Hepatitis aktif merupakan salah satu kondisi yang menantang dalam dunia perioperatif. Gangguan fungsi hati yang menyertainya dapat memengaruhi metabolisme obat, koagulasi, dan respons imun tubuh, sehingga meningkatkan risiko komplikasi selama pembedahan. Artikel ini membahas pendekatan komprehensif untuk penilaian, optimalisasi, dan manajemen pasien dengan hepatitis aktif sebelum, selama, dan setelah pembedahan, dengan tujuan meminimalkan risiko dan meningkatkan hasil klinis.
Pendahuluan
Hepatitis aktif merupakan kondisi inflamasi pada hati yang dapat disebabkan oleh berbagai etiologi, seperti infeksi virus (hepatitis B, C, dan D), konsumsi alkohol kronis, gangguan autoimun, atau toksisitas obat. Hepatitis aktif ditandai oleh peningkatan enzim hati (AST, ALT), bilirubin, dan gangguan fungsi hati seperti koagulasi. Kondisi ini memengaruhi kemampuan tubuh untuk memetabolisme obat, mengatur koagulasi, dan menjaga keseimbangan imunologis, yang sangat relevan dalam konteks perioperatif.

Dalam pembedahan, hati berperan penting dalam metabolisme obat anestesi, produksi protein seperti albumin dan faktor koagulasi, serta detoksifikasi zat berbahaya. Pada pasien dengan hepatitis aktif, gangguan fungsi hati dapat menyebabkan akumulasi obat, risiko perdarahan meningkat, dan respons inflamasi yang tidak terkontrol, sehingga meningkatkan risiko komplikasi perioperatif. Oleh karena itu, identifikasi dini, penilaian menyeluruh, dan manajemen yang terstruktur sangat diperlukan untuk mengoptimalkan hasil klinis.
Definisi dan Klasifikasi Hepatitis
Hepatitis aktif diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan tingkat keparahan kerusakan hati. Klasifikasi utama meliputi:
- Hepatitis Virus: Disebabkan oleh virus hepatitis A, B, C, D, atau E. Hepatitis B dan C merupakan penyebab utama hepatitis kronis dan dapat berkembang menjadi sirosis atau karsinoma hepatoseluler.
- Hepatitis Alkoholik: Disebabkan oleh konsumsi alkohol berlebihan yang mengakibatkan peradangan dan kerusakan hati.
- Hepatitis Obat: Akibat toksisitas obat tertentu seperti parasetamol, antibiotik, atau obat antiretroviral.
- Hepatitis Autoimun: Penyakit autoimun yang menyerang hepatosit, menyebabkan peradangan kronis.
Kondisi ini dapat dibagi menjadi akut, subakut, atau kronis berdasarkan durasi penyakit:
- Hepatitis Akut: Peradangan hati berlangsung kurang dari enam bulan. Umumnya terkait dengan infeksi virus atau toksisitas akut.
- Hepatitis Kronis: Peradangan berlangsung lebih dari enam bulan, sering kali tanpa gejala yang jelas tetapi dengan risiko progresif menjadi sirosis atau kegagalan hati.
Dampak Hepatitis Aktif terhadap Fungsi Hati
Hepatitis aktif menyebabkan gangguan fisiologis yang memengaruhi kemampuan hati untuk menjalankan fungsinya, seperti:
- Gangguan Metabolisme: Penurunan metabolisme obat anestesi seperti propofol dan rokuronium, yang dapat meningkatkan risiko toksisitas.
- Gangguan Koagulasi: Penurunan produksi faktor pembekuan darah (faktor II, VII, IX, dan X) yang meningkatkan risiko perdarahan.
- Akumulasi Bilirubin: Peningkatan kadar bilirubin menyebabkan ikterus, yang merupakan tanda disfungsi hati berat.
- Respons Inflamasi: Aktivasi sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan IL-6, yang dapat memperburuk kerusakan jaringan.
Relevansi dalam Konteks Perioperatif
Pada pasien dengan hepatitis aktif, risiko komplikasi perioperatif meningkat secara signifikan. Berikut adalah beberapa dampaknya:
- Risiko Perdarahan: Karena gangguan koagulasi, pasien lebih rentan terhadap perdarahan intraoperatif dan pascaoperatif.
- Disfungsi Metabolik: Penurunan metabolisme obat dapat memperpanjang efek anestesi, meningkatkan risiko depresi napas atau toksisitas.
- Infeksi: Sistem imun yang terganggu akibat inflamasi kronis meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.
- Hepatorenal Syndrome: Komplikasi serius di mana gangguan fungsi hati menyebabkan penurunan perfusi ginjal, memperburuk hasil klinis.
Mengingat kompleksitas ini, pendekatan yang terstruktur diperlukan untuk menilai dan mengelola pasien dengan hepatitis aktif di seluruh fase perioperatif, mulai dari prabedah hingga pascabedah.
Penilaian Prabedah
Penilaian prabedah pada pasien dengan hepatitis aktif bertujuan untuk menentukan derajat disfungsi hati, risiko komplikasi perioperatif, dan kesiapan pasien menjalani pembedahan. Pendekatan ini mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, serta penggunaan skoring klinis untuk stratifikasi risiko.
1. Anamnesis
Anamnesis menyeluruh diperlukan untuk mengidentifikasi etiologi dan tingkat keparahan hepatitis aktif:
- Riwayat Penyakit: Tanyakan tentang infeksi virus, konsumsi alkohol, riwayat penggunaan obat hepatotoksik, atau penyakit autoimun.
- Gejala Klinis: Gejala seperti ikterus, nyeri perut kanan atas, lemas, atau gangguan perdarahan perlu dievaluasi.
- Durasi Penyakit: Tentukan apakah hepatitis bersifat akut atau kronis, yang berimplikasi pada prognosis dan manajemen.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang teliti dapat memberikan petunjuk tentang status klinis pasien:
- Ikterus: Warna kuning pada sklera atau kulit menunjukkan peningkatan bilirubin.
- Asites: Pembesaran abdomen akibat penumpukan cairan sering terjadi pada hepatitis kronis dengan sirosis.
- Hepatomegali: Pembesaran hati yang dapat diraba pada palpasi.
- Spider Nevi: Tanda hiperestrogenemia yang sering ditemukan pada sirosis.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laboratorium sangat penting untuk menilai fungsi hati dan mendeteksi komplikasi:
- Enzim Hati: Peningkatan AST dan ALT menunjukkan kerusakan hepatosit.
- Bilirubin: Peningkatan bilirubin total dan direktif mengindikasikan gangguan ekskresi empedu.
- Albumin: Penurunan kadar albumin menunjukkan gangguan sintesis protein hati.
- INR: Peningkatan INR mencerminkan gangguan koagulasi akibat defisiensi faktor pembekuan.
- Fungsi Ginjal: Kreatinin dan ureum perlu diperiksa untuk mendeteksi hepatorenal syndrome.
4. Skoring Klinis
Stratifikasi risiko menggunakan skoring klinis membantu menentukan prognosis dan kelayakan pasien untuk menjalani pembedahan.
a. Skoring Child-Pugh
Kriteria | 1 Poin | 2 Poin | 3 Poin |
---|---|---|---|
Bilirubin Serum (µmol/L) | <34 | 34-50 | >50 |
Albumin Serum (g/L) | >35 | 28-35 | <28 |
INR | <1,7 | 1,7-2,3 | >2,3 |
Asites | Tidak ada | Ringan | Berat |
Ensefalopati Hepatik | Tidak ada | Grade I-II | Grade III-IV |
Interpretasi:
- Child A (5-6): Risiko rendah untuk pembedahan.
- Child B (7-9): Risiko sedang, perlu optimalisasi prabedah.
- Child C (≥10): Risiko tinggi, pembedahan elektif harus ditunda.
b. Skoring MELD
Model for End-Stage Liver Disease (MELD) menggunakan nilai bilirubin, INR, dan kreatinin untuk memprediksi mortalitas 3 bulan. Skor MELD >15 umumnya menunjukkan risiko tinggi, dan pembedahan elektif harus dihindari.
5. Pemeriksaan Tambahan
Jika diperlukan, pemeriksaan pencitraan seperti ultrasonografi atau CT scan dilakukan untuk mengevaluasi struktur hati dan mendeteksi komplikasi seperti trombosis vena porta atau karsinoma hepatoseluler.
6. Kriteria Penundaan Operasi Elektif
Pembedahan elektif harus ditunda jika pasien menunjukkan tanda-tanda berikut:
- INR >2,5 meskipun telah diberikan vitamin K atau plasma segar.
- Ensefalopati hepatik grade III-IV yang tidak terkontrol.
- Asites refrakter yang tidak dapat diatasi dengan terapi medis.
- MELD score >20.
Optimalisasi Prabedah
Optimalisasi prabedah bertujuan untuk mempersiapkan pasien dengan hepatitis aktif agar dapat menjalani pembedahan dengan risiko minimal. Pendekatan ini melibatkan koreksi gangguan fisiologis, pencegahan komplikasi, dan koordinasi antarprofesi untuk memastikan hasil terbaik.
1. Koreksi Gangguan Koagulasi
Hepatitis aktif sering menyebabkan gangguan koagulasi akibat penurunan sintesis faktor pembekuan. Intervensi berikut dapat dilakukan:
- Vitamin K: Berikan vitamin K 10 mg IV jika defisiensi vitamin K dicurigai.
- Plasma Segar Beku (FFP): Dosis awal 10-15 mL/kg diberikan untuk memperbaiki INR sebelum pembedahan.
- Kriopresipitat: Diberikan jika fibrinogen <100 mg/dL, dengan dosis 1 unit per 10 kg berat badan.
2. Penanganan Asites
Asites yang tidak terkendali dapat meningkatkan risiko komplikasi perioperatif, seperti infeksi dan gangguan hemodinamik. Langkah-langkah berikut dapat dilakukan:
- Diuretik: Spironolakton (100-200 mg/hari) dan furosemid (20-40 mg/hari) digunakan untuk mengurangi cairan asites.
- Paracentesis: Dilakukan pada asites refrakter, dengan penggantian albumin intravena (8 g/L cairan yang diambil) untuk mencegah hipovolemia.
3. Koreksi Elektrolit
Gangguan elektrolit seperti hiponatremia atau hipokalemia sering terjadi pada pasien dengan hepatitis aktif. Koreksi elektrolit dilakukan berdasarkan defisit yang ditemukan:
- Hiponatremia:
- Jika hiponatremia ringan (>125 mmol/L): Pembatasan cairan (1-1,5 L/hari).
- Jika berat (<125 mmol/L): Berikan larutan hipertonik NaCl 3%, dengan peningkatan natrium tidak melebihi 8 mmol/L dalam 24 jam.
- Hipokalemia:
- Berikan kalium klorida (KCl) secara oral atau intravena, dengan dosis 10-20 mEq/jam, hingga kadar kalium mencapai 4 mmol/L.
4. Optimalisasi Nutrisi
Status nutrisi yang buruk memperburuk prognosis pasien dengan hepatitis aktif. Intervensi berikut dapat membantu meningkatkan status nutrisi:
- Diet Tinggi Kalori: Berikan asupan kalori 30-35 kkal/kg/hari.
- Asupan Protein: Pada ensefalopati hepatik, batasi protein hingga 0,6-0,8 g/kg/hari. Jika ensefalopati terkendali, tingkatkan hingga 1-1,2 g/kg/hari.
- Suplemen: Berikan suplemen vitamin dan mineral untuk mengatasi defisiensi, seperti tiamin, folat, dan zinc.
5. Profilaksis Infeksi
Pasien dengan hepatitis aktif memiliki risiko tinggi infeksi akibat imunosupresi. Profilaksis antibiotik perioperatif seperti cefazolin (2 g IV) diberikan sebelum insisi kulit untuk mencegah infeksi luka operasi. Pada pasien dengan asites, pertimbangkan pemberian profilaksis norfloksasin 400 mg/hari untuk mencegah peritonitis bakteri spontan.
6. Evaluasi Kesiapan Operasi
Setelah intervensi prabedah, evaluasi ulang kondisi pasien untuk memastikan bahwa mereka siap menjalani pembedahan. Berikut adalah kriteria kesiapan operasi:
- INR <1,5 setelah koreksi.
- Kadar albumin >30 g/L.
- Asites terkendali tanpa tanda-tanda infeksi.
- Skor Child-Pugh <9 dan MELD <15.
Pembedahan elektif harus ditunda jika kondisi ini belum terpenuhi. Optimalisasi lebih lanjut dilakukan hingga pasien berada dalam kondisi yang lebih stabil.
Manajemen Intraoperatif
Manajemen intraoperatif pasien dengan hepatitis aktif memerlukan perhatian khusus terhadap fungsi hati, metabolisme obat, serta stabilitas hemodinamik. Dengan memahami dampak gangguan fungsi hati, anestesiolog dapat memilih teknik anestesi yang tepat dan mengelola risiko yang terkait dengan pembedahan.
1. Pemilihan Teknik Anestesi
Teknik anestesi yang digunakan harus mempertimbangkan dampak terhadap fungsi hati dan metabolisme obat. Berikut adalah beberapa opsi yang dapat dipertimbangkan:
- Anestesi Umum:
- Anestesi umum dengan inhalasi, seperti sevoflurane dan isoflurane, biasanya lebih aman bagi pasien dengan gangguan fungsi hati ringan hingga sedang, meskipun perlu perhatian terhadap metabolisme obat.
- Penggunaan obat seperti propofol perlu diawasi ketat karena metabolisme hati yang terbatas dapat menyebabkan akumulasi obat.
- Anestesi Regional:
- Blok saraf regional dapat digunakan untuk mengurangi kebutuhan opioid, yang sangat bermanfaat pada pasien dengan fungsi hati terganggu. Namun, harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat gangguan fungsi koagulasi yang sering terjadi pada hepatitis aktif.
2. Pemantauan Selama Pembedahan
Pemantauan yang ketat sangat penting selama pembedahan pada pasien dengan hepatitis aktif. Beberapa parameter penting yang perlu dipantau antara lain:
- Fungsi Hati: Lakukan pemantauan kadar bilirubin, AST, ALT, dan INR untuk menilai status fungsional hati.
- Koagulasi: Pemeriksaan INR dan aktivasi trombosit harus dilakukan untuk mendeteksi gangguan koagulasi.
- Perfusi Ginjal: Pemantauan kadar kreatinin dan diuresis penting untuk mencegah perkembangan hepatorenal syndrome.
3. Anestesi Inhalasi dan Obat Anestesi
Pada pasien dengan hepatitis aktif, penggunaan obat anestesi yang memerlukan metabolisme hati harus dipertimbangkan dengan cermat. Beberapa obat yang umum digunakan dalam anestesi umum dan kelebihannya adalah:
- Sevoflurane: Obat anestesi yang digunakan secara luas dengan metabolisme hati yang minimal, sehingga lebih aman pada pasien dengan fungsi hati yang terganggu.
- Isoflurane: Lebih stabil secara hemodinamik dibandingkan dengan beberapa anestesi lainnya, namun perlu perhatian terhadap metabolisme hati yang minimal.
- Propofol: Sering digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi, tetapi metabolisme hati yang terbatas pada pasien dengan hepatitis aktif bisa mengarah pada akumulasi obat.
4. Pengelolaan Koagulasi Selama Pembedahan
Gangguan koagulasi pada pasien dengan hepatitis aktif harus diatasi untuk mencegah perdarahan berlebih. Beberapa langkah yang dapat diambil selama pembedahan meliputi:
- Pemberian Plasma Segar Beku: Jika INR meningkat atau pasien menunjukkan tanda-tanda perdarahan, berikan plasma segar beku (FFP) untuk menggantikan faktor koagulasi yang hilang.
- Pemberian Vitamin K: Dosis 10 mg IV diberikan untuk membantu mengembalikan kadar faktor pembekuan yang terpengaruh oleh gangguan sintesis hati.
- Pemberian Kriopresipitat: Jika kadar fibrinogen rendah, berikan kriopresipitat untuk mendukung koagulasi.
5. Pengelolaan Cairan dan Elektrolit
Pemberian cairan selama pembedahan harus disesuaikan dengan status volume pasien dan fungsi ginjal. Pada pasien dengan hepatitis aktif, gangguan cairan dan elektrolit dapat terjadi akibat asites atau perdarahan:
- Cairan IV: Pemilihan cairan yang tepat, seperti kristaloid atau larutan koloid, tergantung pada status hemodinamik pasien.
- Elektrolit: Pemantauan dan koreksi elektrolit, seperti kalium dan natrium, harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah komplikasi aritmia dan gangguan fungsi organ.
6. Kolaborasi Tim Medis
Manajemen intraoperatif pasien dengan hepatitis aktif membutuhkan kolaborasi antara dokter anestesi, ahli bedah, ahli hepatologi, dan tim medis lainnya untuk memastikan perawatan yang tepat. Dengan pengelolaan yang hati-hati dan pemantauan yang cermat, risiko komplikasi dapat diminimalkan dan hasil pembedahan dapat ditingkatkan.
Manajemen Pascabedah
Manajemen pascabedah pada pasien dengan hepatitis aktif berfokus pada pemulihan fungsi hati, pencegahan komplikasi, dan pemantauan ketat terhadap kondisi klinis. Pendekatan ini memerlukan kerja sama multidisiplin untuk memastikan pasien mencapai hasil klinis yang optimal.
1. Pemantauan Fungsi Hati
Pasien dengan hepatitis aktif harus dipantau secara ketat setelah pembedahan untuk mendeteksi tanda-tanda perburukan fungsi hati:
- Kadar Bilirubin: Peningkatan bilirubin dapat mengindikasikan kerusakan hati lebih lanjut atau gagal hati.
- INR dan Koagulasi: INR yang meningkat menunjukkan gangguan koagulasi yang membutuhkan intervensi segera.
- Enzim Hati: AST dan ALT harus dipantau untuk menilai tingkat peradangan hepatosit.
2. Pencegahan Komplikasi
Pencegahan komplikasi pascabedah adalah bagian penting dari perawatan pasien dengan hepatitis aktif:
- Infeksi: Pasien dengan hepatitis aktif lebih rentan terhadap infeksi pascaoperasi. Antibiotik profilaksis dan perawatan luka yang baik sangat penting.
- Perdarahan: Gangguan koagulasi dapat menyebabkan perdarahan pascabedah. Monitor tanda perdarahan seperti hematoma atau perdarahan aktif dari luka operasi.
- Hepatorenal Syndrome: Perfusi ginjal harus dipertahankan untuk mencegah perkembangan komplikasi ini. Pemantauan kreatinin dan diuresis dilakukan secara rutin.
3. Nutrisi Pascabedah
Status nutrisi yang baik sangat penting untuk pemulihan pasien dengan hepatitis aktif. Pendekatan nutrisi meliputi:
- Asupan Kalori: Tingkatkan asupan energi hingga 30-35 kkal/kg/hari untuk mendukung proses penyembuhan.
- Protein: Jika ensefalopati hepatik terkendali, tingkatkan asupan protein hingga 1-1,2 g/kg/hari.
- Suplemen: Berikan suplemen vitamin dan mineral, seperti vitamin K, tiamin, dan zinc, untuk mendukung metabolisme tubuh.
4. Pemilihan Obat Pascabedah
Pemilihan obat pascabedah harus disesuaikan dengan fungsi hati pasien. Beberapa hal yang perlu diperhatikan meliputi:
- Analgesik: Hindari obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) karena risiko nefrotoksisitas dan hepatotoksisitas. Paracetamol dapat digunakan dengan dosis yang aman (tidak melebihi 3 g/hari).
- Antibiotik: Pilih antibiotik yang dimetabolisme di luar hati, seperti sefalosporin atau aminoglikosida, untuk menghindari akumulasi obat.
- Sedatif : Hindari benzodiazepin atau opioid dengan metabolisme hati yang tinggi untuk mencegah akumulasi dan ensefalopati hepatik.
5. Edukasi dan Follow-Up
Edukasi pasien dan keluarga merupakan bagian penting dari manajemen pascabedah:
- Informasikan pentingnya kepatuhan terhadap jadwal kontrol untuk memantau fungsi hati.
- Anjurkan pola makan sehat yang mendukung pemulihan fungsi hati.
- Diskusikan tanda-tanda komplikasi yang memerlukan perhatian medis segera, seperti ikterus yang memburuk atau perdarahan.
6. Pemantauan Jangka Panjang
Pasien dengan hepatitis aktif memerlukan pemantauan jangka panjang untuk mencegah komplikasi lebih lanjut:
- CT Scan atau USG: Digunakan untuk mendeteksi perkembangan sirosis atau karsinoma hepatoseluler.
- Laboratorium Berkala: Lakukan pemeriksaan rutin untuk menilai fungsi hati dan deteksi dini komplikasi.
- Rujukan ke Ahli Hepatologi: Pasien dengan risiko tinggi memerlukan evaluasi lebih lanjut oleh ahli hepatologi untuk manajemen lanjutan.
Dengan pendekatan multidisiplin yang terkoordinasi, manajemen pascabedah pada pasien dengan hepatitis aktif dapat meningkatkan hasil klinis dan mempercepat pemulihan. Pemantauan dan optimalisasi fungsi hati tetap menjadi fokus utama pada fase ini.
Kesimpulan
Manajemen perioperatif pada pasien dengan hepatitis aktif memerlukan pendekatan multidisiplin yang terstruktur dan komprehensif. Penilaian prabedah yang melibatkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penggunaan skoring klinis seperti Child-Pugh dan MELD membantu menentukan prognosis dan kelayakan operasi. Optimalisasi prabedah yang mencakup koreksi koagulasi, penanganan asites, dan pemenuhan kebutuhan nutrisi merupakan langkah penting untuk mempersiapkan pasien.
Selama pembedahan, pemantauan fungsi hati, pemilihan teknik anestesi yang tepat, dan pengelolaan cairan serta elektrolit sangat penting untuk mencegah komplikasi. Di fase pascabedah, perhatian terhadap pencegahan infeksi, pemantauan fungsi hati, dan edukasi pasien memastikan pemulihan yang optimal.
Dengan pendekatan holistik ini, risiko komplikasi dapat diminimalkan, dan pasien dengan hepatitis aktif dapat menjalani pembedahan dengan hasil yang lebih baik. Koordinasi antara dokter anestesi, ahli bedah, dan ahli hepatologi merupakan kunci keberhasilan dalam menangani kasus ini.
- Fried MW, Shiffman ML, Reddy KR, et al. Peginterferon alfa-2a plus ribavirin for chronic hepatitis C virus infection. N Engl J Med. 2002;347(13):975-982.
- Garcia-Tsao G, Sanyal AJ, Grace ND, Carey W. Prevention and management of gastroesophageal varices and variceal hemorrhage in cirrhosis. Hepatology. 2007;46(3):922-938.
- Runyon BA. Introduction to the revised American Association for the Study of Liver Diseases practice guideline management of adult patients with ascites due to cirrhosis 2012. Hepatology. 2013;57(4):1651-1653.
- Child CG, Turcotte JG. Surgery and portal hypertension. In: The Liver and Portal Hypertension. Philadelphia: Saunders; 1964:50-64.
- Kamath PS, Kim WR. The model for end-stage liver disease (MELD). Hepatology. 2007;45(3):797-805.
- McCormick PA, O'Keefe C. Improving prognosis following a diagnosis of hepatocellular carcinoma. Expert Rev Gastroenterol Hepatol. 2008;2(6):735-744.
- Yoon SK, Chun HG. Status of hepatocellular carcinoma in South Korea. Chin Clin Oncol. 2013;2(4):39.
- European Association for the Study of the Liver. EASL clinical practice guidelines: management of hepatocellular carcinoma. J Hepatol. 2018;69(1):182-236.
- Bernardi M, Angeli P, Claria J, et al. Albumin in decompensated cirrhosis: new concepts and perspectives. Gut. 2020;69(6):1127-1138.
- Marik PE. Hepatic encephalopathy: clinical and economic implications. Crit Care Med. 2010;38(3):900-908.
Ramadhan MF. Manajemen Perioperatif pada Pasien dengan Hepatitis Aktif. Anesthesiol ICU. 2025;1:a28