Hipertensi adalah salah satu komorbiditas yang sering dijumpai pada pasien perioperatif dan memerlukan perhatian khusus dalam penanganannya. Pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol memiliki risiko tinggi terhadap komplikasi serius selama prosedur bedah, seperti komplikasi kardiovaskular dan kerusakan organ target.
Pada pasien yang akan menjalani operasi, baik elektif maupun darurat, pengelolaan tekanan darah yang tepat dan pengambilan keputusan mengenai kelanjutan atau penghentian obat anti-hipertensi sangat penting. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan risiko komplikasi perioperatif yang dapat membahayakan keselamatan pasien.

Artikel ini membahas langkah-langkah tatalaksana perioperatif pada pasien dengan hipertensi, termasuk evaluasi preoperatif, strategi pengendalian tekanan darah sebelum dan selama operasi, serta rencana pascabedah. Dengan memahami aspek farmakologi, farmakokinetik, dan posologi obat anti-hipertensi, dokter anestesi dan tim perioperatif dapat merencanakan penanganan yang optimal dan memastikan operasi berjalan dengan aman.
- Pendahuluan
- Tatalaksana Perioperatif pada Pasien Elektif dengan Komorbid Hipertensi
- Tatalaksana Perioperatif pada Pasien dengan Hipertensi dalam Setting Operasi Darurat
- Kapan Operasi Bisa Dilanjutkan dan Kapan Harus Ditunda?
- Kesimpulan
Pendahuluan
Hipertensi adalah salah satu komorbiditas yang sering dijumpai pada pasien perioperatif dan menjadi faktor risiko utama komplikasi, terutama komplikasi kardiovaskular dan kerusakan organ target selama prosedur bedah. Pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi perioperatif seperti serangan jantung, stroke, dan gangguan fungsi organ vital lainnya. Oleh karena itu, penting untuk melakukan evaluasi dan stabilisasi tekanan darah sebelum, selama, dan setelah operasi guna menurunkan risiko komplikasi tersebut.
Artikel ini membahas tatalaksana perioperatif pada pasien dengan komorbid hipertensi, baik dalam konteks operasi elektif maupun operasi darurat. Pengelolaan hipertensi preoperatif yang memadai pada operasi elektif dapat memberikan stabilitas hemodinamik yang lebih baik dan mengurangi kemungkinan penundaan operasi. Pada operasi darurat, pendekatan berbeda diterapkan untuk menurunkan tekanan darah secara cepat, dengan tetap memperhatikan keamanan hemodinamik pasien selama prosedur.
Tatalaksana Perioperatif pada Pasien Elektif dengan Komorbid Hipertensi
Kunjungan Preanestesia dan Evaluasi Awal
Pada kunjungan preanestesia, pasien dengan hipertensi akan menjalani evaluasi menyeluruh untuk memahami kontrol tekanan darah, jenis terapi yang digunakan, serta adanya komplikasi yang terkait hipertensi. Langkah-langkah evaluasi pada kunjungan preanestesia ini mencakup:
- Pengukuran Tekanan Darah: Tekanan darah pasien diukur dalam kondisi istirahat, dan biasanya dilakukan beberapa kali dalam beberapa posisi (duduk, berbaring, dan berdiri) untuk mendapatkan gambaran yang akurat.
- Riwayat Penyakit Hipertensi: Tim medis akan mengkaji riwayat hipertensi pasien, termasuk kapan didiagnosis, pengobatan yang saat ini digunakan, dan kepatuhan terhadap terapi. Informasi tentang episode hipertensi parah sebelumnya atau krisis hipertensi sangat penting untuk mendukung keputusan preoperatif.
- Pemeriksaan Komorbiditas Lain: Hipertensi sering kali berkaitan dengan komorbiditas lain, seperti penyakit jantung, penyakit ginjal, atau diabetes. Pemeriksaan tambahan seperti EKG, pemeriksaan fungsi ginjal, dan evaluasi gula darah dilakukan untuk menilai risiko komorbiditas ini terhadap operasi.
- Evaluasi Kerusakan Organ Target: Hipertensi yang tidak terkontrol dapat merusak organ-organ target seperti jantung, ginjal, otak, dan pembuluh darah. Pemeriksaan tanda-tanda kerusakan organ target, seperti hipertrofi ventrikel kiri, retinopati, atau proteinuria, akan mempengaruhi keputusan apakah operasi bisa dilanjutkan atau ditunda.
Etiologi dan Patofisiologi Hipertensi
Hipertensi pada pasien perioperatif dapat berasal dari dua kategori utama:
- Hipertensi Primer (Esensial): Jenis hipertensi ini merupakan yang paling umum dan tidak diketahui penyebab pastinya. Faktor-faktor risiko seperti gaya hidup (diet tinggi garam, obesitas, dan stres) serta genetik memainkan peran penting dalam perkembangannya.
- Hipertensi Sekunder: Hipertensi ini disebabkan oleh kondisi medis lain, seperti penyakit ginjal kronis, gangguan endokrin, atau stenosis arteri renalis.
Patofisiologi hipertensi melibatkan beberapa mekanisme, termasuk:
- Aktivasi Sistem Saraf Simpatis: Peningkatan aktivitas saraf simpatis merangsang vasokonstriksi dan meningkatkan denyut jantung, yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah.
- Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAAS): Peningkatan angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi dan sekresi aldosteron yang meningkatkan retensi natrium dan air, sehingga menambah volume darah dan tekanan darah.
- Disfungsi Endotel: Kerusakan pada sel endotel vaskular meningkatkan resistensi pembuluh darah, yang turut meningkatkan tekanan darah.
Farmakologi Obat Anti-Hipertensi
Penggunaan obat anti-hipertensi dalam setting perioperatif melibatkan berbagai mekanisme kerja yang bertujuan menurunkan tekanan darah dengan cara yang berbeda. Beberapa golongan obat utama dan mekanisme kerjanya adalah sebagai berikut:
- ACE Inhibitor (Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor): Obat ini bekerja dengan menghambat enzim angiotensin-converting yang berperan dalam mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Dengan mencegah terbentuknya angiotensin II, ACE inhibitor mengurangi vasokonstriksi dan sekresi aldosteron, yang keduanya dapat meningkatkan tekanan darah. Hasil akhirnya adalah penurunan resistensi pembuluh darah dan penurunan tekanan darah yang stabil.
- Angiotensin II Receptor Blocker (ARB): ARB bekerja dengan menghambat reseptor angiotensin II di pembuluh darah, yang mencegah efek vasokonstriksi dan retensi natrium. Berbeda dengan ACE inhibitor, ARB tidak memengaruhi bradikinin, sehingga efek samping seperti batuk lebih jarang terjadi. ARB menurunkan tekanan darah dengan menjaga pembuluh darah tetap rileks, sehingga volume dan tekanan darah menurun secara bertahap.
- Beta Blocker: Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor beta-adrenergik, yang mengurangi efek stimulasi simpatis pada jantung. Beta blocker menurunkan denyut jantung dan kontraktilitas miokard, sehingga menurunkan tekanan darah dan mengurangi risiko aritmia.
- Calcium Channel Blocker (CCB): CCB bekerja dengan menghambat masuknya ion kalsium ke dalam sel otot polos pembuluh darah dan jantung. Mekanisme ini menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah perifer, menurunkan resistensi vaskular, dan mengurangi kontraktilitas miokard. Efek ini membantu menurunkan tekanan darah secara bertahap tanpa efek pada denyut jantung, yang membuatnya cocok untuk penggunaan perioperatif.
- Diuretik: Obat ini meningkatkan ekskresi natrium dan air melalui ginjal, sehingga mengurangi volume darah yang bersirkulasi. Dengan berkurangnya volume darah, tekanan darah pun menurun. Diuretik sering digunakan sebagai terapi tambahan untuk pasien yang memerlukan pengendalian tekanan darah yang lebih ketat, terutama jika ada retensi cairan atau edema yang signifikan.
Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat Anti-Hipertensi
Pemahaman tentang farmakokinetik dan farmakodinamik obat anti-hipertensi membantu dalam menentukan regimen obat perioperatif yang optimal:
- ACE Inhibitor dan ARB: Kedua golongan ini memiliki durasi kerja yang panjang dan memberikan efek penurunan tekanan darah secara stabil. Efeknya mulai terasa dalam 4–6 jam dan dapat bertahan hingga 24 jam atau lebih, tergantung jenis dan dosisnya.
- Beta Blocker: Obat ini memiliki efek cepat pada jantung dan dapat langsung mengurangi denyut jantung serta kontraktilitas miokard, yang sangat bermanfaat dalam pengendalian hemodinamik perioperatif.
- Calcium Channel Blocker (CCB): Obat-obatan dalam golongan ini memiliki onset kerja yang relatif cepat, sekitar 30–60 menit, dengan durasi kerja yang bervariasi. Efeknya membantu menstabilkan tekanan darah tanpa efek langsung pada denyut jantung.
- Diuretik: Efek diuretik muncul dalam beberapa jam setelah pemberian dan membutuhkan pemantauan ketat terhadap status cairan dan elektrolit, karena penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit.
Posologi Obat Anti-Hipertensi dalam Setting Perioperatif
Pengaturan dosis atau posologi obat anti-hipertensi disesuaikan secara individual untuk mencapai target penurunan tekanan darah tanpa menyebabkan hipotensi berlebihan. Berikut adalah posologi untuk beberapa obat utama dalam setting perioperatif:
- ACE Inhibitor:
- Lisinopril: 10–40 mg sekali sehari, biasanya dimulai dengan 10 mg. Sebaiknya dihentikan pada hari operasi karena risiko hipotensi mendadak.
- Enalapril: 5–20 mg sekali atau dua kali sehari, dengan dosis awal 5 mg. Penghentian pada hari operasi juga dianjurkan.
- Ramipril: 2,5–10 mg sekali sehari, dimulai dengan dosis awal 2,5 mg, ditingkatkan secara bertahap jika perlu.
- Angiotensin II Receptor Blocker (ARB):
- Losartan: 50–100 mg sekali sehari, biasanya dimulai dengan 50 mg, dapat ditingkatkan hingga 100 mg tergantung respons tekanan darah.
- Valsartan: 80–320 mg sekali sehari, dimulai dengan dosis 80 mg dan dinaikkan secara bertahap.
- Irbesartan: 150–300 mg sekali sehari, dimulai dengan 150 mg dan ditingkatkan hingga 300 mg sesuai kebutuhan kontrol tekanan darah.
- Beta Blocker:
- Metoprolol Tartrate: 50–100 mg dua kali sehari, atau Metoprolol extended-release: 50–200 mg sekali sehari.
- Bisoprolol: 2,5–10 mg sekali sehari, dimulai dengan dosis rendah (2,5 mg) pada pasien dengan gangguan ginjal atau lanjut usia.
- Atenolol: 25–100 mg sekali sehari, dimulai dengan 25–50 mg tergantung kondisi pasien.
- Calcium Channel Blocker (CCB):
- Amlodipin: 5–10 mg sekali sehari, dimulai dengan 5 mg dan ditingkatkan hingga 10 mg jika diperlukan.
- Nifedipin extended-release: 30–90 mg sekali sehari, dengan dosis awal 30 mg.
- Diltiazem extended-release: 120–540 mg per hari, diberikan sekali atau dalam dosis terbagi.
- Diuretik:
- Hidroklorotiazid: 12,5–50 mg sekali sehari, dengan dosis rendah (12,5–25 mg) sering kali cukup efektif untuk kontrol tekanan darah.
- Furosemid: 20–80 mg per hari, biasanya dalam dosis terbagi jika digunakan untuk hipertensi atau edema.
- Spironolakton: 25–100 mg sekali sehari, biasanya digunakan pada pasien dengan hipertensi resistensi atau gangguan jantung.
Pada hari operasi, ACE inhibitor dan ARB umumnya dihentikan sementara karena risiko hipotensi mendadak selama anestesi, sementara beta blocker sering kali dilanjutkan untuk menjaga stabilitas hemodinamik. Calcium channel blocker dapat dilanjutkan karena efeknya yang stabil, dan diuretik diatur ulang dengan pemantauan ketat terhadap status cairan dan elektrolit pasien.
Efek Pemberian atau Penghentian Obat Anti-Hipertensi pada Hari Operasi
Pada hari operasi, keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan obat anti-hipertensi dilakukan berdasarkan mekanisme kerja dan potensi efeknya terhadap tekanan darah serta stabilitas hemodinamik pasien selama anestesi. Berikut adalah efek dan rekomendasi untuk setiap golongan obat anti-hipertensi dalam konteks perioperatif:
- ACE Inhibitor (Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor):
ACE inhibitor seperti lisinopril dan enalapril bekerja dengan menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Dengan mencegah pembentukan angiotensin II, obat ini menurunkan vasokonstriksi dan produksi aldosteron, sehingga menyebabkan vasodilatasi dan pengurangan volume darah melalui peningkatan ekskresi natrium dan air.
Efek jika Dilanjutkan: Jika ACE inhibitor dilanjutkan pada hari operasi, risiko hipotensi mendadak selama anestesi meningkat. Ini karena ACE inhibitor mengurangi tonus pembuluh darah yang seharusnya meningkat untuk menjaga tekanan darah selama stres bedah. Hipotensi yang terjadi pada pasien yang melanjutkan ACE inhibitor dapat sulit dikoreksi karena resistensi terhadap vasopressor meningkat, sehingga memerlukan dosis vasopressor yang lebih tinggi.
Rekomendasi: Disarankan untuk menghentikan ACE inhibitor pada hari operasi guna mencegah hipotensi mendadak yang sulit dikendalikan.
- Angiotensin II Receptor Blocker (ARB):
ARB seperti losartan dan valsartan bekerja dengan menghambat reseptor angiotensin II, yang mencegah vasokonstriksi tanpa memengaruhi kadar bradikinin. Dengan demikian, ARB menurunkan tekanan darah tanpa efek samping batuk yang sering muncul pada ACE inhibitor.
Efek jika Dilanjutkan: Sama seperti ACE inhibitor, ARB meningkatkan risiko hipotensi perioperatif jika dilanjutkan pada hari operasi, karena penghambatan respons vasokonstriksi alami yang diperlukan selama prosedur bedah. Hipotensi pada pasien yang tetap menggunakan ARB juga sulit dikoreksi dan membutuhkan dosis vasopressor yang lebih tinggi.
Rekomendasi: ARB sebaiknya dihentikan pada hari operasi untuk mencegah hipotensi yang sulit diatasi.
- Beta Blocker:
Beta blocker seperti metoprolol dan bisoprolol bekerja dengan menghambat reseptor beta-adrenergik pada jantung dan pembuluh darah, yang menurunkan denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini membantu menurunkan tekanan darah dan menurunkan risiko aritmia.
Efek jika Dilanjutkan: Beta blocker sering dianjurkan untuk dilanjutkan pada hari operasi, karena penghentian mendadak dapat menyebabkan rebound hypertension dan takikardia. Hipertensi rebound disebabkan oleh peningkatan respons simpatis secara mendadak setelah penghentian beta blocker, yang dapat meningkatkan risiko komplikasi kardiovaskular.
Rekomendasi: Disarankan untuk melanjutkan beta blocker hingga hari operasi, terutama pada pasien yang sudah menggunakannya secara rutin, untuk menjaga stabilitas hemodinamik.
- Calcium Channel Blocker (CCB):
CCB seperti amlodipin dan nifedipin bekerja dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam sel otot polos pembuluh darah dan jantung. Mekanisme ini menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah, sehingga mengurangi resistensi vaskular dan menurunkan tekanan darah.
Efek jika Dilanjutkan: CCB cenderung memberikan kontrol tekanan darah yang stabil dan tidak menimbulkan risiko hipotensi berlebihan jika dilanjutkan pada hari operasi. Efek vasodilatasi CCB tidak menyebabkan respons vasodilatasi ekstrem seperti pada ACE inhibitor atau ARB, sehingga lebih aman untuk dilanjutkan dalam setting perioperatif.
Rekomendasi: CCB dapat dilanjutkan pada hari operasi karena efeknya yang stabil dan tidak berisiko menyebabkan hipotensi mendadak.
- Diuretik:
Diuretik seperti hidroklorotiazid dan furosemid meningkatkan ekskresi natrium dan air melalui ginjal, yang mengurangi volume darah dan menurunkan tekanan darah. Diuretik sering digunakan sebagai tambahan untuk terapi anti-hipertensi lainnya.
Efek jika Dilanjutkan: Jika diuretik dilanjutkan pada hari operasi, ada risiko ketidakseimbangan elektrolit, terutama hipokalemia, yang dapat meningkatkan risiko aritmia. Selain itu, diuretik dapat menyebabkan dehidrasi, yang dapat mempersulit pengaturan cairan perioperatif.
Rekomendasi: Diuretik biasanya dihentikan pada hari operasi untuk mencegah risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, terutama pada prosedur bedah besar.
Keputusan Menunda Operasi Elektif
Setelah seluruh hasil evaluasi diperoleh, tim medis akan mempertimbangkan keputusan untuk melanjutkan atau menunda operasi elektif jika tekanan darah pasien tidak terkontrol atau jika ditemukan kondisi klinis lain yang berisiko. Situasi di mana operasi elektif perlu ditunda mencakup:
- Tekanan Darah Tidak Terkontrol (>180/110 mmHg): Jika tekanan darah pasien tetap tinggi atau tidak stabil meskipun telah dilakukan upaya pengendalian dengan terapi yang optimal, risiko perioperatif terlalu tinggi untuk melanjutkan operasi. Dalam kasus ini, pasien diarahkan untuk pengelolaan tekanan darah lebih intensif sebelum operasi dijadwalkan ulang.
- Terdapat Komplikasi Hipertensi Aktif: Jika ditemukan adanya kerusakan organ target yang signifikan atau gejala komplikasi hipertensi, seperti gagal jantung kongestif akut atau infark miokard, operasi elektif perlu ditunda hingga kondisi pasien stabil.
- Ketidakseimbangan Elektrolit atau Dehidrasi: Jika ditemukan ketidakseimbangan elektrolit akibat penggunaan diuretik atau masalah ginjal yang memperburuk hipertensi, maka perlu dilakukan stabilisasi status cairan dan elektrolit sebelum operasi dilanjutkan.
Rencana Pengendalian Hipertensi Sebelum Operasi
Jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa tekanan darah pasien perlu lebih dikendalikan sebelum operasi, berikut adalah strategi pengendalian yang dapat diterapkan dalam setting klinik atau rumah sakit:
- Penyesuaian Terapi Anti-Hipertensi:
- Penambahan Obat Baru: Pada pasien yang tidak mencapai kontrol optimal dengan satu atau dua obat, terapi kombinasi dengan mekanisme kerja berbeda dapat dipertimbangkan. Misalnya, menambahkan calcium channel blocker atau diuretik tiazid pada pasien yang menggunakan ACE inhibitor atau beta blocker.
- Peningkatan Dosis Obat: Jika pasien menggunakan dosis rendah, dosis dapat ditingkatkan secara bertahap dengan pemantauan tekanan darah untuk mencapai target kontrol yang diinginkan.
- Pemantauan Tekanan Darah Berulang di Klinik: Pasien dapat diminta untuk melakukan kunjungan berulang dalam 1–2 minggu untuk mengevaluasi respons terhadap penyesuaian terapi. Pemantauan dilakukan pada posisi duduk, berdiri, dan berbaring untuk mendeteksi adanya hipotensi postural atau perubahan tekanan darah yang berlebihan.
- Pemberian Obat Onset Cepat (Bridging Therapy): Jika tekanan darah perlu diturunkan secara cepat, obat-obatan onset cepat seperti captopril atau nifedipin sublingual dapat digunakan di bawah pengawasan ketat. Pada pasien dengan tekanan darah yang sangat tinggi, terapi intravena seperti labetalol atau nitroprusside mungkin diperlukan.
- Observasi dan Pengkajian Ulang secara Berkala: Setelah dilakukan penyesuaian terapi, pasien akan diobservasi secara berkala. Jika tekanan darah stabil dan berada dalam rentang aman, operasi dapat dijadwalkan ulang.
Tatalaksana Perioperatif pada Pasien dengan Hipertensi dalam Setting Operasi Darurat
Pendekatan Awal dan Evaluasi Singkat
Dalam situasi operasi darurat, di mana waktu sangat terbatas, evaluasi singkat dilakukan untuk memahami kondisi hemodinamik pasien dan risiko perioperatif. Langkah-langkah utama dalam pendekatan awal ini meliputi:
- Pemeriksaan Tekanan Darah dan Tanda Vital: Tekanan darah pasien harus diukur segera setelah pasien tiba di ruang gawat darurat atau sebelum memasuki ruang operasi. Pengukuran ini penting untuk mendapatkan gambaran awal kondisi hemodinamik pasien.
- Evaluasi Singkat Riwayat Hipertensi dan Penggunaan Obat: Riwayat hipertensi dan pengobatan yang saat ini digunakan harus dikaji secepat mungkin. Informasi seperti dosis terakhir obat anti-hipertensi (misalnya ACE inhibitor, ARB, atau diuretik) perlu diketahui karena berpengaruh terhadap pengelolaan tekanan darah perioperatif.
- Pemeriksaan Fisik dan Penilaian Terhadap Kerusakan Organ Target: Evaluasi singkat dilakukan untuk mendeteksi ada atau tidaknya tanda-tanda kerusakan organ target yang akut, seperti ensefalopati hipertensif, gagal jantung, atau gangguan ginjal akut. Keberadaan kerusakan organ ini meningkatkan risiko komplikasi dan memengaruhi strategi manajemen tekanan darah.
Strategi Pengendalian Hipertensi Cepat (Bridging Therapy) untuk Operasi Darurat
Pada situasi darurat, penurunan tekanan darah yang cepat sering kali diperlukan untuk mengurangi risiko komplikasi selama prosedur. Beberapa pendekatan yang dapat diterapkan meliputi:
- Pemberian Obat Anti-Hipertensi dengan Onset Cepat secara Oral atau Sublingual: Pada pasien yang masih mampu menerima obat oral, pemberian captopril atau nifedipin sublingual dapat dipertimbangkan untuk menurunkan tekanan darah secara cepat. Pemberian obat ini sebaiknya dihindari jika terapi intravena tersedia, karena intravena memberikan kontrol yang lebih terukur.
- Captopril Sublingual: Biasanya diberikan dalam dosis 12,5–25 mg, dengan onset sekitar 15–30 menit. Penggunaan captopril membantu menurunkan tekanan darah sementara, tetapi perlu pemantauan ketat untuk menghindari hipotensi berlebihan.
- Nifedipin Sublingual: Nifedipin sublingual dapat digunakan untuk menurunkan tekanan darah dengan onset sekitar 10–20 menit, namun penggunaannya perlu dihindari bila ada pilihan lain karena efek hipotensi yang sulit dikontrol.
- Penggunaan Obat Intravena (IV) untuk Kontrol yang Lebih Ketat dan Akurat: Jika pasien memerlukan penurunan tekanan darah yang lebih cepat dan terkontrol, terapi intravena adalah pilihan yang tepat. Beberapa obat yang umum digunakan dalam setting darurat adalah:
- Labetalol IV: Dosis awal 20 mg IV, dapat diulang sesuai kebutuhan setiap 10 menit. Labetalol bekerja pada reseptor alfa dan beta, sehingga menurunkan tekanan darah secara bertahap tanpa menyebabkan vasodilatasi berlebihan.
- Esmolol IV: Diberikan dengan dosis awal 0,5 mg/kg bolus, diikuti dengan infus 0,05–0,2 mg/kg per menit. Esmolol memiliki onset dan durasi yang singkat, cocok untuk kontrol tekanan darah jangka pendek dalam setting operasi.
- Nitroprusside IV: Dosis awal dimulai pada 0,3 mcg/kg per menit, yang dapat ditingkatkan sesuai respons. Nitroprusside adalah vasodilator kuat dengan efek cepat dan mudah diatur, namun perlu pemantauan ketat terhadap hipotensi.
Pemantauan Ketat Tekanan Darah dan Hemodinamik
Dalam setting operasi darurat, pemantauan tekanan darah real-time sangat penting untuk mendeteksi perubahan hemodinamik secara cepat dan mengambil tindakan korektif jika terjadi hipotensi atau hipertensi mendadak. Langkah-langkah pemantauan meliputi:
- Pemantauan Tekanan Darah Real-Time: Pasien perlu dipantau menggunakan alat pengukur tekanan darah otomatis atau kateter arteri untuk mendapatkan gambaran tekanan darah yang lebih akurat.
- Intervensi Cepat jika Hipotensi Berlebihan Terjadi: Jika tekanan darah turun terlalu rendah, dosis vasopressor atau cairan intravena dapat diberikan segera untuk menjaga perfusi organ vital. Respons cepat ini sangat penting untuk mencegah komplikasi perioperatif serius.
Rencana Pascaoperatif untuk Kontrol Tekanan Darah
Setelah operasi darurat, pemantauan tekanan darah dan hemodinamik pasien tetap menjadi prioritas. Pasien yang memiliki komorbid hipertensi memerlukan perhatian khusus di fase pascabedah, karena risiko hipertensi rebound atau komplikasi kardiovaskular lainnya meningkat. Langkah-langkah pascabedah untuk kontrol tekanan darah meliputi:
- Lanjutkan Pemantauan di Ruang Pemulihan atau ICU: Pasien yang baru saja menjalani operasi darurat dengan komorbid hipertensi sebaiknya dipantau ketat di ruang pemulihan atau ICU. Pemantauan tekanan darah, denyut jantung, saturasi oksigen, dan tanda vital lainnya perlu dilakukan untuk mencegah komplikasi yang mungkin terjadi akibat fluktuasi tekanan darah.
- Pemberian Kembali Obat Anti-Hipertensi: Setelah kondisi hemodinamik stabil, obat anti-hipertensi yang telah dihentikan sementara pada hari operasi dapat diberikan kembali. Pemulihan terapi ini dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi pasien pascabedah:
- ACE inhibitor dan ARB dapat diberikan kembali setelah stabilitas tekanan darah tercapai, biasanya dimulai dengan dosis rendah sebelum kembali ke dosis penuh.
- Beta blocker dapat dilanjutkan segera setelah operasi untuk mencegah rebound hypertension dan menjaga denyut jantung tetap stabil.
- Calcium channel blocker juga dapat dilanjutkan pada fase awal pascabedah karena memiliki efek yang stabil dalam menurunkan tekanan darah tanpa risiko hipotensi mendadak.
- Diuretik diberikan dengan pemantauan ketat terhadap elektrolit, terutama kalium, dan keseimbangan cairan, karena diuretik dapat mempengaruhi status cairan tubuh yang krusial dalam fase pemulihan.
- Pemberian Cairan yang Hati-Hati: Dalam fase pascabedah, pemberian cairan intravena perlu disesuaikan dengan status hemodinamik pasien. Pada pasien dengan hipertensi, overload cairan perlu dihindari karena dapat meningkatkan tekanan darah dan berisiko menyebabkan edema paru atau gagal jantung. Pengaturan pemberian cairan dilakukan dengan pemantauan ketat untuk menjaga stabilitas tekanan darah.
- Transisi dari Obat Intravena ke Terapi Oral: Setelah pasien stabil, obat anti-hipertensi intravena yang digunakan selama prosedur darurat akan ditransisikan ke bentuk oral. Hal ini bertujuan untuk mencapai kontrol tekanan darah jangka panjang dengan dosis oral yang mudah dikelola. Dosis oral diberikan sesuai respons pasien dan ditingkatkan secara bertahap untuk mencapai kontrol tekanan darah optimal.
Kapan Operasi Bisa Dilanjutkan dan Kapan Harus Ditunda?
Pada pasien dengan hipertensi yang akan menjalani operasi, ada beberapa situasi “abu-abu” yang sering ditemui, di mana dokter anestesi harus mempertimbangkan secara cermat apakah operasi bisa dilanjutkan atau perlu ditunda. Beberapa kondisi yang menjadi bahan pertimbangan mencakup:
- Tekanan Darah yang Tidak Sepenuhnya Terkontrol: Pada pasien dengan tekanan darah yang berada di antara 160/100 hingga 179/109 mmHg, risiko komplikasi perioperatif meningkat, namun masih belum mencapai ambang batas penundaan yang jelas (>180/110 mmHg). Dalam situasi ini, tim anestesi akan mempertimbangkan kelanjutan operasi berdasarkan kondisi klinis lain serta riwayat hipertensi pasien.
- Riwayat Krisis Hipertensi Sebelumnya: Pasien dengan riwayat krisis hipertensi memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami lonjakan tekanan darah selama prosedur. Meskipun tekanan darah saat ini terkontrol, tim anestesi perlu mengevaluasi stabilitas tekanan darah dalam beberapa minggu terakhir dan mungkin mempertimbangkan pengelolaan tekanan darah yang lebih intensif.
- Kerusakan Organ Target Terkendali: Pada pasien yang memiliki kerusakan organ target, seperti hipertrofi ventrikel kiri atau gangguan ginjal ringan, risiko perioperatif bisa lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa kerusakan organ. Dalam kondisi ini, dokter anestesi akan mempertimbangkan untuk menunda operasi jika tekanan darah belum sepenuhnya stabil.
- Penggunaan Beberapa Obat Anti-Hipertensi: Pada pasien yang sudah menggunakan kombinasi beberapa obat anti-hipertensi, kemampuan untuk menurunkan tekanan darah lebih lanjut mungkin terbatas. Hal ini memerlukan penyesuaian dosis yang lebih agresif atau bahkan intervensi tambahan sebelum operasi dapat dilanjutkan.
- Kepatuhan Pasien Terhadap Terapi: Jika pasien tidak patuh terhadap terapi atau mengalami efek samping yang signifikan dari obat anti-hipertensi, ini dapat memengaruhi stabilitas tekanan darah. Edukasi dan konseling tambahan mungkin diperlukan untuk memastikan kepatuhan pasien sebelum keputusan dibuat.
Dalam setting operasi darurat, keputusan untuk menunda operasi sangat jarang dilakukan. Namun, operasi darurat dapat ditunda sementara jika terjadi:
- Krisis Hipertensi yang Tidak Dapat Dikontrol Cepat: Jika tekanan darah tetap di atas 180/110 mmHg meskipun telah diberikan terapi intensif intravena, atau terjadi hipertensi berat yang sulit dikontrol dengan adanya kerusakan organ target akut.
- Komplikasi Hipertensi yang Membahayakan: Jika pasien mengalami ensefalopati hipertensif, stroke akut, atau gagal jantung akut yang memerlukan stabilisasi khusus sebelum operasi dapat dilanjutkan.
Dalam situasi ini, tim medis akan menilai apakah risiko menunda operasi lebih besar dibandingkan risiko melanjutkan prosedur dengan kondisi tekanan darah yang tinggi. Keputusan akhir dibuat berdasarkan keseluruhan kondisi klinis pasien.
Aspek | Rincian |
---|---|
Evaluasi Preoperatif |
|
Etiologi dan Patofisiologi Hipertensi |
|
Farmakologi Obat Anti-Hipertensi |
|
Posologi |
|
Efek Pemberian/Penghentian Obat pada Hari Operasi |
|
Keputusan Menunda Operasi Elektif |
|
Pengendalian Hipertensi Sebelum Operasi |
|
Pengendalian Darurat |
|
Rencana Pascaoperatif |
|
Kesimpulan
Penanganan pasien dengan komorbid hipertensi dalam setting perioperatif memerlukan evaluasi yang komprehensif dan pengendalian tekanan darah yang ketat untuk meminimalkan risiko komplikasi. Pada operasi elektif, kontrol tekanan darah yang baik sebelum prosedur dapat memberikan stabilitas hemodinamik yang lebih baik, serta membantu menurunkan kemungkinan penundaan operasi. Dalam situasi operasi darurat, pendekatan yang berbeda diperlukan, termasuk terapi penurunan tekanan darah cepat dengan pemantauan ketat untuk memastikan keamanan pasien selama dan setelah prosedur.
Pemahaman mengenai farmakologi, farmakokinetik, dan posologi obat anti-hipertensi sangat penting dalam menentukan apakah obat perlu dilanjutkan atau dihentikan pada hari operasi. Obat-obatan seperti ACE inhibitor dan ARB biasanya dihentikan sementara untuk menghindari risiko hipotensi mendadak, sedangkan beta blocker dan calcium channel blocker sering kali dilanjutkan guna menjaga stabilitas hemodinamik pasien.
Dengan evaluasi dan pengelolaan yang tepat, dokter anestesi dan tim perioperatif dapat mengoptimalkan kondisi pasien hipertensi selama fase perioperatif, baik dalam konteks operasi elektif maupun darurat. Tindakan yang hati-hati ini bertujuan agar pasien dapat menjalani operasi dengan aman dan risiko komplikasi yang minimal.
- Shields L, Ma W, Amer K, Ashrafian H, Darzi A. Perioperative management of hypertension in surgical patients. J Hypertens. 2020;38(10):1882-1891.
- Fleisher LA, Fleischmann KE, Auerbach AD, Barnason SA, Beckman JA, Bozkurt B, et al. 2014 ACC/AHA guideline on perioperative cardiovascular evaluation and management of patients undergoing noncardiac surgery. J Am Coll Cardiol. 2014;64(22):e77-e137.
- Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, Redon J, Zanchetti A, Böhm M, et al. 2013 ESH/ESC Guidelines for the management of arterial hypertension. J Hypertens. 2013;31(7):1281-357.
- Smetana GW, Lawrence VA, Cornell JE, American College of Physicians. Preoperative medical evaluation of the healthy adult patient. Ann Intern Med. 2006;144(8):581-585.
- Geissler T, Lanvers E, Dersch DM. Principles of Perioperative Management for Patients with Hypertension. Curr Hypertens Rep. 2018;20(4):24.
- Parati G, Lombardi C, Hedner J, Bonsignore MR, Grote L, Tkacova R, et al. Position paper on the management of patients with obstructive sleep apnea and hypertension: Joint recommendations by the European Society of Hypertension, the European Respiratory Society, and members of the European COST ACTION B26 on obstructive sleep apnea. J Hypertens. 2012;30(4):633-46.
- Varon J, Marik PE. Perioperative hypertension management: Current and evolving strategies. Int J Crit Illn Inj Sci. 2011;1(2):103-12.
- Wallace A, Gupta B, Gupte G. Pharmacology of commonly used antihypertensive agents. Br J Clin Pharmacol. 2015;80(5):784-92.
- Nyhsen CM, Humphries JE, Koontz H. Essentials of cardiovascular pharmacology in perioperative settings. Perioper Med (Lond). 2019;8:15.
Ramadhan MF. Tatalaksana Perioperatif pada Komorbid Hipertensi. Anesthesiol ICU. 2024;11:a11
Artikel terkait:
- Manajemen Perioperatif pada Pasien dengan Hiperkapnia
- Manajemen Perioperatif pada Pasien dengan Venous Air Embolism (VAE)
- Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Gangguan Ginjal
- Hubungan Disbiosis Usus dan Disfungsi Imun pada Sepsis
- Manajemen Perioperatif pada Pasien dengan Hipomagnesemia
- Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Hiponatremia