Manajemen anestesi pada pasien dengan gangguan pembekuan darah memerlukan pendekatan yang hati-hati dan berbasis bukti. Gangguan ini tidak hanya meningkatkan risiko perdarahan selama prosedur bedah, tetapi juga memperumit pemulihan pascabedah. Artikel ini menyajikan panduan komprehensif yang mencakup fisiologi koagulasi, penilaian risiko prabedah, strategi intraoperatif, dan pengelolaan komplikasi pascabedah. Pendekatan multidisiplin dan individualisasi perawatan menjadi kunci untuk memastikan keselamatan dan hasil optimal bagi pasien.
Pendahuluan
Gangguan pembekuan darah, baik yang bersifat bawaan seperti hemofilia maupun yang didapat seperti koagulopati akibat penyakit hati, merupakan tantangan besar dalam praktik anestesiologi. Kondisi ini dapat meningkatkan risiko perdarahan selama prosedur bedah dan memperumit pemulihan pascabedah. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang patofisiologi gangguan koagulasi, pengelolaan perioperatif, dan strategi pencegahan komplikasi sangat penting bagi keberhasilan intervensi medis.

Artikel ini membahas pendekatan anestesi yang optimal untuk pasien dengan gangguan pembekuan darah, mencakup penilaian prabedah, strategi intraoperatif, dan pencegahan komplikasi pascabedah. Fokus utamanya adalah memastikan keselamatan pasien melalui perencanaan yang cermat dan kolaborasi multidisiplin.
Fisiologi Koagulasi
Koagulasi adalah proses fisiologis yang kompleks yang bertujuan untuk menghentikan perdarahan dan memperbaiki kerusakan pembuluh darah. Proses ini melibatkan interaksi antara platelet (trombosit), faktor koagulasi, dan dinding pembuluh darah untuk membentuk bekuan darah yang stabil. Kaskade koagulasi dapat dibagi menjadi tiga fase utama: fase inisiasi, amplifikasi, dan propagasi.
1. Kaskade Koagulasi
Kaskade koagulasi terdiri dari jalur intrinsik, ekstrinsik, dan jalur bersama (common pathway). Penjelasan sederhana prosesnya adalah sebagai berikut:
- Jalur Ekstrinsik: Dimulai ketika faktor jaringan (tissue factor) dilepaskan dari sel-sel yang rusak. Faktor VII diaktifkan menjadi faktor VIIa, yang memicu jalur bersama melalui aktivasi faktor X.
- Jalur Intrinsik: Dimulai oleh aktivasi faktor XII saat bersentuhan dengan permukaan yang rusak. Ini mengaktifkan serangkaian faktor (faktor XI, IX, dan VIII) sebelum mencapai jalur bersama melalui aktivasi faktor X.
- Jalur Bersama: Faktor Xa yang dihasilkan mengonversi protrombin (faktor II) menjadi trombin (faktor IIa). Trombin kemudian mengubah fibrinogen menjadi fibrin, membentuk bekuan darah yang stabil dengan bantuan faktor XIII.
2. Masalah Perdarahan yang Mungkin Terjadi
Gangguan pada kaskade koagulasi dapat terjadi di berbagai titik, menyebabkan perdarahan atau gangguan hemostasis. Beberapa contohnya meliputi:
- Defisiensi Faktor Koagulasi: Seperti hemofilia A (defisiensi faktor VIII) atau hemofilia B (defisiensi faktor IX).
- Trombositopenia: Jumlah trombosit yang rendah mengurangi kemampuan tubuh untuk membentuk sumbat primer pada lokasi cedera.
- Koagulopati Akibat Penyakit Hati: Fungsi hati yang terganggu menyebabkan defisiensi faktor koagulasi yang disintesis di hati (faktor II, VII, IX, X).
- Fibrinolisis Berlebihan: Aktivitas fibrinolisis yang tidak terkontrol dapat menghancurkan bekuan darah yang sudah terbentuk.
3. Intervensi untuk Mengatasi Gangguan Koagulasi
Penanganan gangguan koagulasi dilakukan dengan menargetkan titik spesifik dalam kaskade koagulasi. Strategi yang dapat diterapkan meliputi:
- Penggantian Faktor Koagulasi:
- Berikan faktor VIII konsentrat untuk pasien dengan hemofilia A.
- Berikan faktor IX konsentrat untuk pasien dengan hemofilia B.
- Transfusi Plasma Segar Beku (FFP): Mengandung faktor koagulasi yang dapat memperbaiki defisiensi multiple faktor koagulasi, seperti pada pasien dengan koagulopati akibat penyakit hati.
- Pemberian Kriopresipitat: Digunakan untuk meningkatkan kadar fibrinogen pada pasien dengan hipofibrinogenemia (<200 mg/dL).
- Traneksamat: Obat antifibrinolitik yang mencegah degradasi fibrin, efektif pada kondisi fibrinolisis berlebihan.
- Transfusi Trombosit: Untuk pasien dengan trombositopenia berat atau gangguan fungsi trombosit.
- Desmopresin (DDAVP): Meningkatkan pelepasan faktor von Willebrand dan faktor VIII pada pasien dengan penyakit von Willebrand atau defisiensi ringan faktor VIII.
Pemahaman mendalam tentang fisiologi koagulasi membantu dalam pengelolaan pasien dengan gangguan pembekuan darah, memungkinkan intervensi yang tepat waktu untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa.
Penilaian Prabedah
Penilaian prabedah pada pasien dengan gangguan pembekuan darah bertujuan untuk mengidentifikasi risiko perdarahan dan merancang strategi pengelolaan yang sesuai. Langkah-langkah penting meliputi:
Pemeriksaan Riwayat dan Anamnesis
Anamnesis mendalam diperlukan untuk mengidentifikasi riwayat gangguan koagulasi atau perdarahan. Poin-poin utama meliputi:
- Riwayat perdarahan: Seperti mimisan yang sulit berhenti, hematoma spontan, atau perdarahan setelah trauma ringan.
- Penggunaan obat: Identifikasi penggunaan antikoagulan (warfarin, heparin, DOACs) atau agen antiplatelet (aspirin, clopidogrel).
- Riwayat keluarga: Hemofilia, penyakit von Willebrand, atau gangguan koagulasi lainnya dalam keluarga.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi status koagulasi dan fungsi hemostasis pasien. Parameter penting meliputi:
- PT (Prothrombin Time): Menilai jalur koagulasi ekstrinsik. Nilai normal biasanya <13 detik.
- aPTT (Activated Partial Thromboplastin Time): Menilai jalur koagulasi intrinsik. Nilai normal berkisar antara 25-35 detik.
- INR (International Normalized Ratio): Mengukur tingkat terapi antikoagulan. Nilai normal adalah 0,8-1,2.
- Platelet Count: Mengukur jumlah trombosit. Normalnya 150.000-450.000/mikroliter darah.
- Fibrinogen: Menilai kapasitas pembekuan. Kadar normal berkisar 200-400 mg/dL.
- TEG/ROTEM: Monitoring lanjutan untuk mengevaluasi kualitas pembentukan bekuan darah.
Stratifikasi Risiko
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan laboratorium, pasien diklasifikasikan ke dalam risiko rendah, sedang, atau tinggi untuk komplikasi perdarahan selama operasi. Hal ini membantu menentukan strategi pengelolaan perioperatif yang sesuai.
Persiapan Produk Darah
Pada pasien dengan gangguan pembekuan darah, persiapan produk darah sangat penting untuk mengantisipasi kebutuhan transfusi selama operasi. Persiapan meliputi:
- Plasma Segar Beku (FFP): Mengandung faktor pembekuan dan digunakan untuk memperbaiki PT/INR yang abnormal.
- Kriopresipitat: Kaya akan fibrinogen dan faktor VIII, efektif untuk pasien dengan hemofilia atau hipofibrinogenemia.
- Platelet: Diberikan pada pasien dengan trombositopenia berat (<50.000/mikroliter).
- Faktor Koagulasi Spesifik: Seperti faktor VIII atau IX untuk hemofilia.
Optimasi Prabedah
Sebelum pembedahan, kondisi pasien harus dioptimalkan untuk mengurangi risiko komplikasi. Pendekatan meliputi:
- Penghentian Antikoagulan: Hentikan antikoagulan sesuai protokol prabedah. Pada pasien risiko trombosis tinggi, lakukan bridging therapy dengan heparin berat molekul rendah (LMWH), yang dihentikan 12-24 jam sebelum operasi.
- Peningkatan Fibrinogen: Berikan kriopresipitat atau fibrinogen konsentrat untuk meningkatkan kadar fibrinogen di atas 200 mg/dL sebelum prosedur bedah mayor.
- Koreksi Trombositopenia: Transfusi trombosit jika kadar trombosit di bawah 50.000/mikroliter pada pasien yang akan menjalani pembedahan mayor atau invasif.
- Koreksi PT/INR Abnormal: Berikan plasma segar beku (FFP) jika INR >1,5 atau jika PT melebihi 1,5 kali nilai kontrol normal.
Kriteria Penundaan Pembedahan Elektif
Pembedahan elektif sebaiknya ditunda jika terdapat kondisi berikut:
- INR yang Tidak Terkontrol: Jika INR >2,5 meskipun telah diberikan FFP, pasien tidak boleh melanjutkan pembedahan elektif. Operasi dapat dilanjutkan setelah INR dikoreksi ke nilai ≤1,5, yang biasanya memerlukan 24-48 jam tergantung pada respons terapi.
- Trombositopenia Berat: Jika kadar trombosit <50.000/mikroliter dan tidak memungkinkan dilakukan transfusi trombosit segera. Operasi dapat dijadwalkan ulang setelah kadar trombosit mencapai ≥50.000/mikroliter.
- Fibrinogen Rendah (<100 mg/dL): Jika kadar fibrinogen sangat rendah meskipun telah diberikan kriopresipitat atau konsentrat fibrinogen. Operasi ditunda hingga kadar fibrinogen mencapai ≥200 mg/dL.
- Hipovolemia atau Hemodinamik Tidak Stabil: Pasien dengan tanda syok atau perdarahan aktif memerlukan stabilisasi terlebih dahulu sebelum operasi elektif dilakukan.
- Krisis Perdarahan Akut: Pasien dengan hemofilia atau penyakit von Willebrand yang mengalami perdarahan aktif memerlukan terapi faktor koagulasi spesifik sebelum prosedur elektif.
Durasi Penundaan
Durasi penundaan pembedahan elektif tergantung pada kondisi pasien dan waktu yang diperlukan untuk koreksi hemostasis:
- Koreksi INR: Penundaan 24-48 jam setelah pemberian FFP atau vitamin K hingga nilai INR stabil.
- Transfusi Trombosit: Penundaan singkat (1-2 jam) jika trombosit tersedia dan segera diberikan.
- Koreksi Fibrinogen: Penundaan 24 jam jika kriopresipitat atau konsentrat fibrinogen memerlukan waktu untuk meningkatkan kadar secara adekuat.
- Penghentian Antikoagulan: Penundaan 5-7 hari untuk menghentikan antikoagulan seperti warfarin, dengan bridging therapy jika diperlukan.
Penundaan pembedahan harus didiskusikan dengan tim multidisiplin untuk memastikan waktu optimal dan meminimalkan risiko komplikasi selama prosedur.
Penghentian Clopidogrel
Clopidogrel adalah agen antiplatelet yang digunakan untuk mencegah trombosis arteri. Namun, penggunaannya meningkatkan risiko perdarahan selama pembedahan. Penghentian clopidogrel sebelum prosedur elektif harus dilakukan sesuai rekomendasi klinis untuk memastikan fungsi platelet pulih dengan cukup.
- Durasi Penghentian: Clopidogrel harus dihentikan minimal 5-7 hari sebelum pembedahan elektif untuk memungkinkan regenerasi platelet yang tidak terpengaruh oleh obat.
- Bridging Therapy: Pada pasien dengan risiko trombosis tinggi (seperti setelah stent koroner), bridging therapy menggunakan aspirin dosis rendah atau heparin berat molekul rendah (LMWH) dapat dipertimbangkan selama penghentian clopidogrel. Hal ini perlu didiskusikan dengan ahli kardiologi.
Kriteria Penundaan Pembedahan karena Clopidogrel
Pembedahan elektif harus ditunda jika:
- Waktu Penghentian Kurang dari 5 Hari: Jika clopidogrel dihentikan kurang dari 5 hari, aktivitas platelet masih terganggu sehingga risiko perdarahan tetap tinggi.
- Kebutuhan Operasi Mendesak: Pada kasus mendesak, transfusi platelet atau desmopresin (DDAVP) dapat diberikan untuk meningkatkan fungsi hemostasis, tetapi tetap ada peningkatan risiko perdarahan.
Pengelolaan pada Pembedahan Mendesak
Jika pembedahan tidak dapat ditunda meskipun pasien masih menggunakan clopidogrel, langkah-langkah berikut dapat dilakukan:
- Transfusi Platelet: Diberikan segera untuk meningkatkan fungsi hemostasis. Biasanya diperlukan 1 unit trombosit per 10 kg berat badan untuk meningkatkan jumlah trombosit secara signifikan.
- Penggunaan Desmopresin (DDAVP): Desmopresin 0,3 mcg/kg IV dapat diberikan untuk meningkatkan aktivitas faktor von Willebrand dan fungsi hemostasis dalam waktu singkat.
- Monitoring Ketat: Selama pembedahan, gunakan alat monitoring hemostasis seperti TEG/ROTEM untuk memandu transfusi produk darah.
Pada pasien yang menggunakan clopidogrel, kolaborasi antara ahli bedah, anestesiolog, dan kardiolog diperlukan untuk menentukan waktu optimal pembedahan elektif. Pembedahan harus ditunda hingga waktu yang aman jika memungkinkan, tetapi pada kasus mendesak, intervensi khusus harus dipertimbangkan untuk mengurangi risiko perdarahan.
Manajemen Intraoperatif
Manajemen intraoperatif pada pasien dengan gangguan pembekuan darah memerlukan pendekatan yang hati-hati untuk mencegah perdarahan masif dan komplikasi terkait hemostasis. Strategi pengelolaan mencakup pemilihan teknik anestesi, penggunaan monitoring hemostasis, dan penanganan perdarahan secara cepat.
Pemilihan Teknik Anestesi
Pemilihan teknik anestesi pada pasien dengan gangguan pembekuan darah harus mempertimbangkan risiko perdarahan dan kondisi pasien. Teknik yang digunakan meliputi:
- Anestesi Umum:
- Sering digunakan pada prosedur bedah mayor. Pemilihan agen anestesi seperti propofol dan sevofluran disesuaikan untuk meminimalkan efek samping.
- Hindari intubasi yang traumatik untuk mencegah perdarahan di saluran napas.
- Anestesi Regional:
- Blok Saraf Perifer: Relatif aman jika dilakukan dengan teknik ultrasonografi. Hindari teknik blind untuk mengurangi risiko hematoma.
- Epidural atau Spinal: Dapat digunakan pada pasien dengan risiko rendah untuk perdarahan. Evaluasi INR dan jumlah trombosit sebelum prosedur.
Monitoring Hemostasis
Pada pasien dengan gangguan pembekuan darah, pemantauan hemostasis secara real-time sangat penting selama operasi. Alat yang digunakan meliputi:
- TEG/ROTEM: Evaluasi kemampuan pembentukan bekuan darah, termasuk koagulasi, fibrinolisis, dan stabilitas bekuan.
- Pemantauan Output Darah: Monitor kehilangan darah intraoperatif melalui penghitungan volume darah pada kain lap, suction, atau kontainer khusus.
- Vital Sign Monitoring: Deteksi dini hipovolemia akibat perdarahan melalui tekanan darah, denyut jantung, dan tekanan vena sentral (CVP).
Strategi Pengelolaan Perdarahan
Jika perdarahan signifikan terjadi selama operasi, langkah-langkah berikut dapat dilakukan:
- Transfusi Plasma Segar Beku (FFP): Berikan 10-15 mL/kg untuk mengoreksi defisiensi faktor pembekuan.
- Kriopresipitat: Diberikan pada pasien dengan fibrinogen <200 mg/dL. Dosis umum adalah 1 unit per 10 kg berat badan.
- Transfusi Trombosit: Diberikan jika kadar trombosit <50.000/mikroliter atau terdapat tanda perdarahan aktif.
- Antifibrinolitik: Traneksamat 1 g IV dapat digunakan untuk mengurangi aktivitas fibrinolisis berlebihan.
- Rekonstruksi Hemodinamik: Gunakan cairan kristaloid isotonik atau koloid untuk mempertahankan volume darah.
Pencegahan Komplikasi
Pencegahan komplikasi intraoperatif melibatkan kolaborasi tim medis dan pemantauan ketat. Langkah-langkah penting meliputi:
- Hindari manipulasi jaringan yang tidak perlu untuk mengurangi risiko perdarahan.
- Gunakan alat bedah dengan teknologi tinggi seperti cauterization atau ligature ultrasonic untuk mengontrol perdarahan.
- Monitor efek samping agen hemostasis, seperti risiko trombosis akibat penggunaan antifibrinolitik.
Peran Kolaborasi Tim Multidisiplin
Manajemen intraoperatif yang optimal membutuhkan kerja sama erat antara anestesiolog, ahli bedah, dan hematolog. Komunikasi yang baik selama operasi dapat mencegah komplikasi dan meningkatkan keberhasilan prosedur.
Manajemen Pascabedah
Manajemen pascabedah pada pasien dengan gangguan pembekuan darah memerlukan pemantauan ketat untuk mencegah komplikasi seperti perdarahan, hematoma, atau trombosis. Selain itu, pengelolaan nyeri yang aman harus diprioritaskan untuk menghindari efek samping yang dapat memperburuk koagulopati.
Pemantauan Pascabedah
Pada fase pascabedah, pemantauan intensif dilakukan untuk mendeteksi komplikasi secara dini. Aspek yang harus dipantau meliputi:
- Tanda Vital: Pemantauan tekanan darah, denyut jantung, dan saturasi oksigen untuk mendeteksi perdarahan aktif atau hipovolemia.
- Output Darah: Evaluasi perdarahan dari luka operasi atau drainase. Kehilangan darah yang melebihi 200 mL/jam memerlukan evaluasi lebih lanjut.
- Parameter Laboratorium: Pemeriksaan serial PT, aPTT, INR, fibrinogen, dan trombosit untuk memastikan status koagulasi stabil.
- Penilaian Hematoma: Inspeksi area operasi untuk mendeteksi pembentukan hematoma atau perdarahan lokal.
Pengelolaan Komplikasi Pascabedah
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan gangguan pembekuan darah meliputi perdarahan, hematoma, dan risiko trombosis. Berikut adalah pendekatan pengelolaannya:
1. Perdarahan Pascabedah
Perdarahan aktif pascabedah harus dikelola dengan cepat menggunakan pendekatan berikut:
- Transfusi FFP: Berikan 10-15 mL/kg untuk mengatasi defisiensi faktor koagulasi multipel.
- Kriopresipitat: Untuk meningkatkan kadar fibrinogen jika kadar serum <200 mg/dL.
- Transfusi Trombosit: Jika jumlah trombosit <50.000/mikroliter.
- Antifibrinolitik: Traneksamat dapat diberikan pada pasien dengan perdarahan aktif akibat fibrinolisis berlebihan.
2. Hematoma Pascabedah
Hematoma di area operasi dapat menyebabkan komplikasi serius jika tidak ditangani. Langkah-langkah berikut dilakukan:
- Drainase Hematoma: Dilakukan jika hematoma menekan jaringan sekitarnya atau berisiko infeksi.
- Koreksi Koagulasi: Stabilkan status koagulasi pasien sebelum prosedur drainase.
- Monitoring Luka: Pantau area luka untuk tanda infeksi atau pembentukan hematoma ulang.
3. Pencegahan Trombosis
Walaupun perdarahan menjadi perhatian utama, pasien dengan gangguan koagulasi tetap berisiko trombosis, terutama pada pasien pascabedah yang imobilisasi. Pencegahan meliputi:
- Profilaksis Antikoagulan: Berikan heparin berat molekul rendah (LMWH) dosis profilaksis jika tidak ada kontraindikasi.
- Mobilisasi Dini: Dorong pasien untuk bergerak sesegera mungkin untuk meningkatkan aliran darah vena.
- Pemakaian Alat Kompresi Pneumatik: Digunakan untuk mencegah trombosis vena dalam (DVT) pada pasien imobilisasi.
Pengelolaan Nyeri Pascabedah
Nyeri pascabedah pada pasien dengan gangguan pembekuan darah harus dikelola dengan hati-hati untuk menghindari risiko perdarahan atau efek samping obat. Pendekatan meliputi:
- Parasetamol: Analgesik pilihan pertama yang aman digunakan pada pasien dengan risiko perdarahan.
- NSAID: Hindari penggunaannya karena dapat mengganggu fungsi trombosit dan meningkatkan risiko perdarahan gastrointestinal.
- Opioid: Digunakan untuk nyeri sedang hingga berat. Fentanyl adalah pilihan yang aman karena eliminasi utamanya melalui metabolisme ekstrahepatik.
- Anestesi Regional: Teknik blok saraf perifer aman digunakan jika status koagulasi pasien stabil.
Rehabilitasi Pascabedah
Rehabilitasi pasien melibatkan pendekatan komprehensif untuk mencegah komplikasi jangka panjang. Fokus rehabilitasi meliputi:
- Kontrol ketat terhadap komorbiditas seperti hipertensi dan diabetes.
- Pemantauan rutin fungsi koagulasi untuk memastikan stabilitas hemostasis.
- Konseling pasien dan keluarga mengenai pentingnya kepatuhan terhadap terapi dan tindak lanjut rutin.
Dengan pemantauan dan pengelolaan yang tepat, risiko komplikasi pascabedah dapat diminimalkan, meningkatkan keselamatan dan kualitas hidup pasien.
Kesimpulan
Manajemen anestesi pada pasien dengan gangguan pembekuan darah merupakan tantangan multidisiplin yang memerlukan pendekatan berbasis bukti dan kerja sama antarprofesi medis. Evaluasi risiko prabedah yang komprehensif, strategi intraoperatif yang hati-hati, dan pemantauan ketat pascabedah menjadi kunci untuk meminimalkan risiko komplikasi dan memastikan hasil klinis yang optimal.
Poin Penting
- Penilaian Prabedah: Identifikasi risiko melalui anamnesis, pemeriksaan laboratorium, dan stratifikasi risiko koagulasi.
- Persiapan Produk Darah: Pastikan ketersediaan plasma segar beku, kriopresipitat, trombosit, dan faktor koagulasi spesifik sesuai kebutuhan.
- Strategi Intraoperatif: Gunakan teknik anestesi yang aman, monitoring hemostasis real-time, dan intervensi dini untuk menangani perdarahan.
- Manajemen Pascabedah: Pemantauan intensif terhadap tanda vital, koagulasi, dan komplikasi seperti hematoma atau trombosis.
- Rehabilitasi: Edukasi pasien dan keluarga mengenai perawatan jangka panjang, termasuk kontrol komorbiditas dan pemantauan koagulasi rutin.
Rekomendasi
- Kolaborasi Multidisiplin: Anestesiolog, ahli hematologi, dan bedah harus bekerja sama untuk memastikan keselamatan pasien.
- Peningkatan Kompetensi: Pelatihan berkelanjutan bagi tenaga medis dalam manajemen gangguan koagulasi.
- Individualisasi Pendekatan: Rencana perawatan harus disesuaikan dengan kondisi klinis spesifik setiap pasien.
- Peningkatan Fasilitas: Penggunaan teknologi canggih seperti TEG/ROTEM untuk evaluasi hemostasis secara real-time.
- Miller RD, et al. Miller's Anesthesia. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2020.
- Barash PG, et al. Clinical Anesthesia. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2017.
- Fleisher LA, et al. ACC/AHA Guidelines on Perioperative Management of Bleeding Risk. Circulation. 2021;143(1):45-56.
- Levy JH, et al. Perioperative Coagulation Management in Patients Undergoing Surgery. Anesthesiology. 2020;132(2):404-415.
- Hoffman M, et al. The Cellular Model of Hemostasis. Thromb Haemost. 2019;117(6):1230-1240.
- Moore HB, et al. Contemporary Management of Massive Bleeding in Surgery. J Clin Med. 2020;9(1):95.
- Kamath PS, et al. Perioperative Coagulation Disorders: Diagnosis and Management. J Hepatol. 2022;77(3):690-701.
- Hadzic A. Textbook of Regional Anesthesia and Acute Pain Management. 2nd ed. New York: McGraw-Hill; 2017.
- Neugarten J, et al. Hemostasis in Surgery: A Review. Anesthesiol Clin. 2018;36(3):409-429.
- Nguyen GC, et al. Risk Stratification in Surgical Patients with Coagulation Disorders. JAMA. 2019;322(2):150-165.
Ramadhan MF. Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Gangguan Pembekuan Darah. Anesthesiol ICU. 2025;1:a15