Bone Cement Syndrome (BCS) merupakan kondisi serius yang dapat terjadi selama prosedur ortopedi seperti penggantian sendi. Sindrom ini melibatkan respons hemodinamik akut dan komplikasi kardiopulmoner akibat pelepasan mikroembolus dan mediator inflamasi. Artikel ini membahas secara mendalam penanganan perioperatif BCS mulai dari penilaian prabedah, manajemen intraoperatif, hingga fase pascabedah untuk memastikan hasil terbaik bagi pasien.
Pendahuluan
Bone Cement Syndrome (BCS) adalah komplikasi serius yang terjadi selama prosedur ortopedi, terutama pada operasi penggantian sendi seperti hip arthroplasty. BCS ditandai oleh serangkaian respons sistemik, seperti hipotensi mendadak, hipoksemia, hingga henti jantung, akibat reaksi terhadap methylmethacrylate (MMA) atau pelepasan emboli mikrovaskular. Insidensi BCS diperkirakan mencapai 0,6% hingga 10% pada pasien yang menjalani prosedur tersebut, dengan angka mortalitas yang signifikan pada kasus berat.

BCS terjadi akibat kombinasi faktor, termasuk pelepasan mediator inflamasi, embolisasi partikulat bone cement ke dalam aliran darah, dan perubahan hemodinamik. Patofisiologi utama mencakup vasodilatasi sistemik, disfungsi ventrikel kanan, dan gangguan pertukaran gas di paru-paru. Oleh karena itu, pencegahan dan manajemen yang tepat sangat penting untuk meminimalkan risiko komplikasi.
Penilaian Prabedah
1. Identifikasi Risiko
Faktor risiko yang meningkatkan kejadian BCS meliputi:
- Faktor Pasien: Usia lanjut (>75 tahun), riwayat penyakit kardiovaskular, gangguan paru obstruktif kronis (PPOK), dan penyakit tromboemboli sebelumnya.
- Faktor Prosedur: Volume bone cement yang digunakan, manipulasi tulang yang ekstensif, dan prosedur bilateral yang membutuhkan lebih banyak aplikasi cement.
2. Pemeriksaan Klinis
Sebelum pembedahan, evaluasi menyeluruh terhadap kondisi pasien sangat penting. Pemeriksaan meliputi:
- Fungsi Kardiopulmonal: Elektrokardiogram (EKG), ekokardiografi untuk menilai fungsi ventrikel kanan dan kiri, serta tes fungsi paru.
- Status Hemodinamik: Pengukuran tekanan darah, denyut nadi, dan saturasi oksigen.
3. Optimalisasi Pasien
Optimalisasi prabedah adalah langkah krusial untuk meminimalkan risiko komplikasi selama prosedur pembedahan. Pendekatan ini melibatkan stabilisasi kondisi medis yang mendasari, pemantauan parameter penting, dan persiapan pasien secara keseluruhan. Berikut langkah-langkah optimalisasi pasien yang jelas dan sistematis:
Hidrasi Intravena
- Tujuan: Memastikan volume intravaskular yang cukup untuk mengurangi risiko emboli mikrovaskular akibat bone cement.
- Cara: Berikan cairan kristaloid seperti NaCl 0.9% atau Ringer Laktat. Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan pasien dan kondisi klinis, misalnya 1-2 mL/kg/jam sebelum induksi anestesi.
Kontrol Penyakit Penyerta
- Hipertensi: Tekanan darah harus dijaga dalam rentang target (MAP 70-90 mmHg). Obat seperti ACE inhibitor atau calcium channel blocker dapat dilanjutkan hingga hari operasi, kecuali ada kontraindikasi.
- Diabetes Mellitus: Kontrol glukosa darah dengan target 140-180 mg/dL. Berikan insulin subkutan jika diperlukan.
- Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK): Terapi bronkodilator (seperti salbutamol) dan steroid inhalasi dapat diberikan sebelum operasi untuk mengoptimalkan fungsi paru.
Manajemen Antikoagulan
- Pasien dengan antikoagulan:
- Warfarin: Hentikan 5 hari sebelum operasi. Lakukan bridging therapy dengan heparin jika diperlukan.
- DOAC (Direct Oral Anticoagulants): Seperti rivaroxaban atau apixaban, dihentikan 2-3 hari sebelum operasi tergantung fungsi ginjal.
- Profilaksis trombosis: Berikan kembali antikoagulan setelah risiko perdarahan pascabedah terkontrol, biasanya dalam 24-48 jam.
Penilaian Fungsi Jantung dan Paru
- Fungsi Jantung: Lakukan ekokardiografi jika terdapat tanda-tanda gagal jantung atau riwayat infark miokard. Terapi dengan beta-blocker dapat dimulai sebelum operasi untuk mengurangi risiko iskemia perioperatif.
- Fungsi Paru: Jika ada riwayat PPOK atau asma, optimalkan dengan terapi bronkodilator dan latihan napas dalam sebelum operasi.
Persiapan Edukasi
Pasien dan keluarga harus diberi penjelasan lengkap tentang prosedur yang akan dijalani, risiko yang mungkin terjadi, serta tanda-tanda komplikasi yang harus diwaspadai. Ini membantu menciptakan kerja sama antara pasien dan tim medis.
4. Stratifikasi Risiko
Stratifikasi risiko dilakukan untuk menentukan apakah pasien layak menjalani pembedahan elektif atau memerlukan optimalisasi lebih lanjut. Proses ini didasarkan pada evaluasi kondisi klinis, hasil pemeriksaan penunjang, dan stabilitas hemodinamik pasien.
Penilaian Risiko
Gunakan pendekatan sistematis dengan mempertimbangkan:
- Status Kardiovaskular: Pasien dengan riwayat gagal jantung akut, aritmia berat, atau infark miokard baru-baru ini (<6 bulan) harus menjalani stabilisasi terlebih dahulu.
- Status Respirasi: Hipoksemia berat atau tanda insufisiensi pernapasan memerlukan intervensi sebelum operasi.
- Status Hemodinamik: Hipotensi atau hipertensi yang tidak terkontrol merupakan kontraindikasi sementara untuk pembedahan elektif.
Kriteria Kelayakan Operasi Elektif
- Pasien Layak:
- Tekanan darah terkendali (MAP 70-90 mmHg).
- Saturasi oksigen ≥94% tanpa suplementasi oksigen yang berlebihan.
- Tidak ada tanda-tanda gagal jantung akut atau edema paru.
- Pasien Tidak Layak:
- Hipotensi refrakter atau hipertensi berat (>180/110 mmHg).
- Hipoksemia berat (SpO2 <90% meskipun dengan FiO2 tinggi).
- Ada tanda-tanda gagal organ multipel.
Keputusan Penundaan Operasi
Pembedahan elektif harus ditunda hingga pasien mencapai kondisi optimal. Penundaan biasanya diperlukan 1-2 minggu untuk kondisi akut, seperti infeksi atau dekompensasi kardiopulmonal, tergantung pada respons terapi.
Manajemen Intraoperatif
Manajemen intraoperatif pasien dengan risiko Bone Cement Syndrome (BCS) berfokus pada pencegahan terjadinya komplikasi, deteksi dini, dan intervensi segera jika terjadi gejala. Pendekatan yang digunakan melibatkan kolaborasi antara ahli bedah, anestesiolog, dan perawat untuk memastikan stabilitas hemodinamik dan oksigenasi selama operasi.
1. Pemilihan Teknik Anestesi
- Anestesi Regional:
Teknik anestesi regional, seperti anestesi spinal atau epidural, sering dipilih karena mengurangi respons simpatik yang berlebihan selama manipulasi bedah. Namun, teknik ini membutuhkan pemantauan ketat terhadap hipotensi akibat blokade simpatik.
- Kelebihan: Mengurangi stres sistemik dan menghindari komplikasi ventilasi pada pasien dengan risiko paru.
- Kekurangan: Tidak cocok untuk prosedur dengan waktu operasi yang lama atau jika ada kontraindikasi seperti infeksi lokal atau koagulopati.
- Anestesi Umum:
Digunakan pada prosedur ortopedi besar atau pasien yang tidak dapat menerima anestesi regional. Induksi dilakukan dengan agen seperti propofol (1-2 mg/kg IV) untuk stabilitas hemodinamik, sedangkan pemeliharaan dilakukan dengan agen inhalasi seperti sevofluran.
- Kelebihan: Kontrol penuh terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
- Kekurangan: Risiko depresi kardiovaskular dan perlunya pemantauan intensif selama dan setelah prosedur.
2. Pemantauan Intensif
Pasien dengan risiko BCS memerlukan pemantauan parameter vital secara terus-menerus:
- Monitor Hemodinamik: Tekanan arteri rata-rata (MAP) dijaga ≥65 mmHg. Penggunaan kateter arteri invasif dapat membantu pemantauan tekanan darah yang lebih akurat.
- Saturasi Oksigen: SpO2 dipantau untuk mendeteksi hipoksemia dini. Jika diperlukan, FiO2 dapat ditingkatkan hingga 100% untuk mencegah hipoksia.
- EKG: Pemantauan kontinu untuk mendeteksi aritmia seperti takikardia ventrikel atau fibrilasi ventrikel.
- CO2 End-Tidal (EtCO2): Penurunan EtCO2 dapat mengindikasikan adanya emboli paru dan membutuhkan intervensi segera.
3. Intervensi Selama Operasi
- Pencegahan Hipotensi: Bolus cairan kristaloid 500-1000 mL sebelum injeksi semen tulang untuk menjaga volume intravaskular.
- Penanganan Hipoksemia: Jika terjadi hipoksemia mendadak, segera tingkatkan FiO2 ke 100%, dan lakukan ventilasi manual jika saturasi tetap rendah.
- Pengelolaan Aritmia: Berikan amiodaron (300 mg IV bolus) jika terjadi aritmia ventrikel yang berpotensi fatal.
- Penanganan Hipotensi Refrakter: Berikan norepinefrin (0,05-0,1 mcg/kg/menit IV) jika hipotensi tidak merespons terapi cairan.
4. Teknik Pembedahan
Ahli bedah harus menggunakan teknik yang meminimalkan risiko embolisasi partikel semen tulang:
- Ventilasi Kanal Tulang: Membuka kanal tulang sebelum aplikasi semen untuk mengurangi tekanan intraosseus.
- Pengisian Lambat: Injeksikan semen tulang secara perlahan untuk mengurangi pelepasan partikel ke aliran darah.
- Penggunaan Semen Tulang Modifikasi: Semen dengan viskositas tinggi mengurangi risiko pelepasan mikroembolus.
Selama operasi, tim medis harus selalu siap menghadapi komplikasi mendadak. Peralatan resusitasi seperti defibrilator, obat inotropik, dan vasopresor harus tersedia di ruang operasi.
Pada bagian selanjutnya, kita akan membahas manajemen pascabedah untuk memastikan pemulihan optimal pada pasien dengan risiko Bone Cement Syndrome.
Manajemen Pascabedah
Setelah prosedur pembedahan selesai, pasien dengan risiko Bone Cement Syndrome (BCS) harus mendapatkan pemantauan ketat untuk mencegah komplikasi lanjut dan memastikan pemulihan yang optimal. Pendekatan ini membutuhkan kolaborasi antara tim anestesi, bedah, dan perawatan intensif.
1. Pemantauan Intensif
- Parameter Vital: Tekanan darah, saturasi oksigen (SpO2), dan denyut jantung dipantau secara kontinu. Hipotensi atau hipoksemia memerlukan intervensi segera.
- Fungsi Paru: Lakukan analisis gas darah (AGD) untuk memantau status oksigenasi dan ventilasi. Jika hipoksemia persisten, pertimbangkan penggunaan ventilasi mekanis.
- Fungsi Ginjal: Output urin dipantau untuk mendeteksi tanda-tanda gagal ginjal akut. Jika diperlukan, berikan terapi cairan atau dialisis.
- EKG: Deteksi dini aritmia sangat penting. Pemantauan dilakukan selama 24-48 jam pertama pascabedah.
2. Penanganan Komplikasi Pascabedah
Komplikasi yang dapat muncul pada fase pascabedah memerlukan intervensi yang cepat dan tepat:
- Hipotensi: Berikan bolus cairan kristaloid 500-1000 mL. Jika hipotensi berlanjut, gunakan vasopresor seperti norepinefrin (0,05-0,1 mcg/kg/menit IV).
- Hipoksemia: Tingkatkan FiO2 hingga 100% dan lakukan ventilasi manual jika diperlukan. Jika curiga emboli paru, pertimbangkan CT scan toraks untuk konfirmasi diagnosis.
- Aritmia: Berikan amiodaron (150 mg IV bolus selama 10 menit) untuk aritmia ventrikel, atau diltiazem (0,25 mg/kg IV) untuk aritmia supraventrikular.
- Edema Paru: Gunakan diuretik seperti furosemid (20-40 mg IV) untuk mengurangi beban cairan.
3. Edukasi dan Pemulihan
Setelah pasien melewati fase kritis, edukasi mengenai proses pemulihan pascarawat kritis sangat penting:
- Mobilisasi Dini: Pasien didorong untuk mulai bergerak dalam 24-48 jam pascabedah untuk mencegah komplikasi tromboemboli.
- Profilaksis Trombosis: Berikan heparin berat molekul rendah (LMWH) untuk mencegah tromboemboli vena (DVT/PE), dimulai setelah risiko perdarahan terkendali.
- Pemantauan Jangka Panjang: Evaluasi berkala untuk mendeteksi komplikasi seperti infeksi prostetik atau dislokasi sendi.
4. Rehabilitasi Pascabedah
Rehabilitasi berperan penting dalam memastikan pemulihan fungsi yang optimal:
- Terapi Fisik: Latihan terstruktur untuk meningkatkan kekuatan otot dan mobilitas sendi.
- Pemantauan Nutrisi: Asupan protein yang memadai mendukung penyembuhan luka dan mencegah kelemahan otot.
Kesimpulan
Bone Cement Syndrome (BCS) adalah komplikasi serius yang dapat terjadi selama prosedur ortopedi, terutama pada penggunaan semen tulang dalam penggantian sendi. Sindrom ini ditandai oleh gangguan hemodinamik akut, hipoksemia, dan aritmia jantung yang memerlukan deteksi dini serta intervensi cepat.
Manajemen perioperatif yang optimal mencakup evaluasi menyeluruh prabedah dengan penilaian kondisi kardiopulmoner pasien, manajemen intraoperatif yang hati-hati untuk mencegah komplikasi, dan pemantauan pascabedah yang intensif untuk deteksi komplikasi lebih lanjut. Pentingnya kolaborasi multidisiplin antara ahli anestesi, ahli bedah, dan perawat adalah kunci keberhasilan dalam menangani pasien dengan risiko BCS.
Dengan pendekatan yang tepat, komplikasi yang mengancam jiwa dapat dicegah, sehingga memberikan hasil klinis yang lebih baik dan meningkatkan keselamatan pasien selama prosedur pembedahan.
- Donaldson AJ, Thomson HE, Harper NJ, Kenny NW. Bone cement implantation syndrome. Br J Anaesth. 2009;102(1):12-22.
- Habermann B, Eberhardt C, Müller E, et al. Cardiac arrest during implantation of a hip prosthesis with bone cement. Clin Orthop Relat Res. 2006;448:176-80.
- Parvizi J, Jain N, Schmidt AH. Perioperative complications related to bone cement. Orthop Clin North Am. 2009;40(4):487-92.
- McMinn DJW. Modern Hip Resurfacing. Springer London; 2009.
- Rosenberg PH, Väänänen M. Bone cement implantation syndrome: causes and prevention. Scand J Surg. 2009;98(3):135-40.
- Olsen F, Kotyra M, Houltz E, Ricksten SE. Bone cement implantation syndrome: Incidence, risk factors, and mortality in cemented hemiarthroplasty. Acta Anaesthesiol Scand. 2014;58(5):551-8.
- Graham SM, Gregson PJ, Parson D, et al. Risks and complications of cemented arthroplasty in elderly patients. J Arthroplasty. 2012;27(3):412-7.
- Kim YH, Choi Y, Kim JS. Bone cement implantation syndrome: incidence and predictors. J Arthroplasty. 2013;28(9):1840-6.
- Morris AH, Tonetti MS. Safety and efficacy of high-viscosity cement in orthopedic procedures. Orthop Clin North Am. 2010;41(1):133-43.
- Lavernia CJ, Sierra RJ, Hungerford DS. Bone cement and mortality during total hip arthroplasty. J Arthroplasty. 2008;14(6):707-9.
Ramadhan MF. Manajemen Perioperatif pada Pasien dengan Bone Cement Syndrome. Anesthesiol ICU. 2025;1:a30