadap anestesi sebelumnya, merupakan landasan evaluasi praoperasi atau praprosedur yang efisien. Selanjutnya, pengujian diagnostik, prosedur pencitraan, atau rujukan ke dokter lain sesuai kebutuhan dapat menjadi bagian dari tinjauan ini. Idealnya, kunjungan evaluasi praoperasi adalah saat pasien pertama kali menjalani perawatan bedah perioperatif atau program pemulihan yang dipercepat setelah operasi (ERAS). "Prarehabilitasi" dengan satu atau beberapa intervensi berikut mungkin diperlukan untuk pemulihan yang lebih baik: berhenti merokok, mengonsumsi suplemen gizi, memulai program olahraga, dan menyesuaikan pengobatan. Rencana anestesi umumnya dipandu oleh pemeriksaan praoperasi. Perencanaan praoperasi yang tidak memadai dan persiapan pasien yang tidak lengkap umumnya menyebabkan penundaan, pembatalan, komplikasi, dan biaya yang dapat dihindari.
Evaluasi praoperasi memiliki beberapa tujuan. Salah satu tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pasien yang kemungkinan besar akan membaik dengan penerapan perawatan medis tertentu (yang jarang memerlukan penjadwalan ulang operasi yang direncanakan). Misalnya, pasien berusia 60 tahun yang dijadwalkan untuk menjalani artroplasti panggul total elektif yang juga menderita angina tidak stabil akibat penyakit arteri koroner kiri utama kemungkinan besar akan bertahan hidup jika pencangkokan bypass arteri koroner dilakukan sebelum daripada setelah prosedur ortopedi elektif. Tujuan lain dari evaluasi praoperasi adalah untuk mengidentifikasi pasien yang kondisinya sangat buruk sehingga operasi yang diusulkan mungkin hanya mempercepat kematian tanpa meningkatkan kualitas hidup. Misalnya, pasien dengan penyakit paru kronis yang parah, penyakit ginjal stadium akhir, gagal hati, dan gagal jantung kronis kemungkinan tidak akan bertahan hidup untuk memperoleh manfaat dari fusi tulang belakang multilevel yang kompleks selama 8 jam dengan instrumentasi. Evaluasi praoperasi pasien dapat mengungkap temuan yang akan mengubah rencana anestesi.
Tujuan lain dari evaluasi praoperasi adalah untuk memberikan pasien perkiraan risiko anestesi. Akan tetapi, ahli anestesi tidak diharapkan untuk memberikan diskusi risiko versus manfaat untuk operasi atau prosedur yang diusulkan; ini merupakan tanggung jawab dan wewenang ahli bedah yang bertanggung jawab atau "ahli prosedur". Terakhir, evaluasi praoperasi memberikan kesempatan bagi ahli anestesi untuk menjelaskan rencana anestesi yang diusulkan dalam konteks keseluruhan rencana bedah dan pascaoperasi, memberikan pasien dukungan psikologis, dan memperoleh persetujuan yang diinformasikan untuk rencana anestesi yang diusulkan dari pasien bedah.
Maka dari itu, pasien yang datang untuk operasi elektif dan anestesi biasanya memerlukan pencatatan riwayat medis yang terfokus yang menekankan kelainan toleransi latihan; status gizi dan fungsional; fungsi jantung, paru, endokrin, ginjal, atau hati; elektrolit atau metabolisme; dan masalah anatomi yang relevan dengan manajemen jalan napas atau anestesi regional. Bagaimana pasien merespons dan pulih dari anestesi sebelumnya dapat membantu. (1)
Aritmia jantung perioperatif adalah kondisi yang umum dan dapat mengancam jiwa. Sebelum operasi, aritmia harus dikontrol jika memungkinkan karena anestesi dan pembedahan dapat menyebabkan penurunan yang signifikan. Penanganan akan lebih mudah jika masalah utamanya telah diidentifikasi, diteliti, dan diobati sebelum operasi. Jika tidak dapat melakukan kardioversi dengan cepat, jangan pernah memberikan obat intravena untuk gangguan ritme. (4)
Definisi
Atrial Fibrilasi (AF) adalah takiaritmia supraventrikular khas dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi. Aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari AF adalah tidak adanya konsistensi gelombang P dan digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) dengan amplitudo, bentuk, dan durasi yang bervariasi. Fibrilasi atrium dapat didiagnosis dengan EKG permukaan, elektrogram intrakardiak, atau keduanya. Sebuah episode AF didefinisikan sebagai suatu aritmia dengan karakteristik EKG AF yang bertahan cukup lama untuk terekam pada EKG 12 sadapan atau terdokumentasi dengan EKG sekurang-kurangnya 30 detik. (3,5,6)
Ciri-ciri AF pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
- EKG permukaan menunjukkan pola interval R-R yang ireguler
- Tidak dijumpai gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan EKG, terutama pada sadapan V1.
- Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi, umumnya kecepatannya melebihi 450x/menit.
European Society of Cardiology (ESC) berkolaborasi dengan European Association for Cardio-Thoracic Surgery (EACTS) pada Pedoman 2020 menjelaskan bahwa AF adalah takikardi supraventikular dengan aktivitas elektrik yang tidak terkoordinasi, yang menyebabkan kontraktilitas yang tidak efisien. Karakteristik EKG dari AF di antaranya, interval R-R yang tidak beraturan (irregularly irregular) ketika konduksi atrioventrikular tidak seimbang, hilangnya gelombang P berulang, dan aktivasi atrium yang ireguler. (3,7)
Menurut ESC, AF dikategorikan menjadi AF klinis, AHRE, dan AF subklinis:
- AF klinis: AF yang terdokumentasi pada EKG, baik simtomatis maupun asimtomatis. Diagnosis ini ditentukan dengan minimal durasi 30 detik atau rekaman EKG 12-lead penuh.
- AHRE dan AF subklinis: Didefinisikan pada pasien tanpa gejala AF sebelumnya. AF subklinis sering terdeteksi menggunakan perangkat CIED dengan kemampuan pemantauan ritme atrium terus-menerus dan penyimpanan jejak.
AF juga diklasifikasikan berdasarkan durasi dan waktu presentasi:
- AF pertama kali terdiagnosis: AF yang baru pertama kali terjadi pada pasien, tanpa memperhitungkan durasi atau keparahan gejala.
- AF paroksismal: AF yang terminasi secara spontan dalam 48 jam, namun bisa berlangsung hingga 7 hari.
- AF persisten: AF dengan durasi lebih dari 7 hari atau yang memerlukan kardioversi.
- AF persisten lama: AF yang bertahan lebih dari 1 tahun, di mana upaya kendali irama masih akan diterapkan.
- AF permanen: AF yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter dan pasien, sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi.
Epidemiologi
Atrial Fibrilasi (AF) merupakan aritmia umum yang paling berkelanjutan, dengan insidensi dan prevalensi yang terus meningkat secara global. Peningkatan ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti bertambahnya usia populasi, peningkatan prevalensi obesitas, peningkatan deteksi, serta meningkatnya kelangsungan hidup dengan AF dan penyakit kardiovaskular (CVD) lainnya. Dalam praktik klinis, AF merupakan aritmia yang paling sering ditemui, dengan prevalensi mencapai 1-2%, dan angka ini diperkirakan akan terus meningkat dalam beberapa dekade mendatang. (5,6)
Secara global, prevalensi AF pada tahun 2020 diperkirakan mencapai sekitar 50 juta kasus. Di Amerika Serikat, prevalensi AF mencapai 5,2 juta pada tahun 2010 dan diproyeksikan akan meningkat menjadi 12,1 juta pada tahun 2030. Tingkat diagnosis AF dapat bervariasi berdasarkan faktor pendidikan, pendapatan, faktor klinis, dan genetik. Risiko seumur hidup untuk mengalami AF adalah sekitar 30-40% pada populasi kulit putih, sekitar 20% pada populasi Afrika Amerika, dan sekitar 15% pada populasi Tionghoa. (5)
AF memiliki dampak signifikan pada kesehatan dan biaya perawatan kesehatan. Berdasarkan data dari Optum, pasien dengan AF memiliki peningkatan risiko rawat inap dan lebih sering mengunjungi unit gawat darurat terkait kardiovaskular dibandingkan pasien tanpa AF, dengan risiko relatif (RR) sebesar 2,41 (95% CI, 2,35–2,47). Total biaya kesehatan tahunan untuk pasien dengan AF bisa mencapai sekitar $63.031, yang $27.896 lebih tinggi daripada individu tanpa AF. Pada tahun 2016, biaya perawatan kesehatan terkait AF di Amerika Serikat diperkirakan mencapai $28,4 miliar. (5)
Selain itu, AF dikaitkan dengan risiko mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi. AF meningkatkan risiko kematian sebesar 1,5 hingga 2 kali lipat, dengan risiko yang mungkin lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Dalam meta-analisis, AF juga dikaitkan dengan beberapa risiko kesehatan serius lainnya, termasuk:
- Peningkatan risiko stroke sebesar 2,4 kali lipat.
- Risiko gangguan kognitif atau demensia meningkat 1,5 kali lipat.
- Risiko infark miokard meningkat 1,5 kali lipat.
- Risiko kematian jantung mendadak meningkat 2 kali lipat.
- Risiko gagal jantung meningkat hingga 5 kali lipat.
- Risiko penyakit ginjal kronis meningkat 1,6 kali lipat.
- Risiko penyakit arteri perifer meningkat 1,3 kali lipat.
Pada penerima manfaat Medicare, diagnosis AF sering kali diikuti oleh berbagai komplikasi. Dalam 5 tahun setelah diagnosis, 19,5% pasien mengalami kematian dalam satu tahun dan 48,8% dalam lima tahun. Komplikasi lain yang sering terjadi adalah gagal jantung (13,7%), stroke baru (7,1%), perdarahan gastrointestinal (5,7%), dan infark miokard (3,9%). (3,5)
Patofisiologi dan Mekanisme Atrial Fibrilasi
Atrial Fibrilasi (AF) adalah irama atrium yang kacau, cepat (300-500 bpm), dan tidak teratur. Pada kondisi normal, impuls listrik mengalir melalui atrium dalam gelombang halus yang dimulai oleh nodus sinoatrial. Pada AF, terjadi gangguan elektrofisiologis yang menyebabkan impuls terbentuk secara tidak teratur, sering kali dipicu oleh aktivitas ektopik di vena pulmonalis (VP) atrium kiri atau sebagai respons terhadap aktivitas reentrant yang didukung oleh jaringan fibrosis interstisial. (3,5)
Patofisiologi terjadinya AF masih belum sepenuhnya dipahami, namun dua konsep utama yang banyak diterima adalah:
- Faktor pemicu: impuls ektopik yang sering kali berasal dari VP atrium kiri.
- Faktor substrat: perubahan struktural dan listrik pada atrium yang mendukung terbentuknya sirkuit reentrant yang menetap.
Beberapa kondisi, seperti hipertensi, penyakit jantung iskemik, dan penyakit katup jantung, dapat memicu proses remodeling pada atrium, yang ditandai dengan peningkatan jaringan fibrosis dan perubahan elektrofisiologi atrium. Proses remodeling ini berkontribusi pada terbentuknya sirkuit reentrant yang memperpanjang durasi AF. (5)
Sistem saraf simpatis dan parasimpatis juga berperan penting dalam patofisiologi AF, terutama melalui peningkatan Ca2+ intraseluler dan pemendekan periode refraktori efektif atrium oleh stimulasi sistem saraf parasimpatis (vagus). Stimulasi pleksus ganglionik di sekitar VP mempermudah terjadinya AF, sehingga ablasi pleksus ganglionik dipertimbangkan sebagai salah satu strategi terapi pada AF, meskipun manfaatnya masih belum sepenuhnya terbukti. (6)
Seiring waktu, AF dapat menyebabkan perubahan struktural lebih lanjut pada atrium, termasuk pemendekan periode refraktori atrium, gangguan kontraksi atrium, dan perubahan struktur ultraseluler, yang semuanya memperkuat dan melanggengkan kondisi AF. Perubahan-perubahan ini dikenal sebagai "AF begets AF," yang berarti AF dapat menyebabkan progresi dan peningkatan durasi AF melalui perubahan elektrofisiologis dan struktural pada atrium. (6)
Evaluasi Perioperatif Kardiovaskular dan Persiapan Operasi Non-Kardiak
Manajemen anestesi pada pasien dengan Atrial Fibrilasi (AF) memerlukan pendekatan khusus karena AF dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik. Pada pasien dengan AF, respons barorefleks terhadap fluktuasi tekanan darah tidak seefektif pasien dengan irama sinus normal, sehingga dapat terjadi ketidakstabilan tekanan darah selama operasi. Oleh karena itu, pendekatan perioperatif yang cermat sangat penting pada pasien ini. (7)
Evaluasi kardiovaskular pra-operasi bertujuan untuk mengidentifikasi dan mempersiapkan pasien agar dapat menjalani operasi dengan aman. Proses ini meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Berikut adalah beberapa aspek penting dalam evaluasi pra-operasi pada pasien dengan AF:
- Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik: Riwayat medis yang komprehensif serta pemeriksaan fisik untuk menilai tanda dan gejala terkait kardiovaskular, seperti sesak napas (dispnea), nyeri dada (angina), atau detak jantung yang tidak teratur (palpitasi).
- Elektrokardiogram (EKG): Pemeriksaan EKG dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis AF, menilai karakteristik irama, serta mendeteksi kelainan lain yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi.
- Radiografi Thorak: Digunakan untuk menilai kondisi umum jantung dan paru-paru, serta sebagai data dasar untuk evaluasi pasca-operasi.
- Ekokardiografi: Membantu mengevaluasi fungsi ventrikel, mendeteksi adanya trombus atrium, dan menilai ukuran atrium kiri.
- Status Antikoagulan: Menilai risiko tromboemboli dan risiko perdarahan pada pasien dengan terapi antikoagulan sebelum operasi. Penilaian ini penting untuk menentukan perlunya modifikasi terapi antikoagulan.
Pasien dengan risiko kardiovaskular tinggi mungkin memerlukan pemantauan tambahan dan penyesuaian teknik anestesi untuk menjaga stabilitas hemodinamik selama prosedur. Pemilihan teknik anestesi, baik umum maupun regional, harus mempertimbangkan kondisi kardiovaskular pasien untuk mengurangi risiko komplikasi perioperatif. Evaluasi yang menyeluruh akan membantu ahli anestesi dalam menentukan pendekatan anestesi yang paling aman dan efektif bagi pasien dengan AF. (5,7)
Kontrol Rate dan Ritme
Tujuan utama pengendalian laju (rate control) dan irama (rhythm control) pada pasien dengan Atrial Fibrilasi (AF) adalah untuk meringankan gejala, menjaga stabilitas hemodinamik, serta mencegah komplikasi tromboemboli. Strategi ini dapat dilakukan melalui pendekatan farmakologis maupun prosedur non-farmakologis seperti ablasi kateter. (5,6)
Kontrol Laju (Rate Control): Strategi ini bertujuan untuk mengendalikan laju ventrikel agar berada dalam batas aman, umumnya berkisar antara 60–80 denyut per menit saat istirahat dan 90–115 denyut per menit saat aktivitas. Obat-obatan yang umumnya digunakan untuk kontrol laju meliputi:
- Beta-blocker: Obat seperti metoprolol dan atenolol sering digunakan untuk menurunkan laju ventrikel pada pasien AF, terutama pada pasien dengan gagal jantung atau iskemia miokard.
- Antagonis kalsium non-dihidropiridin: Verapamil dan diltiazem merupakan alternatif bagi pasien yang tidak dapat menggunakan beta-blocker atau pada pasien dengan kontraindikasi penggunaan beta-blocker.
- Digoxin: Digunakan terutama pada pasien dengan gagal jantung, namun kurang efektif dalam mengendalikan laju jantung selama aktivitas fisik.
Kontrol Irama (Rhythm Control): Pendekatan ini bertujuan untuk mengembalikan dan mempertahankan irama sinus pada pasien AF. Obat antiaritmia seperti flecainide, propafenone, dan amiodarone sering digunakan. Pada beberapa kasus, kardioversi elektrik dilakukan untuk mengembalikan irama sinus, terutama pada pasien dengan gejala yang berat. Namun, kardioversi elektrik memiliki risiko tromboemboli yang signifikan, terutama pada pasien dengan AF yang berlangsung lebih dari 48 jam dan belum menerima terapi antikoagulan sebelumnya. (5)
Penentuan strategi pengobatan—baik kontrol laju maupun kontrol irama—bergantung pada kondisi klinis dan preferensi individual pasien. Kontrol laju biasanya lebih disarankan untuk pasien yang lebih tua atau yang tidak mengalami gejala berat, sementara kontrol irama lebih cocok untuk pasien yang mengalami gejala berat atau mereka yang kondisinya tidak dapat diperbaiki hanya dengan kontrol laju.
Pencegahan Tromboemboli dan Manajemen Antikoagulan
Pasien dengan Atrial Fibrilasi (AF) memiliki risiko tinggi mengalami komplikasi tromboemboli, terutama stroke. Oleh karena itu, pencegahan tromboemboli merupakan aspek penting dalam manajemen AF. Risiko tromboemboli pada pasien AF dapat dinilai menggunakan skor CHA2DS2–VASc, yang mempertimbangkan beberapa faktor risiko seperti usia, hipertensi, diabetes, dan riwayat penyakit vaskular. (5,6)
Kategori Risiko | Terapi yang Direkomendasikan |
---|---|
Tanpa faktor risiko | Aspirin 81-325 mg / hari |
Satu faktor risiko menengah | Aspirin 81-325 mg / hari, atau warfarin (INR 2.0-3.0, target 2.5) |
Faktor risiko tinggi apapun atau >1 faktor risiko menengah | Warfarin (INR 2.0-3.0, target 2.5) |
Faktor Risiko Rendah | Faktor Risiko Menengah | Faktor Risiko Tinggi |
---|---|---|
Wanita Usia 65-74 tahun Penyakit jantung koroner Tirotoksikosis |
Usia 75 tahun atau lebih Hipertensi Gagal jantung Ejeksi fraksi <35% Diabetes mellitus |
Riwayat stroke, TIA, emboli sebelumnya Stenosis mitral Katup prostetik |
Rekomendasi untuk pencegahan tromboemboli berdasarkan skor CHA2DS2–VASc adalah sebagai berikut:
- Skor 0: Tidak memerlukan terapi antikoagulan, namun aspirin dosis rendah (81–325 mg) dapat diberikan jika diperlukan.
- Skor 1: Dapat diberikan aspirin atau warfarin, tergantung pada pertimbangan risiko dan manfaat.
- Skor ≥ 2: Penggunaan antikoagulan, seperti warfarin atau penghambat faktor Xa, lebih disarankan untuk mencegah risiko stroke. (5)
Pada pasien dengan AF paroksismal atau persisten yang menjalani operasi, manajemen antikoagulan perlu diperhatikan untuk mengurangi risiko tromboemboli dan perdarahan. Terapi antikoagulan, seperti warfarin atau direct oral anticoagulants (DOACs), harus disesuaikan dengan profil risiko individu. Pada kasus tertentu, bridging therapy dengan heparin dapat dipertimbangkan pada pasien dengan risiko tinggi tromboemboli yang memerlukan penghentian sementara antikoagulan sebelum operasi. (6)
Manajemen antikoagulan yang tepat sangat penting untuk mengurangi risiko komplikasi tromboemboli dan perdarahan. Pilihan terapi antikoagulan harus disesuaikan dengan kondisi klinis pasien dan hasil evaluasi risiko untuk mencapai keseimbangan optimal antara risiko dan manfaat terapi. (5)
Anestesi
Pilihan agen anestesi pada pasien dengan fibrilasi atrium (AF) sangat penting karena dapat secara signifikan mempengaruhi stabilitas kardiovaskular selama operasi. Penelitian menunjukkan bahwa anestesi regional sering kali lebih disukai pada pasien AF untuk mengurangi risiko yang terkait dengan anestesi umum, seperti ketidakstabilan hemodinamik dan peningkatan komplikasi kardiovaskular. Preferensi ini sangat relevan dalam operasi di mana mempertahankan fungsi kardiovaskular adalah prioritas utama. Namun, keputusan akhir harus mempertimbangkan kondisi individu pasien dan persyaratan bedah tertentu, karena kontraindikasi tertentu mungkin memerlukan penggunaan anestesi umum.
Pilihan Agen Anestesi
Memilih agen anestesi yang tepat untuk pasien dengan fibrilasi atrium (AF) sangat penting guna memastikan stabilitas jantung selama operasi. Berikut adalah beberapa pertimbangan dalam pemilihan agen anestesi untuk pasien dengan AF:
Anestesi Umum
Induksi Anestesi:
- Propofol: Sering digunakan karena efeknya yang cepat dan pemulihan yang singkat. Namun, propofol dapat menyebabkan penurunan tekanan darah, sehingga perlu pemantauan ketat pada pasien dengan AF.
- Etomidate: Alternatif lain yang memiliki efek minimal pada tekanan darah, cocok untuk pasien dengan fungsi jantung yang tidak stabil.
Pemeliharaan Anestesi:
- Inhalasi Agen (seperti sevoflurane atau isoflurane): Dapat digunakan untuk mempertahankan anestesi, namun harus digunakan dengan hati-hati karena dapat mempengaruhi fungsi jantung.
- Anestesi Intravenous (seperti propofol infus): Memberikan kontrol yang baik terhadap kedalaman anestesi dan memungkinkan pemulihan yang cepat.
Anestesi Regional
- Anestesi Spinal atau Epidural: Sering dipilih untuk prosedur di bawah pinggang karena mengurangi risiko komplikasi kardiovaskular yang terkait dengan anestesi umum. Namun, penurunan tekanan darah yang signifikan dapat terjadi akibat vasodilatasi, sehingga pemantauan dan manajemen yang tepat diperlukan.
Anestesi Lokal dengan Sedasi
- Cocok untuk prosedur minor atau pasien dengan risiko tinggi.
- Mengurangi risiko komplikasi kardiovaskular dan memungkinkan pemulihan yang cepat.
Pemantauan Selama Anestesi
- Elektrokardiogram (EKG) Kontinu: Penting untuk mendeteksi aritmia dan memantau respons jantung selama operasi.
- Pemantauan Tekanan Darah Invasif: Memungkinkan deteksi cepat terhadap perubahan hemodinamik dan intervensi segera jika diperlukan.
Pertimbangan Tambahan
- Obat Penekan Saraf Simpatik: Penggunaan beta-blocker atau antagonis kalsium dapat membantu mengontrol laju jantung selama operasi.
- Manajemen Cairan: Pemberian cairan intravena harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari kelebihan beban cairan yang dapat memperburuk AF.
Setiap pasien dengan AF memiliki kondisi yang unik, sehingga pemilihan agen anestesi harus disesuaikan dengan kondisi klinis individu, jenis prosedur bedah, dan faktor risiko yang ada. Konsultasi dengan tim kardiologi dan anestesiologi sangat dianjurkan untuk merencanakan strategi anestesi yang optimal.
Monitoring Ketat: Pasien dengan AF memerlukan pemantauan hemodinamik yang ketat, termasuk tekanan darah invasif dan pemantauan kontinu EKG selama prosedur. Pemantauan EKG terus menerus sangat penting untuk mendeteksi aritmia dan memastikan intervensi tepat waktu, karena AF dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian tromboemboli dan ketidakstabilan hemodinamik. Pemantauan tekanan darah invasif memungkinkan penilaian status kardiovaskular yang akurat, yang sangat penting pada pasien dengan kondisi jantung mendasar yang sering terlihat pada kasus AF. Integrasi teknik pemantauan ini penting untuk mengoptimalkan hasil pasien selama prosedur yang melibatkan AF.
Kesimpulan
Manajemen pre-operatif pada pasien dengan Atrial Fibrilasi (AF) yang menjalani operasi non-kardiak memerlukan pendekatan multidisiplin untuk menjaga stabilitas hemodinamik dan mencegah komplikasi perioperatif. Evaluasi komprehensif dan penyesuaian terapi antikoagulan sangat penting untuk meminimalkan risiko tromboemboli dan perdarahan selama periode perioperatif. (5,7)
Pengendalian laju (rate control) dan irama (rhythm control) merupakan komponen utama dalam manajemen AF. Pemilihan strategi, apakah kontrol laju atau kontrol irama, harus disesuaikan dengan kondisi klinis dan preferensi pasien. Terapi kombinasi dengan pendekatan farmakologis dan prosedural dapat digunakan untuk mencapai kestabilan hemodinamik yang optimal.
Pemahaman yang baik tentang patofisiologi dan strategi manajemen AF memungkinkan ahli anestesi untuk merencanakan dan melaksanakan pendekatan anestesi yang paling aman dan sesuai bagi pasien. Dengan penanganan yang tepat, hasil klinis pada pasien dengan AF yang menjalani operasi non-kardiak dapat ditingkatkan secara signifikan, sehingga mengurangi angka morbiditas dan mortalitas perioperatif.
- European Society of Cardiology. 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation. Eur Heart J. 2020;42:373-498.
- American Heart Association. 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial Fibrillation. Circulation. 2014;130:e199-e267.
- Calkins H, Hindricks G, Cappato R, et al. 2017 HRS/EHRA/ECAS/APHRS/SOLAECE expert consensus statement on catheter and surgical ablation of atrial fibrillation. Heart Rhythm. 2017;14:e275-e444.
- Fuster V, Rydén LE, Cannom DS, et al. ACC/AHA/ESC 2006 guidelines for the management of patients with atrial fibrillation. Eur Heart J. 2006;27:1979-2030.
- Zhou X, Dudley SC Jr, Olgin JE, et al. Atrial fibrillation: mechanisms, pathophysiology, and clinical management. Nat Rev Cardiol. 2015;12:230-243.
- Chugh SS, Roth GA, Gillum RF, et al. Global burden of atrial fibrillation: implications for prevention and management. Circulation. 2014;129:837-847.
- January CT, Wann LS, Alpert JS, et al. 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial Fibrillation. J Am Coll Cardiol. 2014;64:e1-e76.
- Kim MH, Johnston SS, Chu BC, et al. Estimation of total incremental health care costs in patients with atrial fibrillation in the United States. Circ Cardiovasc Qual Outcomes. 2011;4:313-320.
Ramadhan MF. Manajemen Prabedah Atrial Fibrilasi di Operasi Non-Kardiak. Anesthesiol ICU. 2024;11:a9