Hipotermia perioperatif adalah kondisi serius yang terjadi pada pasien selama atau setelah prosedur pembedahan. Dengan potensi komplikasi seperti gangguan koagulasi, infeksi luka operasi, dan disritmia jantung, manajemen yang tepat diperlukan untuk mencegah dan mengatasi dampaknya. Artikel ini membahas langkah-langkah praktis untuk menilai, mencegah, dan menangani hipotermia perioperatif, termasuk pendekatan optimalisasi suhu tubuh pasien.
Pendahuluan
Hipotermia didefinisikan sebagai penurunan suhu tubuh inti di bawah 36°C dan dapat terjadi baik secara sengaja maupun tidak sengaja selama proses perioperatif. Kondisi ini memiliki dampak signifikan pada fungsi fisiologis, termasuk gangguan koagulasi, peningkatan kehilangan darah, dan peningkatan risiko infeksi luka operasi. Hipotermia juga dapat memperpanjang waktu pemulihan anestesi, memengaruhi metabolisme obat, dan meningkatkan risiko komplikasi kardiovaskular seperti aritmia.

Berdasarkan tingkat keparahannya, hipotermia dibagi menjadi:
- Hipotermia Ringan: Suhu tubuh inti 32-35°C.
- Hipotermia Sedang: Suhu tubuh inti 28-32°C.
- Hipotermia Berat: Suhu tubuh inti <28°C.
Pada konteks perioperatif, hipotermia sering disebabkan oleh paparan suhu ruangan dingin, pengaruh anestesi, dan evaporasi cairan tubuh selama pembedahan. Oleh karena itu, pencegahan dan penanganan hipotermia merupakan bagian penting dari manajemen perioperatif untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Penilaian Prabedah
Penilaian prabedah bertujuan untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi hipotermia dan memastikan tindakan pencegahan dilakukan sebelum pembedahan. Komponen utama meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penilaian faktor risiko.
1. Anamnesis
Anamnesis menyeluruh harus dilakukan untuk mengidentifikasi faktor predisposisi hipotermia:
- Riwayat Paparan Dingin: Pasien yang terpapar suhu dingin dalam waktu lama, seperti pada insiden kecelakaan, berisiko tinggi mengalami hipotermia.
- Riwayat Penyakit: Hipotiroidisme, malnutrisi, diabetes, dan gangguan neuromuskular dapat memengaruhi termoregulasi tubuh.
- Obat-obatan: Penggunaan obat seperti sedatif, anestesi, atau agen vasodilator dapat meningkatkan risiko kehilangan panas.
- Jenis Operasi: Pembedahan besar atau panjang, seperti operasi jantung atau abdominal, meningkatkan risiko kehilangan panas secara signifikan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang teliti membantu mendeteksi tanda-tanda awal hipotermia dan memandu intervensi:
- Tanda Vital: Hipotermia sering menyebabkan bradikardia, hipotensi, dan pernapasan lambat.
- Kondisi Kulit: Kulit yang pucat, dingin, dan kering menunjukkan penurunan perfusi perifer.
- Kesadaran: Penurunan kesadaran atau kebingungan dapat mengindikasikan hipotermia sedang hingga berat.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium membantu mengidentifikasi komplikasi terkait hipotermia:
- Analisis Gas Darah: Hipotermia dapat menyebabkan asidosis metabolik atau alkalosis respiratorik.
- Koagulogram: Hipotermia memengaruhi fungsi trombosit dan faktor koagulasi, sehingga meningkatkan waktu pembekuan darah.
- Glukosa Darah: Hipotermia dapat menyebabkan hiperglikemia akibat peningkatan sekresi katekolamin.
4. Faktor Risiko Hipotermia
Faktor risiko utama yang perlu diperhatikan meliputi:
- Pasien lanjut usia dengan kapasitas termoregulasi yang berkurang.
- Pasien dengan indeks massa tubuh rendah, yang memiliki cadangan panas tubuh terbatas.
- Pasien dengan penyakit kronis seperti gagal ginjal atau gagal jantung.
5. Optimalisasi Prabedah
Optimalisasi prabedah bertujuan untuk meminimalkan risiko hipotermia selama operasi:
- Prewarming: Gunakan pemanas aktif seperti selimut pemanas atau pemanas udara hangat selama 30 menit sebelum operasi.
- Pemberian Cairan Hangat: Infus cairan dengan suhu 37-40°C untuk mencegah kehilangan panas.
- Pemantauan Suhu: Ukur suhu tubuh inti menggunakan termometer esofageal atau rektal.
- Nutrisi Adekuat: Pastikan pasien menerima asupan kalori yang cukup untuk mendukung produksi panas tubuh.
Dengan identifikasi risiko dan optimalisasi yang tepat, banyak kasus hipotermia perioperatif dapat dicegah sejak awal.
Manajemen Intraoperatif
Manajemen intraoperatif pasien dengan risiko hipotermia difokuskan pada pencegahan kehilangan panas selama prosedur pembedahan. Pendekatan ini melibatkan penggunaan perangkat pemanas aktif, pengaturan lingkungan ruang operasi, dan pemantauan suhu tubuh secara kontinu.
1. Pencegahan Kehilangan Panas
Selama pembedahan, tubuh pasien dapat kehilangan panas melalui beberapa mekanisme utama:
- Radiasi: Kehilangan panas ke lingkungan sekitarnya, terutama di ruang operasi dengan suhu dingin.
- Konduksi: Transfer panas dari tubuh pasien ke meja operasi atau permukaan lainnya.
- Konveksi: Kehilangan panas akibat aliran udara dingin di ruang operasi.
- Evaporasi: Kehilangan panas akibat penguapan cairan, seperti dari luka bedah atau pembersihan antiseptik.
Mencegah kehilangan panas ini memerlukan langkah-langkah strategis berikut:
- Pemanasan Aktif:
- Gunakan selimut pemanas berbasis udara hangat untuk menjaga suhu tubuh inti pasien.
- Letakkan alas pemanas pada meja operasi untuk mengurangi kehilangan panas melalui konduksi.
- Cairan dan Darah Hangat:
- Berikan cairan intravena dan darah dengan suhu 37-40°C menggunakan alat pemanas cairan khusus.
- Pengaturan Ruang Operasi:
- Tingkatkan suhu ruang operasi ke 22-25°C, terutama pada pasien dengan risiko tinggi hipotermia.
2. Pemantauan Suhu Tubuh
Pemantauan suhu tubuh secara kontinu sangat penting selama operasi, terutama pada prosedur yang berlangsung lama atau melibatkan area tubuh yang luas:
- Lokasi Pemantauan: Suhu tubuh inti dapat diukur melalui esofagus, rektum, atau membran timpani.
- Frekuensi Pemantauan: Suhu harus direkam setiap 15-30 menit untuk mendeteksi perubahan suhu yang signifikan.
Pemantauan ini memungkinkan intervensi cepat jika suhu tubuh pasien menurun secara signifikan.
3. Teknik Anestesi
Anestesi, baik umum maupun regional, dapat memengaruhi regulasi suhu tubuh. Berikut adalah implikasi anestesi pada pasien dengan risiko hipotermia:
- Anestesi Umum:
- Menekan respons vasokonstriksi termoregulasi, meningkatkan risiko kehilangan panas.
- Memengaruhi metabolisme basal tubuh, yang dapat mengurangi produksi panas.
- Anestesi Regional:
- Menyebabkan vasodilatasi di area blokade, yang dapat mempercepat kehilangan panas dari ekstremitas.
4. Penanganan Hipotermia Selama Operasi
Jika pasien mengalami hipotermia selama prosedur, langkah-langkah berikut dapat diambil untuk meningkatkan suhu tubuh:
- Peningkatan Pemanasan Aktif:
- Tingkatkan pengaturan suhu pada selimut pemanas udara hangat.
- Pemberian Cairan Hangat:
- Tingkatkan volume cairan intravena hangat yang diberikan untuk mengimbangi kehilangan panas.
- Pengaturan Ventilasi:
- Hindari pemberian gas anestesi dingin; gunakan gas yang telah dipanaskan dan dilembapkan.
5. Kolaborasi Tim
Manajemen intraoperatif pasien dengan hipotermia membutuhkan kerja sama erat antara dokter anestesi, perawat bedah, dan tim perioperatif lainnya untuk memastikan langkah-langkah pencegahan dan penanganan diterapkan secara konsisten. Pemahaman bersama tentang risiko hipotermia dan strategi penanganannya sangat penting untuk mengoptimalkan hasil klinis.
Manajemen Pascabedah
Setelah operasi, perhatian terhadap suhu tubuh pasien tetap menjadi prioritas untuk memastikan pemulihan yang optimal dan menghindari komplikasi. Langkah-langkah dalam manajemen pascabedah meliputi pemantauan suhu, pemanasan aktif, dan penanganan komplikasi terkait hipotermia.
1. Pemantauan Suhu Tubuh
Suhu tubuh pasien harus terus dipantau hingga normotermia tercapai (≥36°C). Lokasi dan metode pemantauan suhu dapat disesuaikan dengan kondisi pasien:
- Lokasi Pemantauan: Rektal, esofageal, atau membran timpani untuk pengukuran suhu tubuh inti.
- Frekuensi Pemantauan: Setiap 15-30 menit pada periode awal pascabedah, kemudian setiap 1-2 jam setelah suhu stabil.
2. Pemanasan Aktif
Pemanasan aktif harus dilanjutkan untuk membantu pasien mencapai suhu tubuh normal. Metode yang digunakan mencakup:
- Selimut Pemanas: Selimut berbasis udara hangat digunakan untuk meningkatkan suhu tubuh secara perlahan dan aman.
- Cairan Hangat: Cairan intravena hangat tetap diberikan jika pasien membutuhkan resusitasi cairan atau penggantian volume.
- Penghangatan Ruangan: Suhu ruangan diatur pada tingkat yang nyaman untuk mendukung pemulihan suhu tubuh.
3. Penanganan Komplikasi Pascabedah
Hipotermia yang berkepanjangan dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang memerlukan intervensi segera:
- Disritmia Jantung:
- Pemberian magnesium sulfat (1-2 g IV) dapat digunakan untuk menstabilkan irama jantung.
- Jika disritmia berat terjadi, pertimbangkan penggunaan antiaritmia seperti amiodaron (150 mg IV bolus).
- Gangguan Koagulasi:
- Hipotermia mengganggu fungsi trombosit dan pembekuan darah. Pertimbangkan pemberian produk darah seperti kriopresipitat atau plasma segar beku untuk memperbaiki koagulasi.
- Hipoglikemia:
- Periksa kadar glukosa darah dan berikan glukosa intravena jika diperlukan.
4. Edukasi Pasien
Edukasi pasien adalah bagian penting dari manajemen pascabedah, terutama untuk mencegah kekambuhan hipotermia dan meningkatkan pemahaman tentang perawatan diri:
- Pencegahan Hipotermia: Ajarkan pasien cara mencegah hipotermia, seperti menggunakan pakaian hangat dan menghindari paparan suhu dingin.
- Fisioterapi: Program fisioterapi yang melibatkan latihan pernapasan dan mobilisasi dini membantu meningkatkan sirkulasi dan pemulihan suhu tubuh.
5. Pemulihan Suhu dan Keselamatan Pasien
Pasien yang telah mencapai normotermia dan menunjukkan tanda-tanda stabilitas klinis dapat dipindahkan dari ruang pemulihan ke bangsal perawatan. Pastikan seluruh tanda vital, termasuk suhu tubuh, tetap dalam rentang normal sebelum keputusan dipindahkan dibuat.
Kesimpulan
Hipotermia perioperatif adalah masalah yang sering terjadi dan memiliki dampak signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas pasien. Pendekatan manajemen yang komprehensif meliputi penilaian risiko prabedah, pencegahan kehilangan panas selama operasi, serta pemantauan dan penanganan pascabedah yang ketat.
Melalui penerapan strategi yang efektif, seperti pemanasan aktif, pemberian cairan hangat, dan pemantauan suhu tubuh kontinu, risiko komplikasi dapat diminimalkan. Kolaborasi multidisiplin antara tim bedah, anestesi, dan perawatan pascabedah sangat penting untuk memastikan hasil klinis yang optimal.
- Sessler DI. Perioperative heat balance. Anesthesiology. 2000;92(2):578-596.
- Lenhardt R. The effect of anesthesia on body temperature control. Front Biosci. 2010;15:645-660.
- Kurz A, Sessler DI, Lenhardt R. Perioperative normothermia to reduce the incidence of surgical-wound infection and shorten hospitalization. N Engl J Med. 1996;334(19):1209-1215.
- Barash PG, et al. Clinical Anesthesia. 8th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2017.
- Hannenberg AA, Sessler DI. Improving perioperative temperature management. Anesthesiology. 2016;124(2):413-418.
- Horn EP, et al. The effect of short-term prewarming on intraoperative hypothermia. Anesth Analg. 2012;114(3):694-700.
- Frank SM, et al. Perioperative maintenance of normothermia reduces the incidence of morbid cardiac events. JAMA. 1997;277(14):1127-1134.
- Ferguson AD, et al. Prevention of inadvertent perioperative hypothermia. Br J Nurs. 2009;18(17):1026-1031.
- Buggy DJ, Crossley AW. Thermoregulation, mild perioperative hypothermia and post-anaesthetic shivering. Br J Anaesth. 2000;84(5):615-628.
- Sessler DI. Temperature monitoring and perioperative thermoregulation. Anesthesiology. 2008;109(2):318-338.
Ramadhan MF. Manajemen Perioperatif pada Pasien dengan Hipotermia. Anesthesiol ICU. 2025;1:a27