Tatalaksana perioperatif pada pasien dengan diabetes mellitus merupakan tantangan penting dalam praktik anestesiologi dan perawatan intensif. Diabetes meningkatkan risiko komplikasi perioperatif, terutama komplikasi kardiovaskular, infeksi, dan gangguan penyembuhan luka. Pengendalian glukosa yang ketat sebelum, selama, dan setelah operasi dapat mengurangi risiko tersebut dan meningkatkan outcome pasien. Oleh karena itu, artikel ini membahas langkah-langkah penting dalam tatalaksana perioperatif pasien dengan diabetes, mulai dari evaluasi awal hingga pengendalian glukosa pascaoperatif.


Pendahuluan

Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolik kronis yang ditandai oleh hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Kondisi ini mengharuskan perhatian khusus dalam tatalaksana perioperatif karena perubahan metabolik yang kompleks pada pasien diabetes dapat meningkatkan risiko komplikasi. Evaluasi yang cermat serta perencanaan pengendalian glukosa yang tepat diperlukan untuk meminimalkan risiko ini.

Tatalaksana Perioperatif pada Komorbid Diabetes Mellitus

Kunjungan Preanestesia dan Evaluasi Awal

Kunjungan preanestesia pada pasien dengan diabetes mellitus adalah langkah krusial untuk mengevaluasi kondisi umum pasien dan menentukan strategi pengendalian glukosa yang optimal selama periode perioperatif. Evaluasi ini bertujuan untuk mengidentifikasi risiko-risiko terkait diabetes yang dapat memperburuk hasil operasi dan meningkatkan risiko komplikasi perioperatif, seperti infeksi, penyembuhan luka yang buruk, dan komplikasi kardiovaskular.

Komponen penting dalam kunjungan preanestesia meliputi:

1. Penilaian Kadar Glukosa Darah dan HbA1c

Pemeriksaan kadar glukosa darah serta HbA1c memberikan informasi mengenai kontrol glikemik pasien dalam jangka pendek dan panjang. HbA1c mencerminkan rata-rata kadar glukosa darah selama 2-3 bulan terakhir dan membantu dalam menentukan apakah kontrol diabetes pasien memadai. Nilai HbA1c yang direkomendasikan sebelum operasi adalah < 8%, karena kadar yang lebih tinggi menunjukkan risiko komplikasi yang lebih besar.

Jika HbA1c tinggi (> 8%), perlu dilakukan intervensi tambahan untuk meningkatkan kontrol glukosa sebelum operasi, kecuali dalam kasus operasi darurat. Pada kondisi elektif, kadar glukosa target preoperatif biasanya diatur dalam rentang 80–180 mg/dL untuk meminimalkan risiko komplikasi perioperatif.

2. Pemeriksaan Komorbiditas dan Komplikasi Diabetes

Pasien diabetes sering memiliki komorbiditas seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, dislipidemia, dan nefropati, yang semuanya dapat meningkatkan risiko perioperatif. Evaluasi preanestesia mencakup penilaian menyeluruh dari komorbiditas ini untuk memastikan kondisi pasien dalam keadaan stabil sebelum menjalani operasi.

Selain itu, komplikasi diabetes kronis, seperti retinopati, neuropati, dan nefropati, harus diperiksa. Neuropati otonom dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang tidak stabil selama anestesi, seperti hipotensi atau hipertensi mendadak. Nefropati diabetik juga perlu dipertimbangkan karena dapat memengaruhi metabolisme obat anestesi dan eliminasi insulin, sehingga memerlukan penyesuaian dosis.

3. Peninjauan Obat Anti-Diabetes

Peninjauan terhadap regimen obat anti-diabetes pasien, termasuk jenis dan dosis insulin serta agen oral lainnya seperti metformin atau sulfonilurea, diperlukan untuk merencanakan strategi dosis perioperatif. Beberapa obat anti-diabetes, seperti metformin, harus dihentikan 24-48 jam sebelum operasi untuk menghindari risiko asidosis laktat, terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.

Pada pasien yang menggunakan insulin, regimen dosis mungkin perlu disesuaikan berdasarkan kadar glukosa darah terbaru. Insulin basal umumnya dilanjutkan dalam dosis yang dikurangi, sementara insulin prandial mungkin dihentikan tergantung pada jadwal puasa preoperatif.

4. Penilaian Risiko Kardiovaskular

Diabetes meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, yang dapat memperburuk hasil operasi. Evaluasi kardiovaskular meliputi pemeriksaan tekanan darah, elektrokardiogram (EKG), dan, jika diperlukan, pemeriksaan tambahan seperti ekokardiografi atau uji stres jantung untuk mengidentifikasi penyakit jantung iskemik atau gagal jantung yang tidak terdeteksi sebelumnya. Pada pasien dengan risiko kardiovaskular tinggi, tindakan preventif tambahan dapat dipertimbangkan, termasuk penggunaan beta-blocker atau konsultasi dengan kardiolog.

5. Edukasi Pasien

Edukasi pasien tentang pentingnya kepatuhan terhadap pengendalian glukosa preoperatif dan strategi diet sebelum operasi sangatlah penting. Pasien perlu diberi instruksi mengenai kapan harus berhenti makan dan minum (NPO) sebelum operasi serta pengaturan dosis insulin atau obat lain selama periode puasa. Instruksi mengenai kemungkinan efek samping, tanda-tanda hipoglikemia atau hiperglikemia, dan tindakan yang harus dilakukan jika gejala tersebut muncul juga perlu disampaikan.

6. Rencana Tindak Lanjut

Setelah penilaian preanestesia lengkap, diperlukan perencanaan untuk pemantauan glukosa darah secara berkala sebelum operasi, terutama pada pasien dengan kontrol glikemik yang tidak stabil. Pemantauan kadar glukosa dapat dilakukan setiap 4-6 jam atau lebih sering jika kadar glukosa sulit dikontrol. Pasien dengan kadar glukosa yang tidak stabil mungkin perlu memulai infus insulin dengan Protokol Yale untuk stabilisasi cepat sebelum masuk ke ruang operasi.

Kunjungan preanestesia yang komprehensif dan terstruktur membantu anestesiolog dalam menyusun rencana perioperatif yang aman dan efektif. Evaluasi dan penyesuaian dini memungkinkan pengendalian glukosa yang lebih stabil selama operasi, mengurangi risiko komplikasi, dan meningkatkan outcome pasien dengan diabetes.

Etiologi dan Patofisiologi Diabetes

Diabetes mellitus adalah gangguan metabolik kronis yang ditandai dengan hiperglikemia, yang terjadi akibat kelainan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Kondisi ini dibagi menjadi dua tipe utama: diabetes tipe 1 dan tipe 2, yang masing-masing memiliki etiologi dan patofisiologi yang berbeda.

1. Etiologi Diabetes Tipe 1

Diabetes tipe 1 merupakan kondisi autoimun yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang dan menghancurkan sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Penyebab pasti dari reaksi autoimun ini belum sepenuhnya dipahami, tetapi diyakini melibatkan faktor genetik dan lingkungan.

Faktor genetik seperti varian pada gen HLA (Human Leukocyte Antigen) memainkan peran penting dalam kerentanan individu terhadap autoimunitas. Paparan lingkungan seperti infeksi virus tertentu (misalnya virus Coxsackie, rubella, atau enterovirus) juga dapat memicu respons autoimun pada individu yang rentan secara genetik. Akibatnya, terjadi defisiensi insulin absolut, sehingga tubuh tidak dapat mengatur kadar glukosa dengan baik.

2. Etiologi Diabetes Tipe 2

Diabetes tipe 2 merupakan hasil dari kombinasi resistensi insulin dan disfungsi sel beta. Penyebab utama diabetes tipe 2 adalah gaya hidup yang tidak sehat, seperti pola makan tinggi kalori, rendah aktivitas fisik, serta obesitas. Faktor genetik juga berperan dalam kerentanan individu terhadap resistensi insulin.

Obesitas, terutama obesitas visceral, sangat berhubungan dengan resistensi insulin. Akumulasi lemak pada jaringan visceral menyebabkan peningkatan produksi hormon dan sitokin proinflamasi, seperti TNF-α dan IL-6, yang berkontribusi terhadap resistensi insulin. Selain itu, peningkatan kadar asam lemak bebas dapat menghambat kerja insulin di jaringan perifer, terutama otot dan hati.

Di samping resistensi insulin, disfungsi sel beta pankreas juga berkontribusi pada perkembangan diabetes tipe 2. Dalam fase awal, pankreas berusaha mengimbangi resistensi insulin dengan meningkatkan produksi insulin. Namun, seiring waktu, sel beta mengalami kelelahan dan gagal mempertahankan produksi insulin yang cukup, menyebabkan hiperglikemia yang progresif.

3. Patofisiologi Diabetes

Hiperglikemia pada diabetes terjadi akibat kombinasi beberapa mekanisme yang saling berkaitan, baik pada diabetes tipe 1 maupun tipe 2. Patofisiologi utama diabetes meliputi gangguan pada regulasi glukosa oleh insulin, peningkatan glukoneogenesis, dan gangguan ambilan glukosa oleh jaringan perifer.

a. Gangguan Sekresi dan Fungsi Insulin

Pada diabetes tipe 1, tidak ada produksi insulin yang memadai karena sel beta dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh. Pada diabetes tipe 2, meskipun insulin masih diproduksi, terdapat resistensi insulin yang membuat efektivitas insulin menurun. Dalam keadaan ini, insulin tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan efektif, terutama di jaringan perifer seperti otot rangka dan lemak.

b. Peningkatan Glukoneogenesis Hati

Pada diabetes, hati cenderung memproduksi glukosa secara berlebihan melalui proses glukoneogenesis dan glikogenolisis. Pada kondisi normal, insulin menekan produksi glukosa oleh hati. Namun, pada pasien diabetes tipe 2 dengan resistensi insulin, hambatan insulin pada glukoneogenesis menjadi tidak efektif. Akibatnya, terjadi produksi glukosa yang berlebihan yang memperparah hiperglikemia, terutama selama puasa atau kondisi stres.

c. Gangguan Ambilan Glukosa oleh Jaringan Perifer

Ambilan glukosa oleh otot rangka dan jaringan adiposa sangat bergantung pada aksi insulin. Pada diabetes tipe 2, resistensi insulin menghambat kemampuan sel-sel ini untuk menyerap glukosa dari darah. Penurunan ambilan glukosa oleh otot, yang merupakan organ utama dalam metabolisme glukosa, berkontribusi signifikan terhadap hiperglikemia.

d. Lipolisis Berlebihan dan Ketogenesis

Pada diabetes tipe 1, kurangnya insulin menyebabkan lipolisis berlebihan di jaringan adiposa, yang menghasilkan asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini kemudian digunakan oleh hati untuk produksi badan keton melalui proses ketogenesis. Pada kondisi tanpa insulin yang adekuat, produksi keton menjadi tidak terkendali, yang dapat menyebabkan ketoasidosis diabetik, komplikasi akut yang berpotensi fatal.

4. Komplikasi Diabetes dan Dampaknya pada Tubuh

Hiperglikemia kronis pada pasien diabetes meningkatkan risiko komplikasi jangka panjang, baik komplikasi mikroangiopati maupun makroangiopati:

  • Komplikasi Mikroangiopati: Hiperglikemia yang persisten merusak kapiler di beberapa jaringan, menyebabkan komplikasi seperti nefropati diabetik (kerusakan ginjal), retinopati diabetik (kerusakan retina), dan neuropati diabetik (kerusakan saraf). Komplikasi ini diakibatkan oleh peningkatan jalur poliol dan akumulasi produk akhir glikasi (Advanced Glycation End Products atau AGEs) yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah kecil.
  • Komplikasi Makroangiopati: Hiperglikemia kronis juga mempercepat proses aterosklerosis pada arteri besar, sehingga meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, seperti penyakit jantung koroner dan stroke. Resistensi insulin dan dislipidemia pada diabetes tipe 2 juga berkontribusi terhadap proses aterosklerosis.

Memahami etiologi dan patofisiologi diabetes membantu dalam perencanaan pengelolaan perioperatif yang tepat pada pasien diabetes. Pengetahuan ini juga penting dalam menentukan metode pengendalian glukosa darah yang efektif untuk mencegah komplikasi akut dan kronis yang berhubungan dengan hiperglikemia.

Farmakologi Obat Anti-Diabetes

Obat anti-diabetes memainkan peran penting dalam mengendalikan kadar glukosa darah pada pasien diabetes. Berbagai kelas obat dengan mekanisme kerja yang berbeda tersedia untuk pengelolaan diabetes, dan pilihan obat tergantung pada tipe diabetes pasien, kebutuhan kontrol glikemik, dan kondisi klinis tertentu. Berikut adalah penjelasan mengenai beberapa kelompok utama obat anti-diabetes dan perannya dalam pengendalian glukosa perioperatif.

1. Insulin

Insulin adalah hormon yang berperan langsung dalam menurunkan kadar glukosa darah dan merupakan pilihan utama terapi pada pasien dengan diabetes tipe 1 dan pasien diabetes tipe 2 yang tidak dapat mencapai target glukosa dengan obat oral. Insulin tersedia dalam beberapa jenis berdasarkan waktu onset dan durasinya:

  • Insulin Kerja Cepat: Misalnya, insulin lispro, aspart, dan glulisin. Insulin ini mulai bekerja dalam waktu 5-15 menit dan puncaknya dalam 1-2 jam. Digunakan untuk mengontrol peningkatan glukosa darah yang cepat, terutama setelah makan.
  • Insulin Kerja Pendek: Insulin reguler, dengan onset sekitar 30 menit dan durasi kerja 5-8 jam, biasanya digunakan untuk koreksi glukosa darah dalam pengaturan rumah sakit atau saat kondisi darurat.
  • Insulin Kerja Menengah: Seperti NPH (Neutral Protamine Hagedorn), memiliki onset 1-2 jam dan durasi 12-18 jam. Biasanya diberikan dua kali sehari untuk memberikan kontrol glukosa basal.
  • Insulin Kerja Panjang: Contoh insulin glargine dan detemir. Insulin ini memiliki onset lambat dengan durasi kerja lebih dari 24 jam, sehingga cocok sebagai insulin basal yang diberikan satu kali sehari.
  • Insulin Ultra-Panjang: Insulin degludec adalah contoh insulin ultra-panjang yang bekerja lebih dari 36 jam, dengan profil farmakokinetik yang sangat stabil.

Dalam setting perioperatif, penggunaan insulin sering kali diatur secara ketat, dengan penyesuaian dosis berdasarkan kadar glukosa darah yang dimonitor secara berkala. Insulin kerja cepat atau pendek biasanya digunakan sebagai sliding scale untuk koreksi cepat, sementara insulin basal tetap diberikan dengan dosis yang disesuaikan.

2. Metformin

Metformin adalah obat pertama yang direkomendasikan untuk diabetes tipe 2, terutama pada pasien dengan obesitas. Metformin bekerja dengan menurunkan produksi glukosa di hati, meningkatkan sensitivitas insulin di jaringan perifer, dan mengurangi absorpsi glukosa di usus. Keunggulan metformin adalah rendahnya risiko hipoglikemia, karena tidak secara langsung meningkatkan sekresi insulin.

Namun, metformin dapat menyebabkan asidosis laktat pada kondisi tertentu, terutama pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Oleh karena itu, metformin biasanya dihentikan 24-48 jam sebelum operasi, terutama pada pasien dengan risiko penurunan perfusi ginjal atau dehidrasi selama prosedur bedah.

3. Sulfonilurea

Sulfonilurea adalah kelompok obat yang meningkatkan sekresi insulin dari pankreas. Contoh sulfonilurea meliputi glibenclamide, glimepiride, dan gliclazide. Obat ini efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah, tetapi memiliki risiko tinggi menyebabkan hipoglikemia, terutama pada pasien lanjut usia atau pasien dengan fungsi ginjal yang terganggu.

Dalam pengaturan perioperatif, sulfonilurea umumnya dihentikan untuk mengurangi risiko hipoglikemia selama puasa praoperatif. Jika kontrol glikemik diperlukan, insulin sering kali dipilih sebagai alternatif.

4. Inhibitor DPP-4 (Dipeptidyl Peptidase-4)

Inhibitor DPP-4, seperti sitagliptin, saxagliptin, dan linagliptin, bekerja dengan menghambat enzim DPP-4, yang memperpanjang aktivitas hormon inkretin seperti GLP-1. Inkretin meningkatkan sekresi insulin dan menurunkan sekresi glukagon, yang membantu menurunkan kadar glukosa darah pasca makan.

Obat ini umumnya memiliki risiko hipoglikemia yang rendah, terutama jika digunakan sebagai monoterapi. Dalam setting perioperatif, inhibitor DPP-4 biasanya dapat dilanjutkan pada pasien yang tidak mengalami kondisi klinis yang berat, tetapi perlu dipantau jika pasien memerlukan kontrol glikemik yang lebih ketat.

5. Agonis GLP-1 (Glucagon-Like Peptide-1)

Agonis GLP-1, seperti liraglutide, exenatide, dan dulaglutide, adalah obat injeksi yang meniru aksi GLP-1, hormon inkretin yang menstimulasi sekresi insulin, menghambat sekresi glukagon, dan memperlambat pengosongan lambung. Obat ini juga membantu menurunkan berat badan pada pasien diabetes tipe 2, sehingga cocok untuk pasien dengan obesitas.

Efek samping umum dari agonis GLP-1 termasuk mual dan muntah. Dalam setting perioperatif, penggunaan agonis GLP-1 perlu dihentikan sementara jika pasien berpuasa atau mengalami gangguan gastrointestinal, karena risiko gangguan motilitas lambung.

6. Inhibitor SGLT-2 (Sodium-Glucose Cotransporter-2)

Inhibitor SGLT-2, seperti empagliflozin, canagliflozin, dan dapagliflozin, bekerja dengan menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus ginjal, sehingga meningkatkan ekskresi glukosa dalam urin. Obat ini juga memiliki manfaat tambahan untuk kesehatan kardiovaskular dan ginjal pada pasien diabetes tipe 2.

Namun, inhibitor SGLT-2 dapat meningkatkan risiko dehidrasi, infeksi saluran kemih, dan ketoasidosis diabetik euglikemik, terutama dalam kondisi perioperatif. Oleh karena itu, obat ini umumnya dihentikan beberapa hari sebelum operasi untuk mencegah komplikasi tersebut.

7. Tiazolidinedion (TZD)

Tiazolidinedion, seperti pioglitazone dan rosiglitazone, bekerja dengan meningkatkan sensitivitas insulin di jaringan perifer, terutama di otot dan jaringan adiposa, melalui aktivasi reseptor PPAR-γ. Obat ini tidak menyebabkan hipoglikemia dan dapat menurunkan resistensi insulin, tetapi memiliki efek samping berupa peningkatan retensi cairan, yang dapat memperburuk gagal jantung.

Dalam setting perioperatif, penggunaan TZD perlu dievaluasi terutama pada pasien dengan risiko gagal jantung atau retensi cairan. Penghentian sementara obat ini mungkin diperlukan pada pasien yang menjalani prosedur besar dengan risiko dehidrasi atau disfungsi kardiovaskular.

Penggunaan obat anti-diabetes dalam setting perioperatif perlu direncanakan dengan hati-hati berdasarkan kondisi klinis pasien, status glikemik, dan risiko yang berkaitan dengan obat-obat tersebut. Insulin sering menjadi pilihan utama dalam pengendalian glikemik perioperatif karena fleksibilitas dan efektivitasnya dalam pengaturan rumah sakit. Obat-obat oral lainnya sering kali dihentikan sementara, terutama jika berisiko menyebabkan hipoglikemia atau komplikasi lainnya selama periode puasa praoperatif.

Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat Anti-Diabetes

Pemahaman tentang farmakokinetik dan farmakodinamik obat anti-diabetes sangat penting dalam pengelolaan perioperatif pasien diabetes. Setiap kelompok obat memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal absorpsi, distribusi, metabolisme, eliminasi, dan mekanisme kerjanya, yang mempengaruhi efektivitas serta keamanan penggunaan dalam setting perioperatif. Berikut adalah gambaran farmakokinetik dan farmakodinamik dari berbagai kelompok obat anti-diabetes utama.

1. Insulin

Farmakokinetik: Insulin tersedia dalam beberapa jenis dengan profil farmakokinetik yang bervariasi, mulai dari insulin kerja cepat hingga insulin ultra-panjang. Insulin kerja cepat (lispro, aspart, glulisin) memiliki onset 5-15 menit dengan durasi kerja 3-5 jam, yang ideal untuk pengaturan kadar glukosa perioperatif yang membutuhkan koreksi cepat. Insulin kerja panjang, seperti glargine dan detemir, memiliki onset lambat dan durasi kerja 24 jam atau lebih, yang memberikan kontrol glukosa basal yang stabil.

Farmakodinamik: Insulin bekerja dengan meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer (otot dan adiposa) serta menekan produksi glukosa di hati. Efektivitasnya bergantung pada sensitivitas insulin pasien, sehingga pasien dengan resistensi insulin mungkin memerlukan dosis lebih tinggi untuk mencapai efek yang diinginkan. Insulin menjadi pilihan utama dalam perioperatif karena fleksibilitas dosis dan kemampuan koreksi glikemik yang cepat.

2. Metformin

Farmakokinetik: Metformin diabsorpsi di usus dan mencapai konsentrasi puncak dalam waktu 2-3 jam setelah pemberian oral. Metformin tidak dimetabolisme oleh hati, tetapi diekskresikan secara langsung melalui ginjal. Waktu paruh eliminasi metformin adalah sekitar 6 jam, namun efeknya pada pengendalian glukosa berlangsung lebih lama karena akumulasi di jaringan.

Farmakodinamik: Metformin mengurangi produksi glukosa oleh hati dan meningkatkan sensitivitas insulin di jaringan perifer. Efek ini dicapai tanpa stimulasi sekresi insulin, sehingga risiko hipoglikemia relatif rendah. Namun, metformin dapat meningkatkan risiko asidosis laktat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, sehingga biasanya dihentikan sebelum operasi.

3. Sulfonilurea

Farmakokinetik: Sulfonilurea, seperti glimepiride, gliclazide, dan glibenclamide, memiliki onset sekitar 1-2 jam dan durasi kerja yang bervariasi tergantung pada jenisnya (6-24 jam). Obat ini dimetabolisme oleh hati dan diekskresikan melalui ginjal, sehingga dosis perlu disesuaikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.

Farmakodinamik: Sulfonilurea meningkatkan sekresi insulin dari pankreas dengan cara menstimulasi sel beta. Hal ini meningkatkan risiko hipoglikemia, terutama pada pasien yang berpuasa atau memiliki asupan kalori yang rendah selama periode perioperatif. Oleh karena itu, sulfonilurea biasanya dihentikan sebelum operasi.

4. Inhibitor DPP-4 (Dipeptidyl Peptidase-4)

Farmakokinetik: Inhibitor DPP-4, seperti sitagliptin dan linagliptin, memiliki onset yang relatif cepat (1-2 jam) dan durasi kerja panjang, sehingga cukup efektif dalam kontrol glikemik harian. Beberapa jenis, seperti linagliptin, diekskresikan melalui empedu, sehingga lebih aman pada pasien dengan gangguan ginjal.

Farmakodinamik: Inhibitor DPP-4 memperpanjang aktivitas hormon inkretin, seperti GLP-1, yang meningkatkan sekresi insulin dan menurunkan sekresi glukagon. Efek ini membantu menurunkan kadar glukosa darah postprandial dengan risiko hipoglikemia yang rendah, terutama jika digunakan sebagai monoterapi. Dalam setting perioperatif, obat ini sering kali dapat dilanjutkan jika kondisi pasien stabil.

5. Agonis GLP-1 (Glucagon-Like Peptide-1)

Farmakokinetik: Agonis GLP-1, seperti liraglutide dan dulaglutide, diberikan melalui injeksi subkutan dengan onset sekitar 1-3 jam dan durasi kerja panjang, terutama pada formula yang diberikan sekali sehari atau sekali seminggu. Obat ini dimetabolisme oleh enzim proteolitik di dalam tubuh.

Farmakodinamik: Agonis GLP-1 menstimulasi sekresi insulin, menurunkan sekresi glukagon, dan memperlambat pengosongan lambung. Efek ini membantu menurunkan kadar glukosa darah postprandial serta mendukung penurunan berat badan. Namun, efek samping seperti mual dan muntah perlu dipertimbangkan dalam setting perioperatif, terutama pada pasien yang berpuasa.

6. Inhibitor SGLT-2 (Sodium-Glucose Cotransporter-2)

Farmakokinetik: Inhibitor SGLT-2, seperti empagliflozin dan dapagliflozin, memiliki onset dalam beberapa jam setelah pemberian dan bekerja selama 24 jam. Obat ini dimetabolisme sebagian di hati dan diekskresikan melalui urin, sehingga penggunaannya perlu hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal.

Farmakodinamik: Inhibitor SGLT-2 meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin dengan menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus ginjal. Obat ini juga memiliki efek perlindungan kardiovaskular dan ginjal. Namun, dalam setting perioperatif, inhibitor SGLT-2 sering dihentikan untuk mengurangi risiko dehidrasi dan ketoasidosis euglikemik.

7. Tiazolidinedion (TZD)

Farmakokinetik: Tiazolidinedion, seperti pioglitazone, memiliki onset lambat dan durasi kerja panjang, sehingga biasanya memerlukan waktu beberapa minggu untuk mencapai efek maksimal. Obat ini dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui urin dan feses.

Farmakodinamik: TZD bekerja dengan meningkatkan sensitivitas insulin di jaringan perifer melalui aktivasi reseptor PPAR-γ, yang mengatur gen terkait metabolisme glukosa dan lipid. Efeknya menurunkan resistensi insulin tanpa meningkatkan risiko hipoglikemia. Namun, TZD dapat menyebabkan retensi cairan dan memperburuk gagal jantung, sehingga perlu dipertimbangkan dengan hati-hati dalam pengaturan perioperatif.

Penyesuaian dosis dan pemantauan ketat diperlukan untuk penggunaan obat anti-diabetes dalam setting perioperatif, terutama untuk menghindari hipoglikemia atau komplikasi terkait lainnya. Insulin sering kali menjadi pilihan utama untuk kontrol glikemik perioperatif karena fleksibilitas dan keamanan dalam pengaturan rumah sakit, sedangkan obat oral tertentu mungkin perlu dihentikan sementara sebelum operasi.

Posologi dan Efek Obat Anti-Diabetes dalam Setting Perioperatif

Pada periode perioperatif, pengaturan dosis (posologi) serta keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan obat anti-diabetes sangat penting untuk menjaga stabilitas kadar glukosa dan mencegah komplikasi. Setiap jenis obat memiliki efek spesifik dan mekanisme kerja yang perlu dipertimbangkan ketika pasien berpuasa atau menjalani operasi. Berikut adalah panduan posologi dan efek dari melanjutkan atau menghentikan setiap kelompok obat anti-diabetes, disertai penjelasan mendalam mengenai alasan dan mekanisme di balik risiko-risiko tersebut.

1. Insulin

Insulin adalah terapi dasar untuk mengontrol glikemik pada pasien diabetes, terutama pada periode perioperatif di mana kebutuhan kontrol glukosa meningkat.

  • Insulin Basal (Glargine, Detemir, Degludec): Biasanya tetap diberikan, namun dosisnya dikurangi menjadi sekitar 50-75% dari dosis harian untuk menghindari hipoglikemia pada pasien yang berpuasa.
  • Insulin Prandial (Lispro, Aspart, Glulisin): Biasanya dihentikan pada hari operasi karena risiko hipoglikemia saat pasien tidak makan. Insulin ini dapat dimulai kembali setelah pasien makan.
  • Insulin Intravena: Digunakan pada pasien dengan operasi besar atau yang membutuhkan kontrol glikemik intensif. Infus insulin intravena memungkinkan penyesuaian cepat berdasarkan kadar glukosa darah yang dipantau setiap 1-2 jam.

Alasan: Penghentian total insulin basal pada pasien diabetes tipe 1 dapat memicu lipolisis berlebihan karena tidak adanya insulin, hormon yang biasanya menghambat pemecahan lemak. Lipolisis yang intensif menghasilkan badan keton dalam jumlah besar sebagai produk samping, yang dapat menyebabkan ketoasidosis diabetik (kondisi yang mengancam jiwa).

2. Metformin

Metformin adalah terapi lini pertama untuk diabetes tipe 2 karena efektivitasnya dalam mengontrol kadar glukosa darah tanpa risiko hipoglikemia. Metformin bekerja dengan menghambat produksi glukosa di hati dan meningkatkan sensitivitas insulin di jaringan perifer. Namun, biasanya metformin dihentikan 24-48 jam sebelum operasi karena adanya risiko asidosis laktat.

  • Prabedah: Metformin dihentikan 24-48 jam sebelum operasi, terutama pada pasien dengan risiko penurunan fungsi ginjal atau perfusi ginjal.
  • Pascabedah: Dapat dilanjutkan setelah fungsi ginjal stabil dan pasien sudah bisa makan secara normal.

Alasan: Metformin meningkatkan sensitivitas insulin di jaringan perifer melalui beberapa mekanisme. Pertama, metformin mengaktifkan AMP-Activated Protein Kinase (AMPK), enzim penting yang berperan dalam keseimbangan energi seluler. Aktivasi AMPK meningkatkan ambilan glukosa di otot dan mengurangi produksi glukosa di hati, sehingga kadar glukosa darah lebih mudah dikendalikan. Selain itu, metformin mengurangi kadar lipid dalam sel otot, terutama di mitokondria, yang secara langsung menurunkan resistensi insulin karena kadar lemak yang tinggi di dalam sel seringkali berhubungan dengan resistensi insulin.

Metformin juga meningkatkan penyerapan laktat oleh hati dan menghambat glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari bahan non-karbohidrat). Dalam kondisi penurunan perfusi ginjal, seperti selama anestesi atau prosedur bedah, eliminasi laktat melalui ginjal menjadi berkurang, yang dapat menyebabkan akumulasi laktat dalam tubuh. Akumulasi ini meningkatkan risiko asidosis laktat, komplikasi serius yang bisa berakibat fatal. Oleh karena itu, penghentian sementara metformin sebelum operasi penting untuk mencegah risiko ini.

3. Sulfonilurea (Glibenclamide, Glimepiride, Gliclazide)

Sulfonilurea bekerja dengan cara menstimulasi sel beta pankreas untuk meningkatkan sekresi insulin, yang membantu menurunkan kadar glukosa darah. Namun, obat ini sering dihentikan pada hari operasi karena risiko hipoglikemia, terutama pada pasien yang tidak makan.

  • Prabedah: Sulfonilurea biasanya dihentikan satu hari sebelum operasi untuk mengurangi risiko hipoglikemia.
  • Pascabedah: Dapat dilanjutkan setelah pasien mulai makan secara normal.

Alasan: Sulfonilurea meningkatkan sekresi insulin secara konstan melalui ikatan dengan reseptor sulfonilurea pada saluran kalium ATP-sensitif di sel beta pankreas. Akibatnya, kanal kalium menutup, menyebabkan depolarisasi sel dan membuka kanal kalsium, yang akhirnya meningkatkan pelepasan insulin. Namun, sekresi insulin terus terjadi bahkan saat kadar glukosa darah rendah, yang meningkatkan risiko hipoglikemia pada pasien yang berpuasa.

4. Inhibitor DPP-4 (Sitagliptin, Linagliptin, Saxagliptin)

Inhibitor DPP-4 bekerja dengan menghambat enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), yang memperpanjang aktivitas hormon inkretin (seperti GLP-1). Inkretin merangsang sekresi insulin ketika kadar glukosa tinggi dan mengurangi sekresi glukagon, sehingga obat ini efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah dengan risiko rendah hipoglikemia.

  • Prabedah: Dapat dilanjutkan pada operasi dengan risiko rendah, tetapi pada operasi besar, penghentian mungkin disarankan untuk lebih mudah mengontrol kadar glukosa.
  • Pascabedah: Dapat dilanjutkan setelah operasi bila kondisi pasien stabil.

Alasan: Inhibitor DPP-4 memperpanjang aktivitas GLP-1, yang menstimulasi sekresi insulin hanya saat kadar glukosa meningkat, sehingga risiko hipoglikemia rendah. Namun, pada operasi besar, kontrol ketat dengan insulin mungkin lebih disarankan.

5. Agonis GLP-1 (Liraglutide, Dulaglutide)

Agonis GLP-1 meniru aksi hormon GLP-1, yang memperlambat pengosongan lambung, meningkatkan sekresi insulin tergantung glukosa, dan menurunkan sekresi glukagon. Efek ini membantu menurunkan kadar glukosa dan mengurangi berat badan, tetapi dapat menyebabkan efek samping gastrointestinal.

  • Prabedah: Hentikan satu hari sebelum operasi untuk obat harian, dan dua hari sebelum untuk obat mingguan.
  • Pascabedah: Dapat dilanjutkan setelah pasien bisa makan tanpa masalah gastrointestinal.

Alasan: Agonis GLP-1 memperlambat pengosongan lambung melalui interaksi dengan reseptor GLP-1 di saluran cerna. Hal ini menunda proses pencernaan, yang meningkatkan risiko mual atau muntah, terutama jika pasien berpuasa. Risiko ini dapat memperlambat pemulihan pascaoperasi dan menambah ketidaknyamanan pasien.

6. Inhibitor SGLT-2 (Empagliflozin, Canagliflozin, Dapagliflozin)

Inhibitor SGLT-2 bekerja dengan menghambat protein SGLT-2 di tubulus proksimal ginjal, yang mengurangi reabsorpsi glukosa dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin. Obat ini juga meningkatkan diuresis osmotik, yang dapat menyebabkan dehidrasi dan ketoasidosis euglikemik, terutama saat pasien berpuasa.

  • Prabedah: Hentikan 3-4 hari sebelum operasi besar untuk menghindari dehidrasi dan ketoasidosis.
  • Pascabedah: Dapat dilanjutkan kembali setelah fungsi ginjal stabil dan pasien tidak mengalami dehidrasi.

Alasan: Inhibitor SGLT-2 menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus proksimal, menyebabkan peningkatan ekskresi glukosa melalui urin. Peningkatan ekskresi glukosa ini meningkatkan risiko dehidrasi, terutama saat pasien berpuasa atau asupan cairan terbatas. Pada kondisi ini, tubuh juga dapat menggunakan lemak untuk energi, yang dapat menyebabkan ketoasidosis euglikemik – kondisi ketonemia dengan kadar glukosa yang tidak terlalu tinggi.

7. Tiazolidinedion (TZD) (Pioglitazone)

Tiazolidinedion meningkatkan sensitivitas insulin melalui aktivasi reseptor PPAR-γ di jaringan adiposa, otot, dan hati, yang mengatur gen untuk metabolisme lipid dan glukosa. Meskipun meningkatkan sensitivitas insulin, TZD meningkatkan retensi cairan, yang dapat memperburuk gagal jantung pada beberapa pasien.

  • Prabedah: Hentikan satu hari sebelum operasi untuk menghindari risiko retensi cairan berlebih.
  • Pascabedah: Dilanjutkan kembali setelah kondisi jantung stabil dan tidak ada tanda-tanda retensi cairan.

Alasan: Tiazolidinedion (TZD) bekerja dengan meningkatkan sensitivitas insulin melalui aktivasi reseptor PPAR-γ (Peroxisome Proliferator-Activated Receptor Gamma) di jaringan adiposa, otot, dan hati. Aktivasi PPAR-γ mengatur gen-gen yang terkait dengan metabolisme lipid dan glukosa, sehingga meningkatkan pengambilan glukosa di jaringan perifer. Namun, aktivasi PPAR-γ juga meningkatkan retensi natrium dan cairan melalui ginjal, yang dapat menyebabkan edema dan memperburuk gagal jantung, terutama selama prosedur bedah dengan infus cairan. Penghentian TZD sebelum operasi membantu mencegah risiko kelebihan cairan yang dapat memperburuk kondisi jantung pasien.

Tabel Ringkasan Posologi dan Efek Obat Anti-Diabetes dalam Setting Perioperatif

Obat Penggunaan Praoperatif Penggunaan Pascaoperatif Alasan Penghentian / Mekanisme Risiko
Insulin Basal (Glargine, Detemir, Degludec) Dilanjutkan, dosis dikurangi 50-75% Dilanjutkan sesuai kebutuhan glikemik Penghentian total dapat menyebabkan ketoasidosis diabetik karena lipolisis berlebihan menghasilkan badan keton
Insulin Prandial (Lispro, Aspart, Glulisin) Dihentikan pada hari operasi Dilanjutkan setelah pasien makan Mencegah hipoglikemia pada pasien berpuasa
Metformin Dihentikan 24-48 jam sebelum operasi Dilanjutkan setelah fungsi ginjal stabil dan pasien makan Meningkatkan risiko asidosis laktat karena meningkatkan ambilan laktat di hati dan menghambat glukoneogenesis; eliminasi laktat berkurang dalam kondisi perfusi ginjal rendah
Sulfonilurea (Glibenclamide, Glimepiride, Gliclazide) Dihentikan satu hari sebelum operasi Dilanjutkan setelah pasien mulai makan Risiko hipoglikemia tinggi karena stimulasi konstan sekresi insulin melalui saluran kalium ATP-sensitif di sel beta pankreas
Inhibitor DPP-4 (Sitagliptin, Linagliptin) Dapat dilanjutkan pada operasi berisiko rendah; dipertimbangkan penghentian pada operasi besar Dapat dilanjutkan setelah kondisi stabil Risiko hipoglikemia rendah karena sekresi insulin dipicu hanya saat kadar glukosa tinggi
Agonis GLP-1 (Liraglutide, Dulaglutide) Dihentikan satu hari sebelum operasi untuk obat harian, dua hari sebelum untuk obat mingguan Dilanjutkan setelah pasien makan tanpa masalah gastrointestinal Memperlambat pengosongan lambung melalui reseptor GLP-1, meningkatkan risiko mual atau muntah
Inhibitor SGLT-2 (Empagliflozin, Canagliflozin, Dapagliflozin) Dihentikan 3-4 hari sebelum operasi besar Dilanjutkan setelah fungsi ginjal stabil dan tidak ada dehidrasi Meningkatkan risiko dehidrasi dan ketoasidosis euglikemik karena ekskresi glukosa melalui urin meningkat
Tiazolidinedion (TZD) (Pioglitazone) Dihentikan satu hari sebelum operasi Dilanjutkan setelah stabilisasi klinis, terutama pada pasien dengan riwayat jantung Risiko retensi cairan tinggi karena aktivasi PPAR-γ menyebabkan retensi natrium, yang memperburuk gagal jantung pada beberapa pasien

Menyesuaikan posologi dan memahami efek dari setiap obat anti-diabetes dalam setting perioperatif sangat penting untuk mencegah komplikasi yang mungkin timbul selama operasi. Insulin seringkali disesuaikan atau diberikan melalui infus intravena untuk menjaga kestabilan glukosa dengan fleksibilitas yang lebih tinggi, sementara sebagian besar obat oral dihentikan untuk mengurangi risiko komplikasi terkait, seperti hipoglikemia, asidosis laktat, dan retensi cairan. Dengan pengaturan yang tepat, risiko komplikasi dapat diminimalkan dan kontrol glikemik yang optimal dapat dicapai untuk hasil pascaoperatif yang lebih baik.

Keputusan Menunda Operasi Elektif

Dalam beberapa kondisi, operasi elektif pada pasien diabetes mungkin perlu ditunda untuk memastikan kondisi pasien dalam keadaan optimal. Salah satu alasan utama adalah jika kontrol glukosa darah tidak memadai, ditandai dengan kadar HbA1c yang tinggi atau hiperglikemia yang tidak terkendali. Kadar HbA1c di atas 8% biasanya menunjukkan kontrol glikemik yang buruk, dan operasi mungkin harus ditunda hingga kadar ini dapat diturunkan.

Kondisi lain yang dapat menjadi pertimbangan untuk menunda operasi adalah adanya komplikasi diabetes aktif, seperti infeksi atau ketoasidosis diabetik. Selain itu, kondisi kardiovaskular yang tidak stabil, nefropati, atau neuropati berat juga memerlukan stabilisasi terlebih dahulu sebelum menjalani operasi. Menunda operasi elektif hingga kondisi terkendali dapat membantu mengurangi risiko komplikasi perioperatif dan meningkatkan hasil klinis pasien.

Rencana Pengendalian Glukosa Sebelum Operasi

Stabilisasi kadar glukosa sebelum operasi merupakan langkah penting untuk mengurangi risiko komplikasi perioperatif, terutama pada pasien diabetes. Langkah-langkah stabilisasi meliputi penyesuaian dosis insulin atau obat anti-diabetes lainnya serta pemantauan glukosa darah secara intensif. Pada pasien yang menggunakan insulin, regimen dosis jangka pendek mungkin perlu disesuaikan agar kadar glukosa tetap terkendali dalam batas aman.

Salah satu metode kontrol glikemik cepat yang sering digunakan adalah insulin sliding scale. Pada pendekatan ini, dosis insulin kerja cepat disesuaikan berdasarkan hasil pemantauan kadar glukosa darah secara berkala. Dosis insulin meningkat bila kadar glukosa darah lebih tinggi dari target, dan dikurangi bila kadar glukosa mendekati normal. Short-acting insulin sering digunakan karena sifatnya yang cepat bekerja dan fleksibel untuk mengoreksi kadar glukosa.

Protokol Yale adalah salah satu protokol infus insulin yang telah dirancang khusus untuk menangani hiperglikemia pada pasien kritis, termasuk yang membutuhkan kontrol glikemik cepat sebelum operasi. Protokol ini menggunakan pendekatan dinamis, di mana laju infus insulin ditentukan berdasarkan kadar glukosa darah terkini, perubahan kadar glukosa sebelumnya, dan laju infus insulin yang sedang berlangsung. Dengan metode ini, penyesuaian dosis insulin lebih akurat, memungkinkan respons cepat terhadap perubahan kadar glukosa dan meminimalkan risiko hipoglikemia.

Dalam penerapan praktis, target kadar glukosa sebelum operasi biasanya berkisar antara 80–180 mg/dL. Dengan menggunakan insulin sliding scale atau Protokol Yale, target ini dapat dicapai secara lebih aman dan efektif, terutama pada pasien yang cenderung mengalami fluktuasi kadar glukosa. Pemantauan kadar glukosa setiap 4–6 jam sangat dianjurkan pada pasien diabetes tipe 1 atau pasien yang menjalani pengobatan intensif dengan insulin.

Tatalaksana Diabetes dalam Setting Operasi Darurat

Pada operasi darurat, tantangan dalam mengontrol kadar glukosa lebih tinggi karena kurangnya waktu untuk persiapan preoperatif. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan cepat dan responsif untuk mencegah komplikasi akibat hiperglikemia yang tidak terkendali. Insulin sliding scale dan Protokol Yale dapat digunakan dalam situasi ini untuk memberikan kontrol glikemik yang tepat dan responsif.

Dalam pendekatan insulin sliding scale, insulin intravena diberikan berdasarkan kadar glukosa darah yang diukur secara berkala. Protokol Yale, sebagai alternatif, menawarkan penyesuaian infus insulin yang lebih detail. Pada Protokol Yale, kadar glukosa darah dipantau setiap 1–2 jam, dan dosis insulin disesuaikan sesuai perubahan kadar glukosa darah dan laju infus yang telah digunakan sebelumnya. Protokol ini memberikan kecepatan respons yang lebih tinggi dibandingkan sliding scale standar, yang sangat bermanfaat dalam setting darurat untuk menjaga kadar glukosa dalam rentang aman.

Jika kadar glukosa darah tetap >400 mg/dL meskipun telah dilakukan koreksi dengan insulin sliding scale atau Protokol Yale, protokol dosis infus insulin dapat diintensifkan, ditambah dengan rehidrasi dan koreksi ketidakseimbangan elektrolit untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Pendekatan ini bertujuan untuk mengurangi risiko komplikasi perioperatif yang terkait dengan kadar glukosa yang tidak stabil dan mengoptimalkan hasil klinis bagi pasien diabetes.

Tabel Infus Insulin Berdasarkan Protokol Yale

Berikut adalah panduan penyesuaian laju infus insulin pada pasien dengan diabetes mellitus dalam pengaturan perioperatif atau ICU. Protokol Yale menggunakan sliding scale dengan perubahan laju infus insulin yang disesuaikan berdasarkan kadar glukosa darah (BG) terkini dan perubahan laju glukosa dalam waktu tertentu.

Kadar Glukosa Darah (BG) (mg/dL) 75-99 100-139 140-199 ≥ 200
BG meningkat > 50 mg/dL/jam Infus + "2Δ" Infus + "Δ" Infus + "Δ" Infus + "2Δ"
BG meningkat 1-50 mg/dL/jam atau tidak berubah Infus + "Δ" Tidak ada perubahan infus Infus + "Δ" Infus + "Δ"
BG turun 1-25 mg/dL/jam Infus - "Δ" Infus - "Δ" Tidak ada perubahan infus Infus - "Δ"
BG turun > 25 mg/dL/jam Infus - "2Δ" Infus - "Δ" Infus - "Δ" Infus - "Δ"

Petunjuk Laju Perubahan Infus Insulin (Δ)

Penyesuaian laju infus insulin (dalam unit/jam) berdasarkan Protokol Yale ditentukan oleh nilai "Δ" atau "2Δ". Tabel berikut menunjukkan nilai perubahan laju infus sesuai laju infus awal:

Laju Infus Saat Ini (Unit/jam) Δ (Unit/jam) 2Δ (Unit/jam)
0,5 - 1,0 0,5 1
1,1 - 2,0 1 2
2,1 - 3,0 1,5 3
3,1 - 4,0 2 4
4,1 - 5,0 2,5 5
5,1 - 6,0 3 6
6,1 - 7,0 3,5 7
7,1 - 8,0 4 8
≥ 25 5 10

Instruksi Tambahan dari Protokol Yale

Jika BG < 50 mg/dL: Hentikan infus insulin. Berikan 25 g D50 IV, lalu cek ulang BG dalam 15 menit. Jika BG ≥ 100 mg/dL, tunggu satu jam sebelum melanjutkan infus insulin pada 50% dari laju terakhir.

Jika BG 50-74 mg/dL: Jika pasien menunjukkan gejala hipoglikemia, berikan 25 g D50 IV, lalu cek ulang BG dalam 15 menit. Jika tanpa gejala, berikan 12,5 g D50 IV atau jus; cek ulang dalam 15-30 menit. Bila BG ≥ 100 mg/dL, tunggu satu jam sebelum melanjutkan infus insulin pada 75% dari laju terakhir.

Protokol Yale ini bertujuan untuk mengoptimalkan kontrol glikemik pada pasien diabetes dalam kondisi kritis atau perioperatif dengan meminimalkan risiko hipoglikemia dan menjaga stabilitas kadar glukosa darah. Pendekatan ini memungkinkan penyesuaian dosis insulin yang tepat berdasarkan kondisi real-time pasien.

Rencana Pascaoperatif untuk Kontrol Glukosa

Pengendalian glukosa pascaoperatif sangat penting untuk mencegah komplikasi infeksi dan gangguan penyembuhan luka, yang lebih umum terjadi pada pasien dengan diabetes. Pemantauan kadar glukosa darah dilakukan secara berkala, dan dosis obat anti-diabetes harus disesuaikan berdasarkan kebutuhan pasien pascabedah.

Dalam perawatan intensif pascaoperatif, Protokol Yale dapat dilanjutkan untuk menjaga kadar glukosa dalam rentang yang optimal. Laju infus insulin dapat disesuaikan sesuai perubahan kadar glukosa darah, yang dimonitor setiap 2-4 jam pada tahap awal pascaoperatif. Jika kadar glukosa stabil dan pasien mulai mengonsumsi makanan per oral, dosis insulin basal atau agen oral dapat secara bertahap diintroduksi kembali, tergantung pada respons glukosa pasien.

Pemantauan yang ketat dan penyesuaian dosis ini bertujuan untuk mencegah komplikasi pascaoperatif yang berhubungan dengan diabetes, seperti infeksi luka operasi, penurunan penyembuhan luka, dan komplikasi kardiovaskular. Dengan Protokol Yale yang menyediakan panduan dosis dinamis, kontrol glikemik yang lebih optimal dapat dicapai, yang secara signifikan dapat meningkatkan outcome pascaoperatif pada pasien dengan diabetes.

Kesimpulan

Tatalaksana perioperatif pada pasien dengan diabetes mellitus memerlukan pendekatan yang cermat dan penyesuaian individual untuk menjaga stabilitas glikemik dan mencegah komplikasi. Berbagai kelompok obat anti-diabetes memiliki mekanisme dan risiko yang berbeda selama periode operasi, sehingga keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan obat harus disesuaikan dengan sifat farmakologis obat dan kondisi klinis pasien.

Insulin sering kali menjadi pilihan utama untuk mengendalikan kadar glukosa karena fleksibilitasnya, sementara sebagian besar obat oral, seperti metformin, sulfonilurea, dan inhibitor SGLT-2, memerlukan penghentian sementara untuk menghindari komplikasi seperti hipoglikemia dan asidosis laktat. Penyesuaian dosis dan pemantauan ketat selama fase praoperatif dan pascaoperatif sangat penting untuk mencegah ketidakseimbangan glukosa yang dapat memicu risiko hiperglikemia atau hipoglikemia, yang keduanya berpotensi berbahaya dalam setting bedah.


Daftar Pustaka
  1. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes—2023. Diabetes Care. 2023;46(Suppl 1):S1-S143.
  2. Umpierrez GE, Pasquel FJ. Management of inpatient hyperglycemia and diabetes in older adults. Diabetes Care. 2017;40(4):509-517.
  3. Dagogo-Jack S. Primary prevention of type 2 diabetes in developing countries. J Clin Endocrinol Metab. 2007;92(3):855-860.
  4. Diabetes Care. Perioperative management of diabetes. Diabetes Care. 2018;41:2170-2175.
  5. Nazir MS, McKinlay JY. Perioperative management of the diabetic patient. Br J Hosp Med. 2021;82(6):1-6.
  6. Yale New Haven Health. Yale Insulin Infusion Protocol for Intensive Care Units. Available at: https://www.ynhh.org. Accessed November 2024.
  7. McDonnell ME, Umpierrez GE. Insulin therapy for the management of hyperglycemia in hospitalized patients. Endocrinol Metab Clin North Am. 2012;41(1):175-201.
  8. Mechanick JI, et al. Clinical practice guidelines for perioperative nutritional, metabolic, and nonsurgical support of the bariatric surgery patient. Endocr Pract. 2019;25(12):1346-1359.
  9. Moghissi ES, et al. American Association of Clinical Endocrinologists and American Diabetes Association consensus statement on inpatient glycemic control. Diabetes Care. 2009;32(6):1119-1131.
  10. Furnary AP, et al. Continuous insulin infusion reduces mortality in patients with diabetes undergoing coronary artery bypass grafting. J Thorac Cardiovasc Surg. 2003;125(5):1007-1021.

Ramadhan MF. Tatalaksana Perioperatif pada Komorbid Diabetes Mellitus. Anesthesiol ICU. 2024;11:a12

Artikel terkait: